"Yah, gimana kasus Kaira? Ayah sudah menemukan pelakunya belum? Pokoknya Ibu tidak mau tahu, Ayah harus segera mencari keberadaan pelaku dan menghukum dia dengan ganjaran yang setimpal. Kalau perlu bunuh orang itu!" geram Dena berapi-api.
Bram hanya mampu mendesah mendengar amarah dari sang istri yang terus berkobar, tanpa di minta pasti ia akan mencari dan menghukum pelaku. Namun saat ini dirinya benar-benar lelah, lelah fisik dan juga batin.
"Ibu tenang saja, Ayah bakal usut tuntas kasus ini dan tidak akan membiarkan pelaku bebas begitu saja. Dan Ayah juga sudah menyuruh orang buat mencari pelaku, Ibu tenang saja," jawabnya mencoba menenangkan istrinya.
Jujur saja, dalam hati Bram juga sangat mengutuk pelaku yang telah merenggut nyawa anaknya, bahkan menurut dirinya, hukuman mati pun tak akan sepadan dengan apa yang telah dilakukan pelaku terhadap Kaira.
'Sampai lubang semut pun aku akan menemukanmu sialan! Jangan harap kau akan hidup bebas setelah apa yang kau lakukan kepada keluargaku!'
Tak jauh berbeda dengan apa yang dirasakan kedua orangtuanya, Kennard juga merasakan hal yang sama. Dirinya masih tidak ikhlas menerima kenyataan yang telah Tuhan tetapkan. Bahkan, tanpa sepengetahuan siapapun dirinya juga memerintahkan beberapa orang untuk menyelidiki kasus tersebut, karena dirinya sudah tak sabar untuk memberikan ganjaran kepada pelaku.
'Akan aku masukkan kau ke dalam neraka bajingan! Kau telah berani menyentuh keluargaku, maka tak akan aku biarkan kau bisa menghirup udara dengan bebas!' desisnya dengan tangan mengepal kuat menahan amarah.
Saat ini, ke-empat manusia itu masih merenungi hati yang tersakiti karena kepergian orang terkasih. Orang yang selalu membawa keceriaan kini telah hilang dalam waktu sekejap. Mungkin ini memang jalan tuhan yang telah ditetapkan, namun hati tetap tidak bisa berbohong jika keikhlasan memanglah sulit, biarlah mereka dianggap sebagai manusia yang berdosa karena menyalahkan takdir, tetapi memang itulah yang mereka rasakan kini.
Waktu, mungkin hanya satu cara untuk membuat mereka ikhlas menerima. Dan biarlah waktu bergulir dan membawa luka hingga nanti hanya akan tersisa keikhlasan dan kebahagiaan yang menyapa.
"Ken," panggil Bram kepada anak lelakinya itu.
"Iya Yah," sahutnya cepat tersadar dari lamunannya.
"Waktu itu kamu belum jawab pertama Ayah."
"Pertanyaan apa Yah?"
"Gimana ceritanya Kakak kamu bisa tertabrak mobil? Kalian sebenarnya pergi ke mana kemarin?" tanya Bram menatap mata Ken dalam.
Ken terlihat memejamkan matanya sejenak kala kilasan memori itu kembali terlintas. Darah yang bercucuran dari tubuh Kaira seakan menjadi ketakutan tersendiri bagi Ken, membuat kepalanya pening dan juga keringat dingin keluar dari tubuhnya.
"Iya Ken, Ibu juga mau dengar cerita itu dari kemarin, cepat ceritakan itu Ken," desak Dena.
"Sebenarnya untuk cerita lebih detail, Ken gak tahu Bu. Yang Ken tahu waktu itu, Ken menyusul mereka karena pergi lama. Tapi belum sempat Ken menemukan mereka Ken melihat kerumunan warga jadi Ken mendekat. Tapi sialnya, saat Ken sudah berada di antara kerumunan itu justru Ken melihat pemandangan yang tak ingin Ken lihat."
"Waktu itu Ken sudah lihat Kak Kai sudah tergeletak di jalan, Ken cuma tahu itu," sahutnya lirih dan tanpa ia sadari air matanya kembali menetas membasahi wajahnya.
"Tunggu! Kamu bilang kalau kamu mencari mereka? Mereka siapa? Memang kalian terpisah?"
"Kak Kai sama Vanya Bu. Kita bukannya terpisah, tapi saat kita mau pulang, tiba-tiba Kak Kai mau beli siomay di sebrang jalan dan Kak Kai menyuruh Ken buat tunggu di mobil, dan begitulah kejadian selanjutnya," jawabnya.
"Vanya? Berarti di sini kamu yang paling mengerti kejadian detail itu kan Nak? Coba cerita ke Ayah," ucapnya lembut sembari mengusap kepalanya.
Zevanya yang sedari tadi hanya diam, kini tiba-tiba lidahnya kelu dan tubuhnya menegang.
Sampai detik ini dirinya memang masih menyalahkan dirinya sendiri atas kejadian yang menimpa Kaira. Dan jika waktu bisa berputar, ia lebih memilih untuk menjadi korban dan tak akan membiarkan Kaira menyelamatkan dirinya.
"Kenapa kamu diam saja? Ayo ceritakan semuanya," seru Dena menatap Vanya tajam.
Mendengar seruan Dena, semakin membuat tubuhnya bergetar takut. Dirinya takut jika Dena akan semakin membenci dirinya dan menyalahkannya.
'Aku harap kejadian ini tidak akan membuat hubungan aku sama Ibu semakin runyam. Karena kejadian ini murni kecelakaan,' batinnya berharap.
"Wa-waktu itu pas kami lagi mau menyebrang jalan setelah membeli jajan, awalnya jalanan sepi, tapi entah dari mana datangnya ada sebuah mobil yang melaju kencang ke arah kami, melihat itu Kak Kai langsung mendorong Vanya namun naas, justru Kak Kai yang menjadi korban tabrakan itu," tentang Vanya menunduk takut.
"Apa?! Jadi anak saya meninggal itu karena kamu! Karena ingin menyelamatkan kamu Kaira sampai meregang nyawa seperti ini?" teriak Dena sembari mengacungkan jari telunjuknya ke wajah Vanya.
Bram dan juga Ken seketika langsung berusaha menenangkan Dena dan menyelamatkan Vanya dari amarah Dena.
"Bu, kenapa Ibu bisa menuding Vanya seperti itu? Kaira meninggal bukan karena Vanya, tapi karena mobil itu," ucap Bram.
"Kaira meninggal jelas karena dia Yah! Memang dasar anak pungut pembawa sial! Demi menyelamatkan nyawa gak berguna-mu itu anakku meninggal!"
Vanya semakin merasa takut karena tudingan Dena, bahkan ia tak kuasa membendung air matanya. Dalam hati ia juga menyamankan tindakan Kaira yang justru menyelamatkan dirinya.
'Harusnya Kak Kai tetap hidup, dan biarkan saja aku menjadi korban tabrakan itu. Karena hati aku merasa sakit melihat keluarga ini sedih dan berujung kesalahpahaman seperti ini,' gumamnya dalam hati.
"Sudah Bu! Jangan bicara seperti itu lagi, tidak ada satu orang pun di dunia ini yang membawa sial. Semua orang yang lahir itu adalah anugerah. Dan jangan menyalahkan orang yang belum tentu bersalah."
"Biarkan kita ungkap kasus ini sesuai fakta yang terjadi, kita tunggu saja hasil penyelidikan dari pihak kepolisian dan juga orang suruhan Ayah," ujar Bram.
"Apa Ayah bilang? Jangan menyalahkan orang yang belum tentu bersalah? Jelas-jelas dia salah Yah! Pasti kecelakaan ini terjadi karena dia, karena tidak mungkin Kaira meninggal jika dia tidak menyelamatkan anak pungut ini!"
'Apakah aku pantas untuk disalahkan? Apa memang aku ini pembawa sial?' batin Vanya bertanya-tanya.
"Bu, please. Kita saat ini masih berkabung duka, rasanya tidak etis jika kita membicarakan masalah ini, apalagi dengan emosi yang masih tak terkendali. Terlepas dari siapa yang salah dari masalah ini, biarkan fakta yang berbicara. Karena jika Ibu terus menyalahkan Vanya dengan tuduhan yang tak jelas seperti itu sama saja itu dengan fitnah."
"Kita tunggu saja hasil penyelidikan itu selesai, baru Ibu bisa menyalahkan siapa yang memang salah," ujar Ken tegas membuat semua orang itu bungkam.