Chereads / Denting sendu / Chapter 4 - Garis Takdir

Chapter 4 - Garis Takdir

"Maaf, dengan keluarga Nona Kiara?"

"Ya, kami keluarganya Dok," sahut Bram cepat begitu melihat seorang dokter keluar.

Mereka berempat langsung mendekat ke arah dokter itu seakan mereka sudah tak sabar untuk mendengar penjelasan mengenai kondisi dari Kaira.

"Anak saya baik-baik saja kan Dok? Tidak ada sesuatu yang serius kan? Cepat katakan Dok!" desak Dena.

Dokter pria tersebut terlihat menghembuskan nafasnya kasar seraya menggeleng pelan.

"Maaf, Tuan Bram."

"Iya, kenapa Dok? Ada apa dengan anak saya? Dia baik-baik saja kan? Tidak ada sesuatu yang buruk kan Dok?" sahut Bram langsung memberondong berbagai pertanyaan yang sedari tadi memenuhi otaknya.

"Maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Namun, ternyata Tuhan memiliki rencana lain yang lebih indah," ucap Dokter tersebut seraya menghembuskan nafasnya berat.

"Tuhan lebih menyayangi anak anda, dia sudah bahagia disisi Tuhan dan sudah tidak merasakan sakit lagi. Anak anda, telah meninggal Tuan," ucap Dokter itu kembali.

"Apa maksudmu bicara seperti itu? Jangan bercanda Dok! Anak saya pasti baik-baik saja! Dia tidak mungkin meninggal secepat ini!" teriak Dena histeris sembari mengguncang bahu Dokter tersebut.

"Maaf. Tapi saya tidak mungkin bercanda akan nyawa seseorang."

"Nona Kaira menghembuskan nafas terakhirnya saat kami sedang berusaha melakukan tindakan operasi pada bagian kepalanya. Kecelakaan tersebut mengakibatkan benturan yang sangat keras pada dada, leher serta kepala yang membuat pendarahan hebat, dan mengakibatkan beberapa syaraf bermasalah. Dan ternyata, Nona sudah tak sanggup lagi berjuang hingga ia lebih memilih pergi bersama Tuhan, sepuluh menit yang lalu," terangnya.

Blank. Keempat manusia itu seketika membeku di tempat, otaknya tiba-tiba tidak bisa mencerna setiap kata yang terucap dari dokter tersebut. Otak dan hatinya mencoba untuk menyangkal itu semua, namun suara yang mengerikan itu terdengar begitu nyata.

'Kenapa sekarang Tuhan?' batin Bram.

"Tolong kembalikan anakku! Kau Dokter kan? Cepat kembalikan anakku! Anakku harus kembali hidup! Cepat Dokter! Cepat lakukan sesuatu untuk anak saya!" teriak Dena dengan berderai air mata.

"Tenang Bu! Jangan seperti ini," lerai Bram yang tak kalah terpukulnya dengan sang istri.

"Kita semua makhluk tuhan Bu, dan sudah pasti kita akan kembali lagi kepada sang pencipta. Kita tidak pernah tahu masa kita ada di dunia ini, kita semua hanya tinggal menunggu waktu. Mungkin ini memang sudah menjadi jalan takdir Kaira, kita harus ikhlas melepas kepergian Kaira," ujar Bram mencoba menenangkan istrinya walaupun ia juga merasakan pukulan yang sangat dahsyat akan berita tersebut.

"Tapi kenapa harus Kaira Yah? Kenapa? Dia masih muda, masa depan dia masih panjang."

"Kenapa kau ambil anakku Tuhan? Kenapa?!"

"Sudahlah Bu! Tuhan sudah menulis jalan takdir yang baik untuk anak kita. Mungkin Tuhan tidak rela jika anak kita terus kesakitan dengan berbagai macam alat media menempel di tubuhnya, maka dari itu Tuhan mengambil dia dari kita."

"Tapi kenapa Tuhan menitipkan dia jika hanya sementara? Bukankah itu menyakitkan? Tuhan mengambil dia di waktu yang begitu cepat. Kenapa tuhan begitu tega menitipkan dia dan mengambil dia dengan begitu mudah?Bukankah Itu sangat menyesakkan dada?" gumam Dena pilu.

"Astaga Bu! Jangan ngomong seperti itu, kita semua memang hanya titipan Tuhan, kita hidup juga untuk Tuhan, jadi sudah pasti kita akan kembali lagi kepadanya."

"Garis hidup sudah diciptakan sebelum kita terlahir di dunia, jadi ini memang sudah menjadi jalan Kaira untuk kembali lagi bersama Tuhan. Sudah Bu, sabar dan ikhlas, karena hanya itu yang diinginkan Kaira. Percayalah, Kaira pasti sudah bahagia menjadi bidadari surga, jadi Ayah mohon, Ibu ikhlas melepas kepergian anak kita agar tidak menghalangi jalan Kaira untuk terbang tinggi menuju surga."

"Ikhlas Bu, ikhlas!" seloroh Bram menenangkan istrinya yang terus meraung meratapi kepergian anak perempuannya.

"Yah, Bu. Lebih baik kita masuk ke dalam untuk melihat Kakak untuk yang terakhir, setelah itu lebih baik kita langsung bawa pulang Kakak untuk segera disemayamkan," usul Ken yang tak kalah sedih.

Mereka berempat pun masuk ke dalam ruangan dimana tubuh Kaira sudah terbujur kaku. Tangis keempat manusia itu kembali pecah kala melihat tubuh kaku dan dingin dari orang yang teramat mereka sayangi.

Tak ingin berlama-lama membiarkan jenazah Kaira berada di rumah sakit, Bram pun mengutus seseorang untuk mengurus administrasi Kaira dan segera membawa Kaira kembali ke rumah agar bisa segera dilakukan upacara pemakaman, namun karena hari masih menunjukkan pukul dua dini hari, pemakaman pun akan dilakukan esok hari di pemakaman keluarga Bramantyo.

***

Di kediaman Bramantyo sudah ramai akan keluarga dan sanak saudara yang ingin melayat. Dan keempat manusia itu tak henti-hentinya memandangi wajah Kaira yang tak akan pernah bisa mereka lihat lagi. Mata yang memandang mereka pun ikut serta menitihkan air mata iba akan musibah yang menimpa keluarga Bram.

'Pertemuan singkat kita sangatlah membekas dan tak akan pernah bisa untuk dihapus. Kenangan indah kala kita melewati dunia fana, dan penuh akan tangis dan tawa. Kebersamaan singkat kita akan selalu tersimpan di relung hati. Walaupun kini kita ada di dimensi yang berbeda, namun batin kita akan selalu terikat. Namamu akan selalu terucap dalam setiap doaku. Terimakasih untuk setiap waktu yang selalu engkau torehkan untukku. Selamat tinggal,' gumam Vanya tersenyum tipis walaupun hatinya begitu tersayat.

Malam yang dingin kini telah berganti dengan esok yang sejuk ditemani oleh langit mendung. Namun kesejukan itu tak ada arti bagi keluarga Bramantyo. Rasa kehilangan seakan terus menyeruak dalam hati mereka, atensi mereka pun tak pernah lepas dari sosok Kaira yang terbujur di hadapannya.

Mereka semua merasa tak rela jika harus melepaskan Kaira pergi menghadap Tuhan. Walaupun dalam hati mereka mencoba untuk ikhlas menerima kenyataan Tuhan. Tapi apalah daya, mereka hanya manusia biasa yang sulit untuk menerima kenyataan pahit yang ditetapkan Tuhan.

Kini rintik hujan turun membasahi bumi mengiringi pemakaman Kaira, seakan alam pun merasakan kesedihan yang mendalam. Jerit tangis begitu terdengar nyaring di telinga begitu tubuh dari sosok cantik dan manis Kaira ditutupi oleh tanah.

Para pengiring jenazah telah bergegas meninggalkan tempat peristirahatan Kaira dan meninggalkan keluarga Bram yang masih betah bersimpuh di pusara Kaira.

"Terbang tinggi menuju surga my little princess. Tunggu Ayah dan jemput Ayah jika waktu itu tiba," ujar Bram batu nisan yang bertuliskan nama anaknya.

"Hai my beautiful sister, sekarang Kakak sudah bahagia di surga kan? Maafin Ken Kak, karena tidak bisa menjaga Kakak dengan baik. Tunggu kami di sana Kak, dan berbahagialah di sana. Kita sayang Kakak," ucap Ken yang masih tidak bisa menerima kepergian sang Kakak dan masih saja menyalahkan dirinya sendiri.

'Terimakasih dan maafkan aku Kak Kai. Jaga kita di atas sana ya Kak. Tidurlah dengan nyenyak dan sampai kita bertemu lagi,' gumam Vanya dalam hati.

Setelah menyampaikan pesan terakhirnya, mereka pun dengan berat hati meninggalkan tempat keabadian Kaira.

Namun, dibalik kesedihan itu semua, tampah seseorang menaruh gemuruh dalam hatinya.

'Kenapa bisa seperti ini? Kenapa semuanya menjadi kacau? Sialan!'