Chereads / Denting sendu / Chapter 17 - Penyesalan

Chapter 17 - Penyesalan

Tanpa rasa takut ataupun gusar, Johan justru menanggapi pertanyaan Kennard dengan santai disertai senyuman tipis yang menghiasi wajahnya.

"Lo jangan meremehkan seorang pelajar ini Bro, karena orang yang lo anggap pelajar ini juga memiliki uang yang cukup fantastis," jawabnya melirik Vanya yang berdiri di sebelah kanannya.

"Dan, imbalan yang gue dapat dari dia juga banyak, makanya gue mau berkerja sama dengan dia karena gue butuh," imbuhnya penuh keseriusan.

"Berapa?"

"Cukup! Imbalan apa yang kau maksud sebenarnya? Saya rasa anda seorang pembohong ulung, terbukti dengan ucapan anda yang tidak ada satu kebenaran sedikit pun!" sentak Vanya cepat.

"Kau sedang mengatai diriku atau mengatai diri sendiri Bos?" sahutnya menyeringai.

"Kau-"

"Stop! Gue bilang stop!" bentak Ken seraya mengangkat tangannya ke udara.

"Gue sedang tidak bertanya kepada lo Vanya! Jadi lebih baik lo diam sekarang!" ucapnya penuh penekanan.

Kedua bola mata Vanya seketika membola mendengar ucapan Kennard yang terkesan begitu dingin, dirinya begitu terkejut lantaran selama ia menjadi bagian dari keluarga Bramantyo, tak pernah sedikit pun dirinya mendengar ucapan Kennard sepeti apa yang baru saja ia dengar.

"Berapa? Berapa imbalan yang lo terima dari dia?" tanyanya semakin melangkah mendekati Johan.

"Tenang aja, gue ngomong bukan asal ngomong, gue ngomong pasti ada buktinya," sahutnya sembari jemari tangannya menari di atas layar ponsel mencari sebuah bukti untuk ditunjukkan kepada keluarga Bramantyo. Dan selang beberapa detik kemudian, dirinya sudah menemukan bukti tersebut dan langsung menunjukkannya kepada Kennard.

"Gimana?" tanyanya dengan senyum smirk yang tak luntur dari wajahnya.

Bram, Dena serta Vanya juga turut mendekat ke arah Ken untuk melihat bukti apa lagi yang ditunjukkan oleh Johan.

Beberapa pasang mata membulat, rahangnya mengeras dan telapak tangan mereka mengepal kuat melihat sebuah bukti transfer dengan nominal yang cukup fantastis, dan yang lebih membuat mereka sangat shock ialah nama dan nomor rekening yang tertera di sana. Nama dan nomor rekening itu tak lagi asing, terutama bagi Bram yang sering mengirimkan sejumlah uang saku kepada Vanya. Ya, siapa lagi nama yang terpampang nyata di ponsel canggih tersebut jika bukan Zevanya Stefanie.

Nama, yang saat ini tengah menjadi sorotan bagi keluarganya karena ucapan sang pelaku tabrak lari dari Kaira. Ucapan yang ingin mereka tepis dan hanya ingin mereka tanggapi sebagai angin lalu, tapi apa yang mereka lihat sekarang? Bukti demi bukti sudah mereka lihat dengan mata terbuka, dan untuk menyangkal semua itu rasanya mereka tak sanggup. Bukti itu sungguh nyata dan tak dapat lagi mereka tepis atau abaikan.

'Kenapa tuhan?!' desis mereka dalam hati.

Mereka semua serasa terhantam oleh kenyataan yang begitu menyesakkan, terutama bagi Bramantyo. Bahkan tanpa sadar dirinya meneteskan air mata melihat kenyataan itu. Dirinya merasa gagal sebagai orang tua, walaupun ia bukan Ayah kandung namun dirinya sudah menganggap Vanya sebagai anak kandung, dan ia sungguh merasa gagal karena tak bisa mendidik Vanya dengan baik.

Dirinya juga merasa bersalah kepada keluarganya terutama terhadap mendiang anak kandungnya, Kaira. Karena keinginan menggebu dirinya yang tak bisa ditahan untuk mengadopsi Vanya, kini keluarganya menjadi runyam. Karena satu kesalahannya itu mengakibatkan anaknya sendiri harus meregang nyawa di usianya yang masih sangat muda.

Dirinya kini mulai menelisik kebelakang, kesalahan apa yang telah ia lakukan hingga ia bertemu dengan manusia yang tak berhati, dan naasnya orang tersebut adalah anak angkatnya sendiri.

Tangis penyesalan, hanya itu yang dapat ia lakukan sekarang, walaupun ia tahu jika tangisnya itu berubah menjadi darah sekalipun tak akan mengubah takdir, dan tak akan bisa mengembalikan keadaan. Jika waktu dapat di ulang, dirinya memilih untuk tidak akan mengadopsi gadis panti yang dengan teganya telah membunuh anaknya.

'Maafkan Ayah Kai, andai Ayah tidak mengadopsi wanita itu, pasti saat ini kamu masih ada di sini, bersama Ayah dan masih merangkai masa depan kamu, Maafkan Ayah Kaira,' ucap Bram dalam hatinya dengan bulir air mata yang masih mengalir membasahi kedua pipinya.

Bayang-bayang wajah cantik putrinya kini terlihat jelas di otaknya, wajah yang selalu memancarkan keceriaan dan senyum yang tak pernah pudar menghiasi wajahnya kini telah sirna. Seorang gadis kecil yang mampu membuatnya jatuh cinta meskipun dirinya belum melihat rupa dari wajahnya.

Tangis dan tawa semakin terdengar jelas di dalam indera pendengarannya. Tangis saat gadis kecil itu merengek meminta susu atau pun tangis saat ia terjatuh saat belajar berjalan. Tawa, tawa yang selalu ia rindukan, tawa yang mampu membuat lelahnya menjadi hilang seketika. Dan kini tangis dan tawa itu tengah ia rindukan. Tawa dan tangis yang tak akan lagi ia lihat karena gadis cinta yang akan mengantarkannya ke surga namun, takdir berkata lain, gadis yang seharusnya mengantarkannya menuju surga justru meninggalkannya terlebih dahulu menuju surganya tuhan.

Bodoh, berkali-kali ia merutuki dan menjuluki dirinya bodoh. Bodoh karena keegoisannya itu justru membuat anaknya harus menghadap Tuhan terlebih dahulu ketimbang dirinya. Satu kebodohan yang teramat karena telah menghadirkan seorang manusia tak berperasaan masuk ke dalam rumahnya.

Zevanya Stefanie, satu nama yang dulu sangat ia suka

namun kini menjadi satu nama yang teramat ia benci. Bulir air mata kini berganti dengan mata merah menyala memancarkan api kemarahan yang mendalam.

Mata itu menatap Vanya yang berdiri tak jauh darinya hingga membuat gadis itu merasa ketakutan karena mata itu seakan dapat melahap tubuh Zevanya secara utuh.

'Dasar gadis sialan! Gadis tak tahu di untung! Gadis iblis kau! Ternyata selama ini aku hidup berdampingan dengan iblis laknat yang telah mampu memisahkan aku dengan anakku sendiri, tak akan aku biarkan kau lari dari tanganku dan jangan harap jika kau akan mengampuni dosa terkutuk itu!' geram Bram dalam hati.

Atmosfir kemarahan begitu mengerubungi dirinya. Namun, sebisa mungkin ia menetralkan emosi tersebut karena menurut dirinya saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk meluapkan segala emosi yang kini menguasai dirinya. Ia mencoba memejamkan kedua matanya dan menengadahkan kepalanya ke atas.

'Tuhan, aku tahu jika waktu tak bisa di putar. Namun, jika itu terjadi aku tak ingin membiarkan orang lain masuk ke kehidupanku dan membiarkan orang terkasihku pergi meninggalkanku. Andai itu bisa, aku lebih memilih untuk tetap bersama orang terkasihku untuk selalu mendampingi hidupku. Karena, nyatanya orang baru tak jauh lebih baik dari orang yang telah lama kita kenal.' Bram bergumam dalam hati.

Sesungguhnya ia sangatlah menyukai kepribadian Vanya dan tak menyangka jika gadis berparas manis itu seorang iblis namun, apakah itu memang benar? Seketika dirinya merasa ada yang janggal akan bukti yang ditunjukkan oleh Johan, namun berkali-kali ia memastikan pun, nomor rekening itu tetaplah tidak berubah, nomor rekening yang ia sengaja buat khusus untuk Vanya, dan dia sangatlah hafal.

'Tapi, bagaimana Vanya bisa mendapat uang sebanyak itu? Selama ini aku hanya memberi yang saku tak lebih dari satu juta, tapi mengapa dia bisa mentransfer uang sebanyak itu?' tanyanya dalam hati.