Lagi-lagi Antonio semakin bertindak sesuka hatinya. Sampai-sampai Jena yang saat itu menjdi rekan dalam perjalanan bisnisku kali ini bingung dengan situasi yang tengah kami hadapi. Aku pun mulai memutar otak bagaimana bisa keluar dari situasi yang sangat membuatku tidak nyaman ini.
"Lihat! Sekarang Aku sudah menjadi istri dari Indra. Orang yang dari tadi Kamu bicarakan. Maaf, tapi kedatanganku ke sini untuk urusan bisnis, bukan untuk membahas masalah pribadi."
"Wah, janganlah buru-buru. Aku hanya ingin melepaskan kerinduanku terhadapmu. Kupikir pertemuan kita waktu itu menjadi pertemuan yang pertama dan terakhir, tetapi ternyata tidak. Sepertinya, itu berarti kalau Tuhan sebenarnya telah menjodohkan kita?"
Aku sudah muak dengan pembicaraanku dengan Antonio. Namun, aku harus tetap bersabar karena mau tidak mau dia adalah orang yang menjadi target kerja sama bisnis perusahaanku. Dan akulah yang ditunjuk menjadi penanggungjawabnya.
"Begini saja. Bagaimana kalau kita habiskan hari ini bersama. Kita berdua saja, yang lain biar tetap berjaga di sini. Tenang saja, semua akan tetap aman terkendali."
Sebenarnya aku sangat ingin menolak dan malas meladeni kemauan Antonio yang sangat seenaknya itu. Namun, sebagai utusan perusahaan aku tidak ingin mengecewakan pimpinan. Terpaksa aku menuruti kemauan Antonio, tetapi tetap waspada dengan tindakannya.
Jena terlihat mengkhawatirkanku. "Tenang saja Jen, Aku bisa jaga diri kok. Yang penting Kamu berjaga saja. Kalau-kalau Aku butuh bantuanmu, Kamu bisa segera menyusulku."
Sebelum pergi meninggalkan Jena, aku berpesan dan berjaga-jaga terlebih dulu. Takut jika akan terjadi sesuatu ketika aku bersama Antonio.
"Lama sekali bicara dengan temanmu. Jangan-jangan Kamu masih khawatir saat berjalan bersamaku? Aduh, Aku juga tidak ingin terlihat buruk di mata pegawaiku. Jadi, Kamu tidak perlu khawatir. Aku hanya ingin menunjukkan bagaimana bisnisku berjalan dan membuktikan bahwa jika kerja sama kita berjalan lancar, maka bukan perusahaanku saja yang akan untung, tetapi juga perusahaanmu."
Lagi-lagi aku harus terpaksa menurutinya. Sebenarnya selama pergi berkeliling lokasi usahanya, memang tidak ada celah yang bisa membuatku memberikan penilaian buruk terhadap usaha yang dia dan keluarganya kelola. Sayangnya, akhlaknyalah yang menjadi satu-satunya alasan aku ingin sekali menghindar dan tidak ada urusan dengannya.
Berhubung dia sudah menepati janji untuk tidak bertindak macam-macam terhadapku, aku mulai bersikap baik terhadapnya. Aku yang semula lebih banyak diam pun mulai menanggapi obrolannya dengan sedikit lebih hangat. Tentu saja ini semua kulakukan demi tujuan perjalanan dinasku.
"Baiklah, kita akhiri perjalanan kita di sana." Antonio menunjuk sebuah resto yang di atasnya ada sebuah penginapan miliknya.
"Tenang! Janganlah Kamu berpikir macam-macam. Kita langsung tanda tangan kontrak kerja sama saja. Aku tidak ingin terlalu lama mengulur waktu. Kasihan Kamu sudah jauh-jauh datang dari Jakarta, pasti masih merasa kelelahan akibat jauh dan lamanya perjalanan."
Sepertinya aku salah menilai dia. Ternyata Antonio tetap bisa bertindak profesional. Setelah memesan makanan dan minuman, aku dan dia mulai membaca perjanjian kerja sama perusahaan kami. Tak lama kemudian santap makan siang pun sudah terhidang di atas meja.
"Sebelum melakukan tanda tangan, mari kita makan dulu. Aku sudah memesan makanan ini khusus untukmu, tamu istimewaku."
Tanpa berbasa-basi kembali dan demi menghormati ajakan klien, aku pun dengan senang hati menikmati hidangan yang telah disediakan di atas meja tersebut. Tak lama kemudian, pandangan mataku mulai terasa kabur. Kepalaku mulai pusing dan kemudian aku pun tak sadarkan diri.
Tak ada hal apa pun yang kuingat kecuali terakhir aku sadarkan diri, aku sedang bersama Antonio. Namun, ketika aku terbangun sudah ada Indra yang sedang duduk sambil menggenggam tanganku.
"Lo, Sayang kok ada di sini?" tanyaku heran sekaligus kaget melihat sosok suamiku tersebut.
"Iya ... lagi-lagi Aku menyelamatkanmu."
"Wah, kok bisa Kamu bilang begitu? Tunggu dulu ... jangan-jangan ...." Aku mulai memiliki firasat buruk. Sepertinya memang ada yang tidak beres dengan pertemuan terakhirku bersama Antonio.
"Iya, laki-laki brengsek itu kembali mencari gara-gara. Untung Aku mengikutimu dan datang ke sini. Saat Kamu berangkat ke kantor, firasatku sudah tidak enak lagi."
"Astaga! Benar-benar ya orang itu! Bisa-bisanya Aku terkecoh dengan tingkah lakunya yang terlihat profesional itu." Aku masih sangat beruntung, karena sebelum aku sampai ke resto dan memakan makanan yang disajikan untukku itu, aku mengirimkan lokasiku berada kepada Jena.
Aku merasa sangat lega karena Tuhan masih melindungiku. Aku memang sangatlah ceroboh. Tak seharusnya mentang-mentang karena pekerjaan aku mulai melunak kepada Antonio yang jelas-jelas telah menciptakan kenangan buruk kepadaku.
"Sudahlah, tidak perlu Kamu pikirkan lagi. Baik urusan pribadi maupun urusan pekerjaan sudah aman terkendali. Jena sudah membantu memprosesnya. Untung saja orang tua Antonio merasa bersalah dan sadar betul tentang kelakuan putranya tersebut."
"Jadi, masalah kontraknya bagaimana?"
"Kontraknya sudah ditandatangani langsung oleh papanya Antonio, pemilik sah usaha ini."
Penjelasan Indra membuatku merasa lebih tenang. Jauh lebih tenang dari sebelumnya.
Sebagai gantinya, Pak Jimi, papa dari Antonio memberikan fasilitas penginapan dan restoran secaa gratis untuk aku, Indra, dan Jena untuk meredam amarah kami dan berharap kami tidak akan melanjutkan kasus ini ke pihak yang berwajib.
"Suamiku jadi suami siaga banget sih. Padahal Aku berniat untuk tidak merepotkanmu lagi, tapi lagi-lagi Kamu jadi terlibat ke dalam masalahku."
"Sayang, kitakan pasangan suami istri. Jadi, untuk apa merasa sungkan begitu? Sudah merupakan kewajibanku untuk selalu melindungimu."
Ucapan Indra membuatku terharu. Entahlah bagimana jadinya hidupku kalau bukan karena dialah yang menjadi pasangan hidupku. Aku sendiri merasa heran, bagaimana bisa selama berada di sampingnya dari sejak masih belia dulu, mataku tertutup terhadapnya. Bisa-bisa dulu aku tidak pernah melihat dirinya sebagai seorang laki-laki.