'Runtuh, semua hidup yang aku miliki seakan runtuh tertelan bumi. Kebahagiaan yang selama ini memenuhi raga dan jiwa kini melebur menjadi kehampaan yang tersisa. Kata demi kata, yang keluar dari mulut orang yang teramat aku sayang sungguh menyesakkan hati. Kini apa yang harus aku lakukan? Sanggahan dan pembelaan telah aku lakukan namun apa yang aku dapat? Semua tak lagi mempercayaiku, marah? Sedih? Kecewa? Tentu saja, jelas aku merasakan itu semua, tapi aku tak tahu bagaimana lagi cara mengungkapkan kemarahan dalam diri ini. Entah rencana apa yang sedang disusun hingga aku kembali merasakan kejamnya dunia yang teramat." Zevanya terus berdiri terpaku di tempat dengan tatapan yang tak pernah lepas dari sang Ayah.
"Semua itu tidak benar Yah, tolong percaya sama Vanya," rintihnya terus memohon agar pria yang teramat berarti dalam hidupnya itu tak terhasut oleh ucapan kebohongan dari Johan, pria yang jelas-jelas pelaku dalam tabrak lari tersebut.
"Percaya? Apa yang bisa membuat kita percaya sama kamu? Apa jaminan jika kamu bukan orang itu? Bukti apa yang kamu punya? Jika kamu memang bukan orang tersebut, kamu pasti bisa membuktikan jika ini semua palsu? Tapi apa? Kamu tak punya bukti itu kan?" ujar Ken seraya menggelengkan kepalanya tak percaya akan tindakan keji yang dilakukan oleh adik angkat yang sudah ia anggap seperti saudaranya sendiri itu.
"Bukti seperti apa Kak? Bukan aku yang kirim pesan itu, dan video itu juga bukan aku bahkan video itu tak jelas, dan tak ada obrolan yang terekam," jawab Vanya beralih menatap Kennard
Kennard terdiam sejenak mendengar penjelasan dari Vanya karena dalam video tersebut memang tak terdengar jelas perbincangan apa yang dilakukan oleh Vanya dan juga Johan.
'Gak! Gue gak boleh terhasut sama ucapan orang yang bisa saja dia memang musuh terbesar gue, percakapan itu mungkin tak terdengar jelas, tapi bukti ini cukup membuktikan kalau dia memang terlibat dalam kasus ini," batin Ken meyakinkan diri agar tidak bimbang.
"Video itu mungkin memang tidak terdengar jelas obrolan kalian, tapi bukti yang baru saja gue lihat gue rasa itu cukup membuktikan kalau lo memang terlibat, jadi lo gak usah mengelak kalau lo itu memang busuk!" ujar Ken penuh penekanan.
"Selain itu gue juga punya bukti kalau memang lo butuh," sahut Johan cepat.
"Kak, apa selama kita hidup bersama Kak Ken melihat kelakuan aku yang mencurigakan atau menyalahi peraturan? Bukankah Kak Ken cukup tahu siapa aku? Hasutan orang yang jelas-jelas salah dan sedang menutupi sebuah kebenaran apa patut untuk dipercaya? Apa karena fitnahan dia Kakak dan Ayah langsung percaya daripada aku yang sudah hidup bersama kalian lebih dari tiga tahun ini?"
"Uang? Seberapa banyak uang yang aku punya hingga aku bisa membayar orang ini untuk aku suruh membunuh orang yang selalu aku sayang? Bukankah kalian tahu sendiri berapa uang saku aku? Dan kenapa kalian bisa percaya akan ucapan dia yang mengatakan jika aku menyuruh dia dengan imbalan yang fantastis? Bukankah itu sangat tidak masuk akal?" tanyanya memberondong pertanyaan yang memenuhi otaknya.
Sejenak keheningan melanda ruangan tersebut, mereka mencerna setiap pertanyaan Vanya yang cukup masuk akal hingga kembali membuat kebimbangan.
'Bener juga ya apa yang dikatakan Vanya, mana mungkin dia punya uang banyak sedangkan yang saku aja cuma dikasih sedikit sama Ibu, tapi kenapa bukti ini cukup kuat? Hah! Kenapa jadi membingungkan gini sih?!' teriak Ken dalam hati frustasi.
"Benar kan apa.yanh aku katakan? Orang ini cuma ingin menghasut dan membuat alibi untuk menutupi siapa dalang ini semua, atau justru memang hanya dia pelaku selama pembunuhan ini dan ini murni kesengajaan yang dia buat, bukan disuruh oleh orang lain?" Vanya kembali melontarkan pertanyaan yang semakin membuat suasana menjadi runyam.
"Sekarang kalian percaya kan sama aku? Gak mungkin aku pelakunya Yah," imbuhnya.
"Apa kata lo tadi? Gue cuma buat alibi untuk menutupi kebenaran? Dan lo malah nuduh gue pelaku tunggal yang mencelakakan keluarga kalian?" celetuk Johan sembari tertawa kecil.
"Apa bukti itu tak cukup untuk membuka mata kalian siapa musuh kalian itu? Apa kalian ini memang mempunyai otak kecil yang tak mampu berpikir waras? Bukankah bukti itu cukup membuktikan jika selama ini musuh kalian itu ada di dekat kalian, yang secara perlahan ingin menghancurkan kalian semua?" tanyanya menatap satu-persatu keluarga Bramantyo kecuali Vanya.
"Dan untuk lo Bos gue," tunjuk-nya kepada Vanya.
"Sebelumnya gue mau mengucapkan terimakasih, terimakasih karena berkat bantuan dan kerjaan yang lo kasih ke gue itu sangat berarti, karena berkat lo orang tua gue bisa dioperasi. Tapi untuk kali ini, sorry gue gak bisa lagi menutupi kelakuan lo, karena gue gak mau disalahkan seorang diri. Lo pasti tahu jika setiap perbuatan pasti ada konsekuensinya, dan gue rasa kali ini waktu yang tepat bagi tuhan agar kita dapat menerima konsekuensi atas apa yang kita lakukan, maka dari itu gue minta dengan sangat, lo lebih baik jujur sekarang dan tidak usah menutupi perbuatan lo yang sebenarnya, karena Tuhan mungkin saja ingin menyadarkan kita, sorry ... lebih tepatnya lo untuk sadar dan memperbaiki diri."
"Akuilah semuanya sebelum masalah ini melebar ke mana-mana, dan berhenti menuduh gue sebagai pelaku tunggal karena gue melakukan ini semua juga karena gue butuh dan kebetulan gue bertemu dengan lo. Jujurlah, karena mungkin lebih baik untuk jujur sekarang dibanding nanti," seloroh panjang Johan.
Zevanya menghela nafasnya kasar mendengar tuduhan Johan yang seolah mengatakan jika dirinya memang salah.
"Jujur apalagi? Sadari tadi saya sudah jujur. Ucapan anda itu lebih cocok ditujukan untuk anda, jujurlah! Jujur sebelum terlambat, setidaknya anda masih memiliki waktu untuk mengatakan yang sebenarnya. Berhenti berdalih dan berhenti bersandiwara yang tak berguna ini, anda hanya membuang waktu dan energi kami," jawab Vanya tak memiliki rasa takut sedikit pun kepada Johan.
"Lo yang sedang bersandiwara dan tengah memainkan peran yang begitu apik! Dan lo juga yang telah membuang waktu serta energi, apa salahnya jika lo mengakui semuanya di depan keluarga lo?" "Ternyata selain licik lo juga pandai berakting ya? Gue jadi salut sama lo," sindir Johan tersenyum sinis menatap Vanya.
"Cukup!" teriak Ken menatap tajam Vanya serta Johan yang sedari tadi terus beradu argumen.
"Kalian berdua memang patut dan layak sekali untuk dicurigai, semakin kalian banyak bicara maka semakin banyak pula kecurigaan kami."
"Lo pria iblis," ucapnya menunjuk bahu Johan.
"Berapa imbalan yang lo dapat? Dan apa yang bisa membuat lo begitu yakin menerima kerjaan yang ditawarkan oleh seorang pelajar seperti dia?" tanyanya sembari melirik Vanya melalui ujung ekor matanya.