"Apa benar apa yang dikatakan dia? Benarkah selama ini saya menampung seorang iblis? Jawab?!"
"Jawab Vanya! Apa benar kamu yang telah merencanakan ini semua? Kamu yang telah berniat jahat terhadap anakku?! Jawab!" sentak Dena berapi-api bahkan kedua tangannya kini mencengkram erat bahu Zevanya.
"Bu!" tegur Bram keras sembari menarik istrinya yang terlihat begitu emosi terhadap Vanya. Namun, Dena justru langsung menepis tangannya kasar.
"Tenang dulu Bu," ujar Ken mencoba melerai.
"Dari tadi Ibu sudah tenang, tapi semakin Ibu tenang dan semakin Ibu mendengar ucapan pria itu, Ibu menjadi ragu akan kamu Vanya, karena sedari tadi pria itu terus menerus bilang jika Vanya yang telah menyuruh dia untuk mencelakakan Kaira. Pantas kan kalau Ibu meragukan Vanya? Dan dari ucapan pria itu seakan tidak ada kebohongan," geram Dena tanpa melepaskan cengkraman dan tatapan tajam penuh intimidasi terhadap Zevanya.
Di tengah ketegangan keluarga itu, pria yang tampak tak berdaya duduk di sebuah kursi itu hanya bisa memandang mereka dan tersenyum penuh arti. Sakit yang ia rasa sedikit teralihkan dengan memandang pertikaian dari keluarga Bramantyo.
'Menarik sekali drama ini,' gumamnya dalam hati.
"Bu, kenapa Ibu jadi percaya sama pecundang yang jelas-jelas sudah menabrak anak kita? Bisa saja dia hanya membuat alibi agar dirinya bisa bebas dari kita, orang seperti dia tak pantas untuk dipercaya!" tutur Bram meyakinkan istrinya karena dia sangat percaya jika Vanya tidak mungkin melakukan hal keji seperti yang telah dituduhkan Johan.
"Ibu tidak bilang jika Ibu sepenuhnya percaya sama pria itu, tapi Ibu hanya curiga terhadap Vanya."
"Tidakkah kalian berfikir apa yang dikatakan oleh pria itu bisa jadi sebuah kebenaran? Pria itu terus memanggil dia dengan Bos, dan dia juga bilang jika orang yang sebenarnya musuh kita itu adalah orang terdekat kita."
"Jadi tidak ada salahnya kan jika Ibu curiga? Terlebih lagi saksi utama yang ada di tempat itu hanya Vanya, jadi dia pasti tahu kronologi kejadian itu," tutur Dena.
Mendengar penuturan yang keluar dari mulut Dena membuat Bram serta Ken terdiam. Mereka seakan membenarkan ucapan dari Dena.
'Sepertinya Ibu benar, tidak ada salahnya jika gue sedikit menekan Vanya, karena memang dia saksi utama,' batin Ken.
Meskipun mereka membenarkan ucapan Dena, namun mereka tetap menaruh kepercayaan yang tinggi terhadap Vanya, karena bagaimanapun ikatan yang terjalin selama ini cukuplah kuat.
Sejatinya mereka sudah terlampau pusing untuk membahas hal yang seakan tak berujung itu. Berjam-jam mereka bahas akan siapa dalang utama dari kecelakaan tersebut, namun hingga detik ini mereka masih belum juga mendapatkan jawaban yang sesuai.
"Vanya, apa kamu ada penjelasan tentang ini? Kita semua juga ingin mendengar langsung dari mulut kamu. Tolong jangan kamu tutupi sedikitpun, katakan yang sebenarnya. Walaupun Ayah juga sangat berharap jika apa yang dikatakan oleh pria brengsek ini hanya sebuah bualan belaka," seloroh Bram menatap kedua bola mata Vanya seolah dirinya sedang mencari jawaban dari mata tersebut.
"Tolong percaya sama aku Yah. Aku gak mungkin melakukan hal jahat seperti itu."
"Dan untuk penjelasan juga Vanya gak tahu harus menjelaskan apa lagi, karena memang Vanya gak tahu apapun, Vanya gak kenal sama pria itu. Tolong percaya sama aku," lirih Vanya menatap satu persatu keluarganya itu.
Kini Vanya merasa jika dirinya berada di dalam situasi yang sangat sulit. Sulit untuk menjelaskan karena memang dirinya bukan musuh keluarga yang telah membesarkannya itu. Tapi dirinya juga bingung harus melakukan hal apa karena kini keluarganya mulai menaruh curiga dan kepercayaan terhadap dirinya mulai goyah.
'Ya tuhan, aku harus menjelaskan apa lagi? Kenapa situasi ini semakin rumit? Dan kenapa setiap ada masalah terhadap keluarga ini, kenapa aku selalu dicurigai? Kenapa tuhan? Tolong bantu aku untuk meyakinkan mereka, karena hanya mereka yang aku punya di dunia ini,' gumam Vanya berdoa dalam hatinya.
"Tapi penjelasan kamu itu tak cukup! Jika memang kamu tidak mengenal pria itu, kenapa dia bisa mengenal namamu?! Jangan bohong kamu!" sahut Dena sinis.
"Iya, pertanyaan Ibu ada benarnya juga. Gimana pria itu tahu kamu Vanya?" Ken menyahuti ucapan Dena
Vanya semakin dibuat bingung akan pertanyaan tersebut, kepalanya berkali-kali menggeleng menyangkal tuduhan Dena.
"Aku gak tahu kenapa dia bisa tahu nama aku Bu, tapi jujur Vanya gak tahu dia," jawabnya pelan.
Kekehan kecil terdengar dari mulut Johan yang sedari tadi tertutup rapat. Dirinya tertawa kecil sembari matanya menatap Vanya sinis.
"Bagaimana mungkin lo gak kenal gue Bos Zevanya Stephanie? Bukankah kita cukup dekat beberapa waktu ini?" celetuk Johan masih dengan kekehan kecilnya.
"Mau berbohong apalagi sih Bos? Sudahlah akui saja semuanya sekarang sebelum terlambat," imbuhnya.
Vanya menatap datar Johan yang sudah memfitnah dirinya.
"Sudah selesai? Apakah anda sudah selesai memfitnah saya?"
"Fitnah apa? Siapa yang memfitnah? Kalau memang gue fitnah lo, kenapa juga gue bisa kenal nama bahkan alamat panti lo dulu gue juga tahu," sahut Johan.
"Akui saja sekarang, karena kita juga sudah tertangkap basah."
"Saya tidak tahu apa tujuan anda memfitnah saya, saya juga tidak tahu mengapa anda bisa tahu sedikit banyak tentang saya. Tapi yang jelas, saya tidak akan pernah mengakui sesuatu yang jelas-jelas saya tidak melakukannya. Sampai mati pun saya juga tidak akan pernah mengakuinya," tegas Vanya.
"Kau sungguh licik sekali Bos, kau sekarang tidak mengakui karena kau ingin bisa bebas sedangkan gue harus menanggung semua ini? Tidak akan gue biarkan! Lo gak bisa hidup bebas sedangkan gue terpenjara karena ulah lo!" teriak Johan penuh amarah.
"Menanggung? Apa yang harus aku tanggung? Bukankah memang seharusnya hanya anda yang menanggung dosa anda? Kenapa saya harus terseret jika daya tidak melakukan dosa itu?"
"Tapi gue melakukan itu semua karena perintah lo! Seandainya lo gak nyuruh gue, gue juga pasti tidak akan membunuh orang! Gue melakukan itu semua hanya demi uang, puas lo?!" geram Johan.
"Diam!" teriak Bram.
"Yang Ingin kami dengar hanya siapa orang yang telah merencanakan niat jahat itu. Penjelasan jujur yang ingin kami dengar bukan adu mulut yang hanya membuang waktu!" bentaknya.
"Ayah, tadi Ayah dengar sendiri kan jika dia melakukan semua itu hanya demi uang, dan pasti dia menerima imbalan yang tidak sedikit. Pasti Ayah tahu maksud aku, aku gak mungkin dalang itu karena Vanya gak mungkin mempunyai uang sebanyak itu, bahkan Vanya hanya seorang anak sekolah dan menumpang hidup di rumah Ayah."
"Cih! Pandai berakting kau rupanya," seloroh Johan.
"Yah, tolong percaya sama Vanya, omongan pria itu tidak masuk akal kan Yah? Percayalah sama aku Yah," ucap Vanya menggenggam kedua tangan Bram.
Pening di kepala Bram semakin terasa semenjak ia berada di dalam ruangan itu. Apalagi ia harus mendengar penjelasan yang rumit dan tak tahu ujungnya, karena dirinya merasa seakan dipermainkan.
"Jika memang kau bisa membuktikan ucapan-mu itu benar maka-"