Mohon maaf, kondisi janin di rahim Ibu tidak bisa kami selamatkan. Nyawa ibunya bisa tertolong saja sudah merupakan sebuah mukjizat. Semoga Bapak dan Ibu bisa ikhlas menerima cobaan ini," ungkap dokter ketika aku dan Indra menanyakan kondisi anak kami yang masih berada di dalam kandungan.
Sebenarnya, Indra sudah tahu sebelumnya. Karena dia terlebih dulu sadar daripada aku. Dan ketika kondisiku memburuk, dokter yang meminta persetujuannya untuk menjalankan operasi pun sudah menceritakan tentang kondisi dan risiko-risiko tertentu yang akan kami hadapi. Nyawa menjadi taruhannya. Sudah jelas bahwa bayi kami sudah tidak mungkin diselamatkan, tapi jangan sampai aku sebagai ibunya juga mengalami kondisi serupa. Sehingga, secepat mungkin dokter melakukan tindakan operasi pada diriku yang masih belum sadarkan diri dan masih berjuang untuk tetap menjalani hidup bersama Indra, suamiku tercinta.
Kedua orang tuaku dan Indra sudah tahu tentang keadaan kami berdua. Wajah yang terlihat dari mereka adalah wajah merasa bersalah dan tak tega. Mana ada orang tua yang tega melihat anak-anaknya menderita? Yang ada, kebanyakan dari mereka rela menggantikan posisi anaknya yang menderita.
"Sabar ya Sayang, semua ini cobaan untuk keluargamu dengan Indra. Di balik semua musibah, pasti ada hikmah yang tersimpan. Allah sayang sama Kamu dan suamimu, jadi Kamu juga harus terus semangat menjalani hidup. Ingat! Jangan sampai Kamu menyalahkan dirimu sendiri." Bunda memberikan nasihat untukku dan berusaha menenangkanku.
"Kalau Aku lebih berhati-hati, semua ini pasti tidak akan terjadi." Aku masih merasa bahwa kalau bukan karena aku sendiri, semua musibah ini tidak akan terjadi. Malang sekali anakku. Belim sempat melihat dunia, dia harus dipanggil kembali oleh Sang Pemberi Nyawa.
"Benar kata Bunda. Semua ini sama sekali bukan salahmu. Semua merupakan sebuah takdir yang harus kita terima dengan lapang dada." Indra dengan bijak mengatakan itu kepadaku. Padahal, aku juga tahu bahwa perasaannya sendiri tidak sedang baik-baik saja. Suamiku memang sangat bijak, sabar, dan penyayang. Dia dengan penuh perhatian dan pengertian tidak pernah menyalahkanku sama sekali. Malah, dia terus menerus mendukungku. Dalam keadaan apa pun. Sampai-sampai, ketika aku benar-benar melakukan kesalahan pun, dia masih dengan sabar mengingatkan tanpa menghakimi ataupun menyakiti hatiku.
Keluarga memang tempat ternyaman dalam mencurahkan perasaan. Orang lain hanya bisa sekedar mencibir dan menghakimi, tanpa mau benar-benar mengerti. Sudah jelas-jelas aku dan Indra baru dilanda musibah dan cobaan, tapi mereka bukannya mendoakan dan memberikan dukungan, tapi malah menghakimi dan menyalahkan.
"Jangan-jangan Rena dan Indra sering melakukan hal-hal buruk ketika mendaki gunung? Makanya mereka sering dilanda musibah dan tak kunjungi diberikan momongan. Eh, giliran sudah dikasih momongan belum lama malah langsung keguguran." Ada-ada saja tingkah laku mereka. Aku benar-benar muak mendengar omongan-omongan jahat dari orang-orang macam mereka.
"Sudah, tidak perlu didengarkan. Aku akan memaki mereka." Sebenarnya Indra ingin membalas omongan mereka, tetapi aku melarangnya. Aku tidak ingin aku dan dirinya semakin menjadi buah bibir yang tidak menyenangkan di daerah tempat tinggal kami. Untung saja, ternyata Bunda juga mendengar gunjingan orang-orang tersebut. Sehingga, dia membantuku dan Indra kembali membalas ucapan mereka yang sangat tidak mendasar tersebut.
"Kalian pikir anak-anak kami ini anak-anak yang bagiamana? Anak-anak kami adalah anak-anak yang berpendidikan, bertanggung jawab, dan sangat baik. Bisa-bisanya kalian para orang tua yang tidak tahu apa-apa bergosip buruk tentang mereka! Kalian sama sekali tidak ada hak untuk menyakiti perasaan mereka. Mulut busuk kalian inilah yang harus dijaga!"
Sepertinya Bunda sudah cukup muak dengan tingkah laku orang-orang tersebut. Dia sudah tidak bisa bersabar sama sekali. Padahal, selama ini Bunda adalah orang yang paling sabar dalam menghadapi semua ujian hidup ini. Bunda adalah sosok yang sangat kukagumi dan kuhormati selama ini.
"Nak, Kamu tenang saja. Kamu jangan terpengaruh omongan orang-orang bermulut sampah seperti mereka. Enak saja mereka mengatakan hal buruk tentang anak-anakku. Mendidik anak mereka sendiri saja selama ini enggak becus. Giliran menilai anak orang saja, sok-sokan menjadi orang paling benar," keluh bunda sambil berusaha menenangkanku.
"Sayang, apa sebaiknya Aku keluar saja dari pekerjaanku?" tanyaku kepada Indra. Aku mulai berpikir untuk sementara tidak dulu bekerja. Aku merasa sangat bersalah setelah kehilangan anak kami. Padahal, Indra sudah sering meyakinkanku bahwa semua ini bukan salah siapa-siapa termasuk aku sendiri.
"Kamu yakin? Jangan memutuskan sesuatu ketika sedang emosi. Aku tahu bahwa Kamu terlihat senang saat bekerja. Selama ini Kamu nyaman menjadi seorang wanita karir. Sehingga, Aku tidak yakin bahwa keputusan yang baru saja Kamu sampaikan kepadaku ini benar-benar keputusan dari hasil pemikiran dengan kepala dingin.
Sudah sering kali Aku katakan untuk tidak memasukkan omongan-omongan orang yang tak mendasar itu ke dalam kepalamu. Jadi, jalani saja apa yang membuatmu nyaman dan senang. Aku ingin melihat istriku bahagia, bukan ingin melihat istriku menderita."
Indra kemudian memelukku dengan sangat erat. Aku tahu dia sedang berusaha menguatkanku. Dia benar-benar takut aku merasa tidak nyaman dan sedih terus menerus. Aku mencintainya, sungguh-sungguh mencintai dirinya, suamiku tercinta.
"Baiklah, Aku akan memikirkannya kembali dengan kepala dingin. Sekaligus dengan hati yang tenang dengan mencari petunjuk Yang Maha Kuasa. Aku tidak ingin gegabah dan menyesal seumur hidup. Hidup hanya sekali, jadi Aku harus memanfaatkannya dengan sangat baik, tanpa harus meninggalkan sebuah penyesalan besar di kemudian hari." Aku berkata dengan menatap mata Indra. Aku ingin membuatnya yakin bahwa perasaanku sudah baik-baik saja.