Terpukul, sudah pasti keluarga dari Bramantyo sangat terpukul atas kehilangan salah satu anggota keluarganya. Mereka semua masih tak menyangka jika Kaira akan pergi menghadap Tuhan secepat itu. Bahkan masih jelas dalam ingatan mereka akan sosok Kaira yang selalu ceria dan membawa warna dalam hidup. Suara nyaring itu juga masih terdengar jelas di telinga. Apakah ini nyata? Mungkin butuh waktu lama untuk menyembuhkan luka menganga dalam hati, tapi untuk saat ini mereka masih tak mengetahui hal apa yang dapat menyembuhkan luka itu.
Banyak orang yang mengatakan kepada mereka jika waktu akan menyembuhkan luka, tapi bagaimana mereka menjalani waktu tersebut jika mereka sangat berat untuk melewati waktu yang terus berputar? Apakah mereka sanggup? Mereka semua sudah berusaha untuk dapat mengikhlaskan kepergian Kaira, namun yang ada hanya sesak di dada. Ikhlas tak semudah yang orang lain ucapkan, sungguh berat rasanya untuk ikhlas.
Rasa tak rela dijauhkan dan ditinggalkan oleh orang tersayang membuat ketiga hati orang itu berubah menjadi rasa dendam dan amarah. Bram, Dena serta Kennard merasakan hal itu. Mereka bertekad untuk segera menemukan orang yang telah menyebabkan kematian Kaira dan berjanji akan membayar perbuatan terkutuk itu dengan ganjaran yang mungkin jauh lebih buruk dari kematian.
'Mungkin nyawa bisa dibayar dengan nyawa, tapi mati sekalipun mungkin tak akaan pernah sepadan dengan kematian Kak Kai. Gue janji bakal secepatnya menemukan pelaku dan dengan tangan gue sendiri, gue akan memberikan hukuman yang jauh lebih buruk dari kematian,' gumam Ken dalam hati dengan tekad yang kuat.
Tak jauh berbeda dengan Ken, Bram dan juga Dena pun merasakan dendam dan amarah yang begitu mendalam. Mereka berjanji tak akan melepaskan pelaku begitu saja.
'Kau telah membuat anakku mati, maka kau juga akan menjemput ajal dengan caraku,' gerutu Dena dalam hati dengan tatapan mata yang sulit untuk diartikan.
Jauh berbeda dengan apa yang dirasakan ketiga orang itu, Zevanya yang berhati lembut hanya bisa bersedih dan juga menyesal. Sedih karena nyawa sang Kakak yang selalu membelanya justru tak tertolong, dan juga merasa sedih karena dirinya tak bisa menyelamatkan Kaira.
Namun, ada satu hal yang semakin membuat hatinya sangat bersedih, mungkin kematian Kaira cukup membuatnya sedih namun, ia sadar jika kematian sudah menjadi garis takdir dari sang pencipta. Hal sedih lainnya yang ia rasakan ialah tuduhan dan pandangan Dena terhadap dirinya. Sang Ibu yang memang tak menyukai dirinya kini semakin membencinya. Bahkan sudah bertahun-tahun dirinya mencoba untuk membuat Dena menerimanya namun, usahanya terbuang sia-sia, dan kini tuduhan itulah yang membuat dirinya semakin terpukul.
Vanya tak menyalahkan Dena atas tuduhan itu, karena ia tahu jika Dena sangat terpukul atas kepergian Kaira. Dirinya hanya berdoa agar kebenaran secepatnya terungkap dan pelaku tersebut dapat segera ditemukan agar dirinya bisa membuktikan jika tuduhan Dena terhadapnya itu semuanya salah.
Kini sudah tujuh hari semenjak Kaira meninggalkan mereka semua. Namun, penyelidikan masih belum menemukan titik terang. Segala upaya telah mereka lakukan namun, nyatanya hasilnya masih nihil.
"Bagaimana Yah? Apa sudah ada kemajuan atas penyelidikan kasus Kaira? Kenapa lambat sekali untuk menyelidiki kasus ini? Ini sudah seminggu semenjak Kaira tidak ada," tanya Dena kepada sang suami.
"Sabar Bu, sepertinya pelakunya bukan orang sembarangan. Dia orang yang begitu cerdik sampai-sampai Ayah dan pihak kepolisian pun belum menemukan kemajuan akan kasus ini."
"Kamu juga belum menemukan petunjuk apapun itu Ken?" tanyanya kepada sang anak.
"Belum Yah. Seperti apa yang dikatakan Ayah, sepertinya orang tersebut memang bukan orang sembarangan. Tapi Ken menemukan satu hal penting kemarin."
"Apa?" tanya Bram tak sabar.
"Sepertinya pembunuhan ini memang sudah direncanakan Yah, dan bukan karena unsur ketidaksengajaan belaka," jelasnya.
"Maksudnya? Ada orang yang memang sudah mengincar begitu? Tapi seingat Ayah, Ayah tidak memiliki musuh atau apapun itu, lantas siapa yang sudah berniat jahat kepada keluarga kita?" ujar Bram sembari mengingat akan teman relasinya.
"Memangnya apa yang kamu temukan Ken?" imbuhnya.
"Plat mobil yang digunakan ternyata palsu, dan mobil yang digunakan pelaku juga langsung dibuang di jurang di luar kota," terang Ken sembari menunjukkan foto hasil penyelidikannya.
"Berarti benar dugaan kamu Ken, ini semua memang sudah direncanakan," geram Bram mengepalkan kedua tangannya.
Melihat hasil penyelidikan Ken, membuat Bram memutar otaknya mencari siapa orang yang telah berniat buruk terhadap keluarganya. Namun, sekeras apapun ia memutar otak, dirinya tak menemukan satu orang pun yang dapat ia curigai atas kasus ini. Karena yang ia tahu, ia selalu menjalin hubungan baik dengan relasi kerjanya ataukepada orang lain.
"Berarti kita harus berhati-hati, karena kita tidak tahu siapa orang itu. Bisa saja dia masih mengincar kita. Dan yang Ibu pikirkan, jangan-jangan orang tersebut orang terdekat kita," celetuk Dena.
"Maksud Ibu apa? Setahu Ayah, Ayah tidak punya musuh, apalagi orang terdekat. Rasanya itu tidak mungkin Bu," sahut Bram.
"Apa yang tidak mungkin Yah? Semua yang tidak mungkin di dunia ini bisa jadi mungkin."
"Karena sejatinya musuh terdekat kita ialah orang terdekat kita," ucap Dena penuh penekanan.
"Jangan menerka-nerka dulu Bu, kita belum tahu pastinya siapa dalang dibalik ini semua. Saran Ken, Ibu jangan berasumsi yang belum pasti, karena itu hanya dapat menambah beban pikiran kita," tutur Ken.
"Terserah katamu lah Ken, yang terpenting Ibu minta buat kalian harus segera menemukan pelaku tersebut dan jangan sampai pelaku berhasil melarikan diri semakin jauh," sahutnya.
"Pasti Bu, tanpa Ibu suruh kita sudah berusaha maksimal. Tapi memang untuk mengungkap ini semua tidak mudah."
Ketika ketiga orang itu tengah berbincang akan kasus yang tak kunjung terselesaikan, di sudut sofa gadis cantik itu hanya bisa diam dan mendengarkan segala ucapan yang tengah keluarganya bahas.
Dirinya tak berani ikut berkomentar apapun karena memang dirinya tak tahu menahu akan hal itu.
Dirinya kini hanya menyibukkan diri untuk belajar menyambut ujian kelulusan yang sedang berlangsung. Ia berharap dapat meraih nilai yang memuaskan dan dapat meneruskan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi serta dapat meraih mimpinya yang selama ini ia idam-idamkan.
Bunyi deringan ponsel Kennard menghentikan obrolan dari ketiga orang tersebut, dengan gerakan cepat Ken langsung meraih ponselnya dan mengangkat panggilan telepon tersebut.
Raut wajah tenang dan datar Ken seketika langsung berubah ketika mendengar percakapan telepon tersebut, tanpa menghiraukan tatapan semua orang yang kini menatapnya penuh tanda tanya, dirinya segera memutuskan panggilan tersebut dan langsung berlari menuju kamarnya guna mengambil jaket serta kunci mobil.
"Ken, kamu mau kemana?"
"Ken mau pergi," jawabnya terburu-buru.
"Ada apa yang terjadi?" desak Bram menghentikan langkah Kennard.
"Pelaku tabrakan itu sudah ketemu."