"Ken rasa bermain-main dengan orang yang sudah mempermainkan kita itu lebih baik Yah, daripada membiarkan mereka mendekam di penjara, karena itu hukuman yang terlalu ringan dan yang jelas penjara bukan tempat yang layak. Hukuman itu tak akan sepadan dengan apa yang telah mereka lakukan kepada kita." Ken berucap dengan tangan mengepal dan rahang yang mengeras menunjukkan jika ia sedang didera oleh emosi yang memuncak.
"Ayah juga tahu sendiri bagaimana aparat penegak hukum di negeri ini," imbuhnya beralih menatap sang ayah.
"Tapi hukuman seperti apa? Bukankah lebih baik kita mengotori tangan kita sedikit untuk mereka lalu kita serahkan saja mereka ke pihak polisi? Hukuman seumur hidup atau hukuman mati mungkin menanti mereka," ujar Bram.
"Ya, itu baik menurut Ayah, tapi Ken rasa itu bukan yang terbaik bagi mereka. Mereka saja cukup pintar untuk bisa mengelabuhi kita hingga kita kecolongan dan tak menyadari jika selama ini ada tikus penyusup di rumah kita. So, pasti dia juga bisa dengan mudah mengelabuhi semua orang untuk meringankan hukuman bukan?"
"Ayah lihat saja, tampang polos itu mungkin modal yang dia punya untuk menjalankan misinya untuk menghabisi keluarga kita satu per satu," imbuhnya melirik Vanya dengan tatapan membunuh.
"Tolong percaya sama aku Kak."
"Percaya? Cih, jangan mimpi gue bisa percaya lagi dengan tipu muslihat lo itu! Gue menyesal selama ini telah menganggap lo sebagai adik gue, tapi nyatanya lo itu bangkai yang harus di buang jauh-jauh!" tekan Ken menuding wajah Vanya.
Berjam-jam telah Ken lalui hanya untuk menggali info dari mulut iblis Johan, dan ternyata sebuah fakta besar cukup membuat dirinya shock dan merasa sangat lelah. Dirinya pun kini memilih untuk mengajak kedua orang tuanya untuk kembali dan membiarkan Johan tetap berada di sana dengan masih di bawah pengawasannya.
Namun, sebelum dirinya benar-benar beranjak meninggalkan ruangan tersebut, dirinya memberikan pukulan keras ke wajah dan perut Johan berkali-kali hingga darah segar pun kembali keluar dari mulutnya dan membuat pria itu tak sadarkan diri.
"Itu dari Kakak gue yang sudah lo habisi bajingan!" teriaknya menggema di ruangan berbentuk persegi itu.
Dengan langkah cepat dan menyeret lengan Vanya menuju mobilnya yang terparkir di luar.
"Ken, kenapa kamu bawa anak itu?" teriak Dena karena Kennard telah berjalan mendahului dirinya dan juga Bram.
"Ish, anak itu!" desis Dena karena Kennard tak menghiraukan pertanyaannya dan lebih memilih melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh.
"Sudahlah Bu, nanti kita tanya di rumah saja. Lebih baik sekarang kita juga pulang. Hari ini Ayah sungguh lelah," tutur Bram menuntun istrinya menuju mobil.
Sementara itu, di dalam mobil Kennard, suasana sungguh menegangkan bagi Vanya. Suasana yang selalu ramai kini yang tersisa hanya sebuah keheningan. Sepasang kakak beradik itu tak ada yang mengeluarkan suara, mereka sama-sama bungkam dan berkelit dengan pikirannya masing-masing.
'Sebenarnya kenapa sih aku selalu difitnah? Dan kenapa tidak ada satu orang pun yang percaya sama aku? Kenapa semuanya hanya mendengar dari satu pihak? Kenapa harus aku? Apa ada yang salah dariku? Kenapa lagi dan lagi aku harus merasakan pahitnya hidup?' gumam Vanya bertanya-tanya dengan pandangan terus mengarah ke bawah. Dirinya tak berani mendongak karena ia tak ingin Kennard mengetahui jika dirinya kini tengah menangis.
Kesal, marah dan kecewa sangat banyak rasakan. Ia kesal lantaran ia tak bisa membela dirinya sendiri dan membuktikan jika dirinya tak bersalah. Namun, ia juga kecewa karena orang yang selama ini membelanya pun tak ada yang percaya kepada dirinya.
Otak yang kini dipenuhi oleh berbagai macam pertanyaan pun kini mulai terasa pening, apalagi Kennard saat ini melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh membuat ia semakin pening dan takut.
'Apa setelah ini aku bakal diusir dari rumah? Kalau aku diusir ke mana aku harus tinggal? Gak mungkin aku balik lagi ke panti. Ya tuhan semoga saja aku gak diusir dan semoga saja mereka kembali percaya sama aku, tolong aku tuhan.'
Lain Zevanya lain pula Kennard. Pria itu lebih memilih melampiaskan emosinya dengan melajukan kendaraan dengan kencang tanpa memperdulikan rambu lalu lintas serta bunyi klakson kendaraan yang saling bersahutan. Yang ada di otaknya kini ialah segera sampai rumah dan bisa meluapkan emosinya kepada Zevanya, adik angkatnya yang telah menorehkan luka yang mendalam di hatinya.
'Maafin gue Kak Kai, karena gue gak bisa menjaga lo dari orang-orang busuk. Tapi gue janji sama lo, kalau gue bakal membalas mereka dan tak akan membiarkan mereka hidup dengan tenang.' Ken bergumam dengan sorot mata melirik Vanya tajam dan kedua tangannya mencengkram kuat stir kemudinya.
"Aakh!" teriak Zevanya terkejut kala dencitan mobil begitu memekikkan telinganya saat mobil yang dikendarai oleh Kennard nyaris menabrak kendaraan lain. Nafasnya bahkan sampai terengah-engah serta tubuhnya bergetar hebat merasakan takut yang luar biasa.
Senyum smirk justru tercetak jelas oleh raut wajah Kennard kala ia melihat raut wajah ketakutan dari Zevanya. Dan tanpa memperdulikannya, ia langsung kembali melajukan mobilnya tanpa mengurangi kecepatan.
Dan tak selang beberapa lama, mobil hitam yang mereka kendarai pun telah sampai di halaman rumah mewah bergaya modern itu.
"Keluar lo!" bentak Kennard menarik lengan Vanya kuat.
"Astaga." Vanya terkejut akan tindakan Ken yang begitu kasar terhadap dirinya. Dirinya bahkan sampai menggelengkan kepalanya menatap tak percaya karena lelaki yang selama ini bersikap lembut kini berubah seratus delapan puluh derajat hanya karena kesalahpahaman semata.
"Lepas Kak, sakit," rintih-nya karena merasakan cengkraman Kennard semakin kuat hingga tulangnya terasa ngilu.
"Sakit? Gue hanya begini saja lo bilang sakit? Terus apa kabar dengan kakak gue yang sudah lo buat mati hah?!" banyaknya mendorong kasar tubuh Vanya hingga terjerambah ke lantai.
"Sebenarnya apa maksud lo bunuh kakak gue hah?! Kurang baik apa kita selama ini sama lo? Dan sekarang apa lo sudah puas? Puas lo sekarang karena sudah berhasil bunuh kakak gue?! Puas lo hah?! Jawab!!"
Zevanya hanya mampu menggeleng lemah membantah tuduhan Kennard. Ia tak tahu harus berkata apalagi, dan mulutnya pun terasa terkunci sulit untuk berucap.
"Kenapa lo hanya diam hah?! Gue gak nyangka lo ternyata sebusuk itu."
"Nangis? Kenapa lo nangis? Lo nangis menyesali karena kebusukan lo cepat terbongkar hah?!" tanyanya seraya berjalan mendekati Vanya yang masih tersungkur di atas lantai yang dingin itu.
"Ada apa ini? Kenapa ribut-ribut di sini?" tanya Bram yang baru saja tiba di kediamannya.
"Kenapa sih kamu bawa dia ke sini lagi Ken? Kenapa tidak kamu biarkan saja dia di sana? Ibu muak lihat wajah sok suci itu," sahut Dena sinis melihat Vanya.
"Biar saja di tetap di sini Bu, biar kita bebas memantau dia dan memberi hukuman ke wanita iblis ini," jawab Ken melirik Vanya remeh.
"Tapi-"