Chereads / Denting sendu / Chapter 2 - Anak Pungut

Chapter 2 - Anak Pungut

'Awas kau anak sialan! Kau pasti mempunyai maksud terselubung masuk ke keluarga ini. Kau tak akan kubiarkan hidup bahagia! But, selamat datang di neraka anak sialan!' batin Dena menyeringai.

Dena, istri dari Bramantyo itu memang sudah menolak keinginan sang suami untuk mengadopsi anak. Namun sikap Bram selalu tak bisa ditentang, pria itu nekat dan tak memperdulikan penolakan Dena.

Dena bukan tak memiliki alasan untuk menolak keinginan Bram. Ia merasa hidupnya kini sudah sempurna, materi yang tak pernah kekurangan, serta keluarga yang begitu harmonis. Namun, kini ia mempunyai masalah baru dengan adanya Zevanya di rumahnya. Setiap hari bahkan ia merutuki sang suami yang begitu ceroboh memilih anak panti yang tak memiliki asal-usul yang jelas.

'Otak suami aku sebenarnya gimana sih? Bisa-bisanya dia mungut anak gak jelas gitu!' sungutnya dalam hati.

Dalam hatinya ia juga merutuki sikap kedua anaknya yang justru membuatnya tercengang. Dirinya memang sengaja tak memberi tahu tentang niatan Bram agar kedua anaknya itu shock dan menentang kehendak Bram. Namun, sungguh tak ia sangka, kedua anaknya justru tak memihak kepada dirinya. Kaira dan Ken justru terlihat senang akan kehadiran Zevanya, dan hal itu pun sukses membuat hatinya bertambah kesal.

'Aku rasa ada yang salah dengan anak-anak. Kenapa mereka tidak marah? Harusnya mereka marah dong? Otak mereka sudah teracuni apa sih?!'

"Seneng ya Bu, bisa melihat anak kita akur sama Vanya," celetuk Bram mengagetkan Dena dari lamunannya.

"Ya? Oh, iya Yah," jawab Dena singkat.

'Ck! Senang apanya? Justru aku merasa kasihan kalau anak-anak karena bergaul dengan anak pungut kayak dia!' gerutunya dalam hati.

Saat tengah memikirkan nasib anaknya yang malang karena harus bergaul dengan Vanya, sekelebat pikiran tiba-tiba terlintas dalam benaknya.

'Wait! Jangan-jangan anak pungut itu pakai guna-guna atau pelet lagi buat menarik hati suami dan anak-anak? Emang sedikit janggal sih, kenapa kalau Mas Bram mau mengadopsi anak kenapa gak milik yang masih kecil saja? Kenapa harus memilih dia yang sudah besar!? Aneh'

Seringai licik tercekat dalam wajahnya kala serangkaian rencananya sudah tersusun rapi dalam memorinya.

'Ok! Semua sudah beres dan tinggal eksekusi. Pokoknya neraka akan selalu menantimu wahai anak pungut!' gumamnya bersorak.

***

Waktu terus bergulir hingga tak disangka ternyata Dena membuktikan ucapannya dengan menciptakan neraka bagi kehidupan Zevanya.

Sudah tiga tahun lamanya ia tinggal bersama keluarga Bramantyo dan kini ia pun sudah memasuki kelas dua belas. Namun, selama tiga tahun itu pula Dena selalu memperlakukan dirinya layaknya pembantu di rumah. Dena tak pernah menganggap dirinya, kekerasan fisik maupun batin selalu menjadi menu keseharian Vanya.

Awalnya Vanya tak pernah menyangka jika Dena tak mengharapkan kehadiran dirinya karena saat awal ia masuk, Dena selalu bersikap biasa. Namun ternyata itu hanyalah sebuah ilusi semata. Dena hanya akan bersikap baik ketika ada Bram. Namun sebaliknya, jika Bram tidak ada maka Dena bisa bebas menyiksa Vanya sesuka hati.

Menyerah, tentu saja kata itu pernah tercetus dalam benaknya ketika ia sudah tak sanggup lagi menerima segala siksaan dan perlakuan tidak wajar dari Dena. Namun akal sehatnya tetap memilih untuk bertahan di keluarga itu karena rasa balas budi. Balas budi kepada Bram dan kedua saudaranya yang selalu berbuat baik dan selalu menyayangi dirinya. Kekuatan itulah yang menjadikan dirinya untuk tutup mata dan telinga akan semua sikap Dena terhadapnya. Walaupun kenyataan tak segampang apa yang diucapkan. Karena nyatanya ia masih sering menangisi takdirnya. Tapi ia tetap optimis, ia yakin jika Dena akan berubah seiring berjalannya waktu dan dapat menerima dirinya seperti Bram dan juga saudaranya yang selalu menerimanya tanpa pamrih.

"Heh anak pungut! Kerja yang benar jangan cuma bengong aja! Mau kamu saya kasih hukuman?!" bentak Dena berdecak pinggang dan menatap tajam Vanya yang sedang mencuci pakaian.

Anak pungut. Satu kalimat yang selalu keluar dari mulut Dena, namun walaupun sudah sering mendengar panggilan tersebut, hatinya tetap saja merasakan sakit yang teramat.

"Eh, tidak Bu, maaf," jawabnya.

"Apa kamu bilang? Sudah berapa kali saya bilang, kalau kamu diharamkan untuk memanggil saya Ibu selain dihadapan suami saya, karena saya tidak sudi mempunyai anak pungut seperti kamu!"

"Iya," jawab Vanya singkat. Dirinya memang harus meluaskan rasa sabarnya ketika berhadapan dengan Dena, karena memang hanya itu yang bisa ia lakukan.

"Kerja yang benar! Awas kalau masih ada cucian yang kotor!" titah Dena sembari kakinya menendang sebuah ember besar.

Seperti itulah keseharian Vanya, diperlukan layaknya seorang pembantu. Namun itu belum seberapa, karena Dena pernah melakukan hal yang lebih nekat dari itu.

Vanya pernah dikurung di dalam kamar mandi semalaman ketika Bram sedang keluar kota dan kedua anaknya sedang pergi. Alhasil, Vanya pun ditemukan menggigil kedinginan dan pingsan oleh pembantu keesokan harinya.

"Kamu lagi ngapain? Sudah selesai kan pekerjaannya?" tanya Kaira yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang Vanya.

"Ya ampun Kak, Kakak ngagetin deh! Kalau jantung aku copot gimana?" sahut Vanya terkekeh.

"Kalau copot nanti Kakak bawa ke bengkel buat dipasang lagi."

"Lah? Emangnya aku mobil dibawa ke bengkel!"

"Van, kamu sabar banget deh sama Ibu, aku salut sama kamu!" Vanya hanya tersenyum menanggapi ucapan Kaira.

"Pesan Kakak sih cuma satu, jangan pernah masukin ke hati setiap omongan Ibu. Karena aku yakin kok pasti suatu saat Ibu bakal melihat kalau kamu itu seorang yang memiliki hati yang begitu tulus," ucapnya menyemangati sang adik.

"Geli deh Kak dengar Kak Kai ngomong kayak gitu."

"Dih Kamu mah! Udah sekarang kita ganti baju yuk? Aku ajakin kel beli buku, sama Ken juga," ajak kau langsung menarik Vanya masuk kembali ke dalam rumah.

"Kok gitu? Gak bisa dong Kak. Lagian aku gak mau beli buku kok," tolak Vanya karena ia yakin jika Dena tak akan mengijinkan dirinya keluar rumah.

"Ya tahu, tapi aku yang bakal beli buku. Sekalian jalan lah kita nanti. Siblings day out gitu ceritanya."

"Tapi-"

"Udah gak usah nolak! Itung-itung kita refreshing. Lagian kamu kan jarang keluar kecuali pergi sekolah."

"Dan masalah Ibu, biar aku nanti yang ngomong, pokonya kamu tinggal ganti baju terus kita pergi! Cepat gak usah lama!" ujar Kaira memaksa Vanya. Kaira yakin jika adiknya itu pasti ragu karena sang Ibu, tapi ia yakin jika dirinya yang meminta ijin pasti semua akan berjalan lancar.

"Mau ke mana kamu?" tanya Dena sinis menatap Vanya yang tengah menuruni tangga.

"Saya mau menemani Kak Kai beli buku," jawabnya menunduk tak berani menatap Dena.

"Siapa yang kasih ijin kamu kelayapan? Ingat kamu saya kasih tempat tinggal itu semua tidak gratis! Jangan banyak gaya ya kamu!"

"Bu, Vanya kita ajak ke luar ya? Gak lama kok, bentaran doang. Lagian kerjaan rumah juga sudah selesai, jadi Vanya bebas dong," ucap Kai yang memang sudah keluar bersama Ken setelah mereka mendengar keributan dari luar.

"Kak, kamu ngapain ajak dia sih? Kamu pergi ajalah sama Ken, emang kamu gak malu jalan sama dia?" tanya Dena menatap remeh Vanya.

"Ya ngapain malu? Sesama manusia ngapain malu sih? Kecuali aku jalan sama kambing, baru tuh aku malu!" sahutnya terkekeh.

Dan tanpa memperdulikan Dena, ketiga anak itu berjalan cepat ke luar rumah tanpa lupa berpamitan kepada Dena tentunya.

"Kenapa anak-anak dekat banget sih sama anak pungut itu! Kenapa juga mereka gak malu jalan sama dia?" gerutu Dena kesal.

Kini, ketiga anak itu sudah berada di dalam mobil membelah jalanan sore kota kembang Bandung.

"Kalau kamu mau beli buku, beli aja Van. Biar kita nanti yang bayar," ujar Ken setelah mereka berada di sebuah toko buku.

Vanya tentu saja langsung menerima tawaran dari Ken dengan senang hati, ia membeli buku psikologi karena entah mengapa dirinya tertarik akan ilmu yang mempelajari tentang kejiwaan manusia tersebut.

Setelah membeli buku yang mereka inginkan, kini ketiga manusia itu tengah berkeliling di pusat perbelanjaan.

Tangan mereka pun kini sudah penuh akan barang belanjaan, hanya Vanya saja yang hanya menenteng satu paper bag, itu pun ia membeli karena paksaan dari Kaira.

"Eh! Di sana ada penjual siomay, kita beli dulu yuk bentar sebelum pulang," ajak Kaira antusias melihat pedagang siomay yang berada di sebrang jalan.

"Kan tadi udah makan Kak," sahut Ken malas.

"Ya emangnya kenapa kalau tadi udah makan? Gak boleh?" ketusnya.

"Dasar perut karet!" cibir Ken.

"Dih! Mulut lo! Mending lo ambil mobil dulu deh, gue sama Vanya beli siomay dulu, sana!"

"But wait! Sekalian ini bawain barang gue!" titah Kaira langsung pergi meninggalkan Ken.

"Kok jadi gue yang disuruh-suruh sih? Gue udah kayak pembantu deh ini," gerutu Ken kesal terhadap kedua saudaranya.

"Akhirnya bisa beli juga siomay ini," pekik Kaira begitu senang sembari terus menatap siomay yang sudah ada di tangannya.

"Seneng banget kayaknya Kak."

"Jelas lah! Yuk kita balik ke mobil, mumpung jalan lagi sepi," ajaknya.

"Vanya-"