Gelap dan dinginnya malam yang mengusik jiwa tak diindahkan oleh keluarga Bramantyo yang masih saja terus bergutat dengan argumen dan emosi mereka.
Denting jarum jam yang menggema di ruangan itu pun seakan tak terdengar, tertutupi oleh sentakan dan bentakan yang terus bersahutan.
Keluarga yang dahulu tampak begitu harmonis, penuh tawa riang kini justru berbanding terbalik, tawa riang itu kini lenyap bak ditelan bumi. Rumah penuh kehangatan itu kini berubah menjadi rumah yang menyimpan penuh amarah.
'Neraka.' Satu kata itulah yang mungkin tercetus dalam benak pikiran Vanya akan rumah tersebut. Rumah yang dulu menjadi tempat naungannya untuk berkeluh kesah, tempat ternyaman-nya untuk pulang dan tempat bagi dirinya untuk berlindung, kini menjadi tempat paling mengerikan baginya. Di mana kini telinga yang dulu lebih sering mendengar kata-kata manis dari bibir kedua pria yang ia cinta, kini berubah menjadi berbagai umpatan kata kotor yang menghiasi telinganya.
Jika bisa, ia ingin untuk saat ini menutup kedua telinganya dan menutup kedua matanya agar tak mendengar umpatan dan melihat raut wajah menakutkan dari keluarga yang teramat ia sayang. Namun, ternyata hingga detik ini, dirinya masih mendengar kata kasar, cacian, perlakuan dan juga pandangan sinis seolah dirinya memanglah terdakwa.
Ingin sekali rasanya ia berteriak meluapkan segala emosi yang menyesakkan dada. Menghimpit begitu kuat hingga ia merasa sesak untuk bernafas. Namun, ia sadar jika waktu tak memihak kepada dirinya.
"Bawa wanita ini pergi Ken, Ibu ingin istirahat. Waktu yang kita gunakan terlalu banyak hari ini hingga menguras waktu Ibu. Namun, Ibu tak menyesal akan hal ini, karena hari ini Ibu bisa lega bisa mengetahui Setan yang masuk ke keluarga kita."
"Bawa dia pergi, Ibu sudah muak melihatnya!" titah Dena mengibaskan tangannya ke udara seraya menatap nyalang Zevanya.
Dena melangkah masuk menuju kamarnya diikuti oleh Bram dengan langkah lunglai meninggalkan kedua anaknya.
"Kau lihat? Kau lihat betapa hancurnya kedua orang tuaku saat ini? Kau lihat betapa banyak air mata yang keluar dari kedua matanya saat ini? Kau lihat betapa sedihnya orang tua yang telah senantiasa membuka kedua tangannya untuk membesarkan anak yatim piatu sepertimu? Kau lihat?! Itu semua karena lo?!" teriak Ken begitu muak akan adik angkatnya tersebut. Namun, air mata yang tak ingin ia harapkan ternyata ikut keluar membasahi kedua pipinya.
Air mata penyesalan dan air mata kehancuran lah yang saat ini terus keluar. Ingin sekali lelaki itu mengadu kepada Tuhan akan takdir yang terjadi di keluarganya, tetapi dirinya sadar jika ketetapan Tuhan tak bisa dirubah dan tak bisa memilih. Dirinya sadar betul jika hidup ini hanya bisa dijalani sesuai skenario tuhan yang telah ditulis.
"Kak..."
"Tidakkah kau mempunyai rasa terima kasih sedikit saja? Apa keluargaku selama ini tidak ada artinya? Apa semua perlakuan dan kasih sayang yang kita berikan tak sedikitpun melunakkan hatimu? Ya, gue tahu kalau selama ini Ibu gak bisa menerima lo, tapi apa pantas kebaikan yang kita berikan sama lo dibalas dengan balasan yang begitu menyedihkan dan semenyakitkan begini? Bahkan lo dengan tega melakukan pembunuhan berencana sama Kak Kaira, orang yang selalu membela lo ketika Ibu marah, orang yang selalu ada di samping lo saat lo down," ujar Ken memotong ucapan Vanya. Dirinya bahkan berucap dengan tatapan kosong dan begitu lirih, seakan ia ingin menunjukkan betapa rapuhnya dirinya saat ini.
Kenyataan yang tak ingin dan tak sanggup ia hadapi. Namun, mau tak mau ia harus tetap menghadapi kenyataan pahit itu. Tanah kuburan yang masih basah, serta noda darah yang masih menari-nari dalam ingatan seolah menjadi memori dan saksi ketidak berartinya dirinya sebagai saudara dan juga keluarga.
Sesosok lelaki yang harusnya menjadi pelindung justru ia tak mampu. Dan kini dirinya lemah dan hancur. Ia sakit melihat kedua orang tuanya yang begitu pilu menghadapi kenyataan ini. Tetapi ia juga tak bisa menghalau kenyataan itu.
"Dan sekarang katakan sama gue, di sini cuma ada gue sama lo jadi gue harap lo bisa jujur sama gue. Seberapa puasnya lo setelah rencana lo berhasil? Apa setelah kepergian Kak Kai lo bisa tertawa puas? Apa tidur lo menjadi begitu nyenyak setelah apa yang terjadi? Apa hidup lo menjadi lebih bahagia sekarang?" tanyanya lirih namun, matanya menyorot tajam kedua bola mata Vanya yang juga tengah menatap lelaki tersebut.
"Kak, sungguh aku bicara apa adanya tidak ada yang aku tutupi, aku memang orang yatim piatu yang kehadiranku saja tak diharapkan oleh kedua orang tuaku, aku dibuang oleh mereka. Namun, walaupun aku tidak di besarkan dan didik oleh orang tua bukan berarti aku menjadi manusia yang tak bermoral. Aku masih ingat Tuhan, aku selalu melibatkan tuhan dalam kehidupanku dan aku takut akan siksaan tuhan. Aku tak mungkin melakukan hal keji seperti apa yang dituduhkan, aku sama sekali tidak terlibat dalam rencana lelaki tersebut, aku bukan orang yang telah menyuruh dia untuk menabrak Kak Kai, dan aku bukan orang yang ada di bukti yang telah ditunjukkan lelaki tersebut. Entah rangkaian kata apalagi yang harus aku katakan untuk membuat Kakak percaya sama aku, aku tidak tahu. Tetapi aku sudah berkata jujur, bahkan sedari tadi aku selalu berkata jujur." Vanya menjawab dengan mata tak lepas dari Kennard. Berharap lelaki tersebut dapat melihat kejujuran dari sorot matanya.
"Dan aku bukan orang tak tahu terima kasih seperti apa yang Kakak tanyakan kepada aku, aku sangat berterima kasih kepada Kakak dan juga keluarga ini yang telah membawa aku ke sini. Bersedia memungut seorang anak yatim piatu seperti aku, memberikan kehidupan yang sangatlah layak, dan memberikan aku kasih sayang yang tak pernah aku dapatkan sebelumnya. Aku sangat berterima kasih akan hal itu Kak."
"Aku sangat berterima kasih kepada kalian, dan aku tak akan pernah bisa melupakan ataupun menebus semua kebaikan kalian kepada aku. Namun, aku mohon dengan sangat kepada Kakak, tolong percaya sama aku, percaya akan semua ucapanku ini, sumpah demi apapun aku tidak akan mungkin dan tidak akan pernah tega untuk melakukan hal keji seperti yang dikatakan lelaki itu. Bahkan, andai saja waktu dapat berputar, aku dengan suka rela ingin bertukar nasib dengan Kak Kaira, aku tidak akan membiarkan dia menolongku agar aku saja yang pergi," seloroh panjang Vanya lirih diiringi dengan derasnya air mata yang senantiasa setia mengalir di wajahnya.
"Uang, aku tidak mempunyai uang sebanyak itu untuk membayarnya Kak, Kakak tahu sendiri terkadang Kakak yang memberi aku yang saku jadi, bagaimana bisa aku membayarnya?" tanya Vanya menatap Kennard yang sedari tadi hanya diam membisu mendengarkan setiap ucapan yang keluar dari mulut Vanya.
"Mungkin saat ini Kakak dan Ayah termakan akan omongan lelaki tersebut, terlebih dia memiliki bukti yang bisa dikatakan cukup kuat, tetapi sekali lagi aku mohon sama Kak Ken, tolong telaah lagi bukti itu, aku yakin dia telah memanipulasi bukti tersebut."
'Takdir, kita tidak bisa memilih akan ketetapan takdir yang diberikan Tuhan kepada kita, tetapi aku sungguh berharap jika takdir baiklah yang senantiasa melingkupiku masa depanku, cukup sampai di sini kepahitan takdir yang ku jalani. Dan kumohon takdir berpihak lah kepadaku.'