"Jika memang kau bisa membuktikan ucapan-mu itu benar maka kau juga pasti memiliki bukti."
"Karena kami tidaklah bodoh, yang begitu mudahnya mempercayai sesuatu dari seseorang, terlebih itu omongan dari mulut iblis yang telah membunuh nyawa anak tak bersalah!" tegas Bram.
Semua mengangguk membenarkan ucapan Bram.
"Ya, Ayah benar. Lo punya bukti apa hingga berani berucap seperti itu? Jangan sampai lo kembali berucap dusta, karena jika itu terjadi, gue gak akan segan untuk mencincang tubuh lo dan akan gue kirim kepala lo ke keluarga lo," sahut Ken menyeringai.
"Ck, sialan!" decak Johan.
"Gue memang bersalah karena secara tidak langsung gue talah membunuh salah satu anggota keluarga kalian, tapi gue juga gak bakal melakukan hal itu kalau gue gak disuruh seseorang. Dan yang perlu kalian garis bawahi adalah, gue melakukan itu karena gue terdesak keadaan. Gue butuh uang, dan orang itu menawarkan uang yang cukup menggiurkan bagi gue, jadi tanpa pikir panjang, gue ambil kerjaan itu."
"Dan gue juga jamin, kalau omongan gue itu memang benar adanya. Gue punya bukti kuat, hingga gue berani berucap seperti itu."
"Ucapan gue bukan sebuah isapan jempol belaka, terserah kalian akan percaya atau tidak, tapi yang jelas anak angkat kalian lah yang telah membayar gue buat mencelakai orang tersayang kalian. Kalian mau percaya sama gue atau sama anak angkat itu? Tapi, bukankah maling tidak akan mengaku?" ujarnya tersenyum sinis.
"Dan sekali lagi gue mau minta maaf Bos, terserah lo mau bilang pengkhianat atau apapun itu, tapi gue bicara jujur seperti ini, karena gue gak mau keluarga gue celaka, cukup gue saja yang mempertanggung jawabkan perbuatan gue. Sorry Bos," imbuhnya menatap Vanya lekat.
Spontan kedua bola mata Zevanya langsung berkaca-kaca mendengar penuturan dari Johan, kepalanya terus menggeleng menyangkal ucapan Johan.
Dirinya semakin merasa takut, terlebih kala ia menangkap semua keluarganya yang menatap dirinya dengan tatapan penuh tanda tanya.
"Omong kosong! Berhenti berbicara yang tidak jelas kebenaranya! Uang apa yang aku beri? Aku tak punya uang banyak, dan aku juga tak pernah menyuruh Anda untuk mencelakai Kakak aku sendiri. Kita tidak pernah saling mengenal sebelumnya, jadi tolong jangan membuat statement yang tidak-tidak!"
"Apa sebenarnya maksud anda memfitnah saya? Apa itu juga termasuk rencana-mu dengan dalang tersebut?" tanyanya masih ingin mengetahui motif Johan yang terus memfitnah dirinya.
Takut, ialah perasaan yang saat ini Vanya rasakan. Dirinya takut jika keluarganya semakin percaya dengan omongan Johan, terlebih pria itu mengetakan jika ia mempunyai bukti. Bukti yang tak Vanya ketahui, karena memang dirinya tak pernah merasa jika dirinya terlibat dalam kasus kematian kakaknya.
"Gue bicara berdasarkan fakta, kau juga tak bisa mengelak lagi Bos, karena kita sudah tertangkap basah dan mau tak mau kita harus mengaku," jawabnya tenang.
"Mana bukti itu? Bukti apa yang kau punya? Cepat berikan kepadaku jika memang kau memiliki bukti tersebut," todong Dena tak sabar sembari melangkah mendekat kepada Johan.
"Bukti itu ada di ponsel gue, jadi lepasin dulu tangan gue biar gue bisa menunjukkan bukti itu kepada kalian."
Ken segera menyanggupi titah dari Johan, dirinya langsung menyuruh anak buahnya untuk melepas ikatan tangan Johan, dan tetap berdiri di belakang Johan untuk mengawasi gerak-gerik Johan yang mungkin saja pria itu memiliki niat terselubung.
Begitu ikatan kuat yang mencengkram kedua tangannya, Johan seketika mendesis ketika merasakan perih di tangannya yang terdapat luka basah sayatan pisau.
Namun, luka kecil itu tak berarti bagi dirinya, tubuhnya terbilang cukup kuat menahan sakit, terbukti dengan tubuh beserta wajah yang bisa dikatakan memprihatinkan, darah dan lebam menghiasi tubuh namun ia masih tetap sadar.
'Lets play the big game!' gumamnya tersenyum penuh arti sembari tangannya merogoh ponselnya yang terdapat di kantong celananya.
"Jika bukti yang kau janjikan itu hanya sebuah bualan, akan gue pastikan jika detik itu juga gue bakal cincang tubuh lo!" ancam Ken menunjuk wajah Johan.
'Semoga semua yang diucapkan pria ibis ini hanya sebuah kepalsuan. Gue masih tetap berharap jika adik yang selama ini gue sayang, tidak melakukan hal kotor sepeti yang dikatakan pria ini,' batin Ken penuh harap kepada adik angkatnya itu.
Tiga tahun bersama.tentu saja membuat ikatan hati mereka terjalin semakin kuat. Ken yang setiap hari melihat interaksi Kaira dengan Vanya tentu saja tak mempercayai tuduhan itu. Karena di matanya, Vanya seorang gadis lemah lembut dan berhati bak malaikat. Karena Vanya selalu menyayangi ibunya meskipun ia tahu jika ibunya tak menyukai Vanya, oleh sebab itulah dirinya mengatakan jika Vanya memiliki hati seperti malaikat.
"Kalian bisa melihat bukti ini, gue rasa itu juga cukup untuk membuktikan jika selama ini orang yang kalian tampung di rumah itu tak sebaik yang kalian pikir. Musuh dalam selimut? Julukan itu sangat pantas untuk disematkan untuknya bukan?" seloroh Johan memberikan ponselnya kepada Ken untuk memperlihatkan bukti yang ia miliki.
"Omong kosong!" geram Vanya yang juga ikut mendekat ke arah Ken untuk melihat bukti apa yang dimaksud oleh Johan.
Mata keempat orang tersebut langsung terbelalak terkejut begitu membaca bait demi bait dalam isi chat yang diperlihatkan oleh Johan. Sungguh mereka tak menyangka jika Johan benar-benar memilki bukti tersebut.
Namun yang lebih mengejutkannya lagi, mereka tak menyangka jika orang yang selama ini mereka lindungi, mereka sayangi, dan mereka besarkan ternyata orang yang jahat. Benar apa yang dikatakan oleh Johan, 'Musuh dalam selimut'.
Ketiga orang itu mengepalkan kedua tangannya dengan rahang yang mengeras. Terutama Bram dan Kennard, mereka sangat tak menyangka jika gadis yang dinilai baik itu ternyata memilki kebusukan di dalamnya. Ingin rasanya mereka menyangkal hal tersebut, namun bukti sudah ada di depan mata yang tak mungkin dapat mereka abaikan begitu saja.
Kecewa, marah, sedih bercampur menjadi satu. Hati mereka sungguh terpukul mendapat satu kenyataan yang begitu memilukan.
Namun, perasaan gak menyangka kini merasuki relung pikiran dan jiwa Zevanya Stephanie. Membaca sebuah pesan yang menampilkan nomor ponselnya membuat dirinya terkejut tak percaya hingga membuat ia limbung dan mundur beberapa langkah, kedua tangannya membekap mulutnya dengan air mata yang sudah mengalir deras membasahi pipi.
"Bagaimana? Apa kalian sudah percaya akan ucapan gue? Bukti itu apa masih kurang? Jika masih kurang, gue masih mempunyai bukti lain lagi," ucap Johan tenang menikmati raut wajah terkejut dari keluarga Bramantyo itu.
Tanpa menunggu jawaban Johan langsung meraih kembali ponselnya dan mencari bukti lain yang ia miliki. Beberapa detik kemudian, ia kembali menyodorkan ponselnya kepada Ken dan menampilkan sebuah foto pertemuan dirinya dan juga Vanya di sebuah Cafe. Tak hanya itu, Johan juga memperlihatkan sebuah video dirinya dan juga Vanya yang terlihat sedang berinteraksi secara intim.
'Kenapa takdir begitu kejam? Kenapa takdir begitu lihai mempermainkan hati? Luka yang masih basah mengapa ditumpuk oleh luka baru yang membuat luka semakin menganga? Bisakah aku rehat sekejap untuk menutup luka itu? Takdir, bisakah engkau berdamai denganku sejenak? Ku ingin berdamai denganmu.'