Bukti yang entah datang dari mana itu membuat Vanya tercengang, lidahnya kelu tak mampu berkata. Dada terasa begitu sesak menyaksikan bukti yang tak ia ketahui dari mana datangnya tersebut, namun satu yang pasti, itu semua hanya kepalsuan. Dia tak pernah berhubungan dengan Johan sebelumnya, bahkan bertukar pesan pun dia tak pernah. Tetapi mengapa bukti itu bisa ada? Kenapa dia begitu pandai memanipulasi? Pikiran dan hati Vanya penuh akan tanda tanya yang tak kunjung terpecahkan.
Zevanya begitu terpukul dan tak tahu harus berbuat apa. Bukti yang begitu menyudutkan dirinya membuat ia linglung namun, sejujurnya ia begitu marah karena rekayasa yang telah di buat oleh Johan begitu keterlaluan dan melampaui batas.
Tatapan marah, kecewa, dan tak percaya dapat ia tangkap dari sorot mata keluarganya terhadap dirinya membuat ia semakin ingin merasa marah terhadap Johan.
Tanpa memperdulikan tatapan keluarganya yang seolah meminta penjelasan, dirinya justru melangkahkan kakinya mendekat ke arah Johan yang saat ini masih duduk dengan tangan yang sudah terlepas bebas dari ikatan tali.
"Siapa kau sebenarnya? Selain pembunuh ternyata anda seorang yang begitu licik, bahkan anda telah memfitnah saya dan sudah merencanakan hal ini sehingga anda memiliki bukti palsu tersebut?! Anda membuat bukti palsu tersebut dengan tujuan apa? Dan dengan tujuan apa pula anda mengusik orang yang tidak pernah mengusik diri anda?!" ucap Vanya bergetar menahan tangis karena tak kuasa menahan rasa amarah serta sedih menjadi satu.
"Cukup!" teriak Ken lantang dengan tangan terangkat ke udara.
"Cukup dan hentikan semua drama yang sedang kau mainkan! Pertanyaan yang kau ajukan terhadap pria itu justru lebih pantas untuk dirimu sendiri. Siapa kau sebenarnya? Apa maksud ini semua? Bisa kau jelaskan sekarang juga?!" ucap Ken lantang dengan rahang mengeras menandakan jika amarah sedang menguasai dirinya.
Atensi Vanya sontak langsung beralih kepada Kennard. Kedua bola matanya pun menggenang mendengar pertanyaan yang penuh akan amarah tersebut.
"Kak, dia berbohong Kak. Aku gak pernah bertemu dengan dia sebelumnya, dan bukti yang dia tunjukkan itu semua hanya kepalsuan belaka, tolong percaya sama aku," lirih Vanya menatap kedua bola mata Ken berharap Kakak yang selama ini selalu bersama dengan dia percaya akan kata-katanya.
"Berbohong? Sampai detik ini pun gue masih belum tahu mana ucapan yang harus gue percaya? Mendengar kalian yang terus membela diri sendiri membuat gue berpikir jika kalian ini sedang memainkan drama."
"Dan untuk saat ini, gue gak mau membuang waktu gue terlalu lama lagi, karena gue udah muak dengan semua ini. Tapi gue juga gak mau gegabah dalam mengambil keputusan, gue harus imbang menyikapi kalian. Dan Vanya, gue mohon dengan sangat lo jawab jujur pertanyaaan gue, apa benar bukti yang sudah kita lihat bersama ini benar?" tanya Ken berusaha untuk tenang dan menekan emosinya.
"Kak, kita selama ini selalu bersama dan Kak Ken juga tahu bagaimana aku selama ini, apa Kak Ken tidak percaya sama aku?"
"Aku selalu berkata jujur Kak, bukti itu memang palsu dan aku juga tidak tahu bagaimana pria ini bisa memanipulasi bukti itu, tapi yang jelas aku tidak pernah kenal apalagi bersekongkol sama dia," tuturnya.
"Selalu bersama juga tak dapat menutup kemungkinan jika orang tersebut justru musuh terbesar kita kan?" celetuk Johan dengan senyum sinisnya.
"Diam kau sialan!" bentak Ken karena ia hanya ingin mendengar penjelasan dari sang adik.
"Semua yang aku ucapkan itu benar Kak, aku gak pernah berhubungan dia dan aku juga baru kali ini melihat dia," imbuh Vanya.
"Apa yang membuat kita harus percaya denganmu sedangkan bukti sudah ada di tangan?" tanya Ken menatap Vanya tajam.
Vanya tampak menghela nafasnya kasar, jujur dirinya sungguh bingung akan situasi yang sangat tak ia sukai.
"Aku gak tahu apa yang bisa aku tunjukkan atau aku katakan untuk membuktikan jika aku tak bersalah, tapi aku bersumpah demi tuhan jika chat itu bukan dari aku, dan video yang ada di ponsel itu juga bukan aku. Aku harap Kak Ken, Ayah sama Ibu dapat percaya sama aku, karena demi tuhan bukan aku dalang kasus yang menimpa Kak Kaira."
"Tidak usah membawa-bawa nama tuhan demi membuat kita percaya!" sentak Bram dengan lantang.
Sentakan Bram langsung membuat Vanya terperanjat bahkan sampai memejamkan kedua matanya.
"Ayah," ucapnya pelan tak mampu berkata.
Selama menjadi anak angkat di keluarga Bramantyo, Vanya tak sekalipun mendapat teriakan atau sentakan dari Bram, karena ayahnya itu sangatlah menyayangi dirinya.
"Kami hanya ingin mendengar penjelasan langsung yang keluar dari mulutmu Vanya! Semua bukti sudah mengarah kepadamu, dan tak usah mengelak lagi," seloroh Bram.
"Di dalam chat tersebut juga jelas itu nomor kamu, dan yang ada di dalam video itu juga kamu. Jadi, tak usah mengelak untuk sesuatu yang sudah jelas apalagi mengatasnamakan tuhan!"
Semua orang terdiam mendengarkan ucapan dari Bram, sorot mata kecewa begitu tampak jelas terlihat dari dirinya. Bagaimana tidak, orang yang selama ini ia sayangi ternyata orang yang telah menusuk dirinya dari belakang.
"Ayah, tolong percaya sama Vanya, bukti itu semua bohong, bukan aku yang melakukan itu, kalau Ayah tidak percaya, Ayah bisa check ponsel aku," sahutnya menyodorkan sebuah ponsel.
"Cih! Untuk apa kami memeriksa ponselmu? Bukankah semua bukti sudah jelas? Kami tidak butuh memeriksa ponselmu karena sudah pasti semua bukti sudah terhapus kan? Jadi kau tak usah mengelak dan akui saja semuanya," sahut Dena memandang sinis dan penuh kebencian terhadap anak angkatnya tersebut.
"Bukan aku, bukan aku," lirih Vanya berderai air mata dan tak mampu untuk berucap. Otaknya terus berputar memikirkan cara agar keluarganya percaya kepada dirinya, namun dirinya tak memiliki apapun yang dapat membuktikan itu.
Berbeda dengan Dena yang memandang Vanya semakin rendah, Bram serta Ken justru memandang dirinya dengan tatapan penuh kekecewaan yang justru semakin membuat hati Zevanya merasa sakit. Sakit lantaran orang yang teramat ia sayang dan selalu menjadi garda terdepannya justru kini tidak percaya kepada dirinya.
'Apa yang harus aku bilang ke mereka agar mereka kembali percaya sama aku? Tuhan, bantu aku.' Vanya terus memohon dalam hatinya.
"Aku sungguh tak menyangka jika orang yang selama ini aku besarkan dengan kasih sayang, orang yang sejak pertama melihat bisa membuat jatuh hati, orang yang selama ini aku beri kepercayaan penuh justru orang tersebutlah yang menghancurkan hidupku dengan sekejap."
"Orang yang selalu aku bela, orang yang selalu aku limpahkan dengan kaidah sayang layaknya anak kandung ternyata dia yang memporak-porandakan keluargaku. Aku salah, selama ini ternyata aku salah menilai dan salah karena telah jatuh hati terhadap seseorang sepertimu!" ucap Bram lantang dengan sorot mata tak lepas dari sosok Zevanya yang tepat berada di depannya.
Zevanya begitu sakit mendengar ucapan Bram, kedua tangannya berusaha menggapai tangan Bram untuk ia genggam namun selalu ditepis olehnya.
'Mengapa luka hati ini tak pernah sembuh? Mengapa kebahagiaan yang baru saja singgah kini sirna berganti lara yang menyayat? Tak bisakah kebahagiaan itu menetap agar aku tak lagi mengenal apa itu luka?'