Akhirnya setelah bertahun-tahun tas cariel pemberian Indra sejak dia melamarku untuk dia jadikan istri bisa kami gunakan bersama. Anugerah memang benar-enar sebuah anugerah bagiku dan Indra. Meskipun banyak sekali omongan miring atas kehadirannya di tengah keluarga kami, tapi hal itu tidak menjadikan rasa sayangku dan Indra pudar untuk gadis kecilku itu.
Dia adalah harta karun dan kado indah yang dikirimkan Tuhan untuk kami. Apa pun ucapan buruk yang dilontarkan oleh orang terhadapnya, bagiku itu merupakan hinaan bagi keluarga kami dan aku bersama Indra berkomitmen untuk melindungi harkat dan martabat keluarga kami, tak terkecuali Anugerah yang merupakan bagian dari keluargakami juga.
Kehadiran Anugerah mewarnai hari-hariku bersam Indra. Usianya yang menginjak satu tahun sudah kami perkenalkan dengan dunia pendakian. Aku dan Indra belum berani sampai mengajaknya mendaki gunung, hanya berkemah di area perbukitan saja yang tidak membutuhkan tenaga ekstra untuk melakukannya. Namun, itu sudah cukup membuat kami sekeluarga bahagia.
Selama kurang lebih satu tahun kebersamaanku dan Indra bersama Anugerah, tidak ada satu pun kabar dari orang tua kandung Anugerah. Di sisi lain aku sangat sedih mengetahui kenyataan tersebut. Namun, di sisi lain aku bahagia sekaligus lega, karena tidak ada alasan bagiku untuk merelakan Anugerah pergi. Namun, aku tidak berani bermimpi bahwa suastu hari nanti saat seperti itu akan tiba juga. Sehingga, Indra pun selalu mengingatkanku untuk mencinta Anugerah setulusnya, tanpa mengharapkan hal yang lebih.
Aku mengerti betul apa yang Indra maksud. Dia tidak ingin aku berharap apa yang yang telah kuberikan untuk Anugerah akan menjadi sebuah balasan untuk aku terima. Karena baik bagaimana pun juga Anugerah adalah sebuah titipan dari Tuhan untuk keluarga kami. Bukan hanya dia, tetapi juga anak kandung kami yang sebelumnya telah tiada dan terlebih dulu meninggalkan kami.
"Lihat tuh keluarga Indra. Kasihan banget ya Indra. Sudah istrinya keluar dari pekerjaannya, sekarang harus menghidupi anak orang yang enggak jelas."
"Masih mending ada anak, daripada enggak ada."
"Eh, jangan salah! Kalau Aku sih mending enggak ada anak daripada menghidupi anak yang enggak jelas asal usulnya."
"Iya juga sih, masih mending kalau tahu oran tuanya benar. Nah, kalau ternyata bibit, bebet, dan bobotnya saja tidak baik, bagaimana? Duh, membayangkannya saja Aku jadi ngeri!"
"Eh, pelan-pelan ngomongnya … nanti yang bersangkutan dengar bisa tersinggung!" Para tetangga tak henti-hentinya bergunjing tentang keluargaku. Aku sudah mulai terbiasa dan kebal dengan omongan seperti itu. Bagiku akan sangat melelahkan jika terus meladeni orang seperti mereka. Yang ada mereka akan sangat senang jika aku meladeninya, bahkan mungkin apa yang telah dilakukan mereka saat ini akan semakin parah dan menjadi-jadi.
Namun, aku tidak tingga diam setelah mendengar semua itu. Aku segera bersikap dan tak segan-segan membuat mereka menjadi semakin kesal. "Tidak usah takut, Bu … Saya sudah mendengar semuanya sejak awal kok. Terima kasih telah sangat memperhatikan keluarga kami sejak lama." Aku pun langsung pergi mendahului mereka yang sedang berjalan di depanku. Mereka tak sadar bahwa selama mereka bergosip tentang keluargaku, sejak awal aku sudah mendengar semuanya.
Sesekali aku menatap wajah Anugerah. Sungguh malang nasibnya. Sayangnya, tekad yang telah aku dan Indra bangun untuk terus membahagiakannya belum seutuhnya bisa terwujud. Anakku Anugerah masih saja menjadi bulan-bulanan warga dan menjadi bahan pembicaraan. Padahal, dia tidak tahu apa-apa dan merupakan anak tak berdosa yang telah dibuang oleh orang tua kandungnya yang bergelimpangan dosa.
Senyuman manis dan ceria Anugerah selalu menyejukkan hatiku. Selama menjadi istri Indra, aku terus menerus belajar sabar dalam menghadapi masalah. Termasuk dalam menghadapi orang-orang seperti mereka yang seenaknya membuka mulut busuknya itu. Untung saja Anugerah belum mengerti apa yang mereka ucapkan. Kalau dia sudah mulai mengerti, entah bagaimana perasaannya. Aku yakin hatinya akan sangat sakit, bahkan hancur.
Sebelum itu semua terjadi, aku dan Indra akan mengupayakan segala cara untuk menghindarinya. Karena dia harus bahagia selama hidup bersama kami.Anugerah adalah anakku dan Indra, sehingga dia harus bahagia hidup bersama kami.
"Wah, sepertinya Anugerah senang diajak berkemah di alam terbuka seperti ini. Lihat! Wajahnya saja terlihat ceria dan senyumnya lebar baget!" ungkapku saat berkemah bersama Indra dan Anugerah. Aku melupakan hal-hal yang membuat hatiku teriris untuk sejenak. Aku tidak ingin menyia-nyiakan waktu kebersamaanku bersama Indra dan Anugerah, keluarga yang sangat aku cintai.
"Iya, Aku juga senang bisa membuat Kamu dan Anugerah bahagia hari ini. Semoga tidak hanya hari ini, tetapi hari-hari berikutnya dan seumur hidupku Aku bisa membahagiakan kalian."
"Terima kasih banyak suamiku! Di tengah kesibukanmu, Kamu selalu meluangkan waktumu untuk kami."
"Iya dong! Aku bekerja juga untuk kalian berdua juga. Untuk apa Aku sibuk di kantor dan jauh-jauh meninggalkan rumah kalau ujung-ujungnya Aku tidak bisa membahagiakan kalian."
Begitulah Indra yang selalu bijak dalam bertindak. Dia memang sibuk bekerja, tetapi tidak pernah sekali pun melupakan dan mengabaikan keluarganya. Bahkan, kalau aku jarang menghubunginya terlebih dulu karena takut mengganggunya saat bekerja, dialah yang terlebih dulu menghubungiku. Sikapnya yangs eperti itulah yang tidak jarang membuat orang-orang di sekitarku merasa iri atas kebahagiaan kami berdua.
"Wah, enak ya Kamu, Ren. Suamimu perhatian banget! Jangankan dihubungi dulu, Aku yang selalu menghubungi suamiku duluan. Enggak jarang bukan ucapan manis yang kuterima, tetapi malah amarah yang Aku dapatkan. Sering malah Aku dibilang posesif!" curahan hati salah satu teman kantorku dulu saat kami sedang bertemu untuk melepas rindu.