"Sayang, Aku sudah memutuskan dengan bulat," ungkapku pada Indra tentang keputusanku untuk keluar dari pekerjaan yang selama ini aku geluti.
"Jadi, apa pilihanmu? Tetap bekerja seperti dulu atau malah sebaiknya? Apa pun itu, Aku selalu mendukungmu, Sayang." Indra terlihat tidak ingin membebaniku sama sekali. Dia sangat menghargai apa pun keputusanku.
"Aku sudah bertekad untuk keluar dari pekerjaanku. Dan sepertinya, tidak buruk juga kalau Aku mulai menyibukkan diri di rumah untuk menjadi seorang istri dan ibu rumah tangga. Kalau Kamu tidak keberatan, Aku juga akan membantu usahamu menyewakan peralatan outdoor. Bagaimana menurutmu?"
"Baiklah, kalau memang itu keputusanmu. Aku tidak akan melarangmu, karena memang itulah yang sudah Kamu pikirkan belakangan ini. Agar orang tua kita tidak menyalahkan keputusanmu itu, bagaimana kalau nanti malam kita ke rumah Ayah dan Bunda. Biar semua tahu apa pilihanmu dan keputusan kita bersama. Aku tidak ingin disalahkan atas keputusan yang Kamu ambil. Begitu pun juga denganmu ... Aku tidak ingin mereka menyalahkanmu juga. Bagaimana pun juga, Aku dan Kamulah yang akan menjalani semua ini. Yang penting istriku senang dan tenang menjalani hidup bersamaku."
"Terima kasih karena Kamu selalu mendukung apa pun keputusanku. Aku tidak akan menyesali keputusanku ini. Karir bisa dicari dan dirajut kembali, tapi waktu dan kebahagiaan kita tidak akan selalu bisa kembali. Toh pekerjaan hanyalah pelengkap dan karir yang sukses adalah bonus."
Dulu aku memang beranggapan bahwa menjadi seorang wanita karir adalah tujuan hidupku, tapi hal itu lenyap seketika setelah aku mendambakan seorang buah hati. Tidak ada hal yang sempurna di dunia ini. Tidak mungkin juga semua bisa diraih dalam sekali genggaman. Ada hal-hal yang harus diutamakan, sehingga muncullah sebuah pilihan. Dan kini, aku ada dalah sebuah pilihan tersebut. Dan aku pun memilih untuk memprioritaskan hidupku bersama suamiku tercinta.
Aku ingin bahagia dengan keluarga kecilku. Kehilangan buah hati yang belum sempat aku temui secara langsung, kuanggap sebagai sebuah peringatan tersendiri dari Tuhan untukku. Mungkin Tuhan memperingatkanku untuk tidak menjadi manusia yang tamak, manusia yang ingin memiliki segalanya dalam hidup.
Aku tidak ingin Tuhan semakin membenciku, sehingga aku memutuskan untuk segera memperbaiki sikap dan perilakuku selama ini. "Ya Tuhan, maafkan Hamba yang selalu menginginkan banyak hal dari-Mu, tapi tidak juga memperbaiki akhlakku selama ini."
Aku mulai sadar diri dan menata kembali kehidupanku bersama Indra, suamiku tercinta. Memiliki partner seperti dirinya adalah anugerah tersendiri dalam hidupku. Sebab, aku bisa senantiasa berkembang dan memperbaiki diri tanpa harus takut disalahkan atau dimaki. Indra adalah hadiah yang Tuhan kirimkan dalam hidupku. Sehingga, meskipun belum bisa hidup bersama sang buah hati, aku harus bersyukur atas adanya Indra dalam hidupku selama ini.
Keikhlasan adalah salah satu pintu nikmat. Aku percaya akan hal tersebut. Tak lama setelah aku dan Indra menyampaikan kepada para orang tua bahwa aku memutuskan untuk menjadi seorang ibu rumah tangga seutuhnya, kami dipertemukan dengan seorang anak kecil yang lucu dan sangat cantik. Aku dan Indra memang tidak ada hubungan darah dengannya. Namun, kami menganggap bahwa dia adalah jawaban dari Tuhan atas doa kami selama ini.
Seorang bayi mungil malang tergeletak di atas keranjang kecil di depan pintu rumah kami. Entah dari mana datangnya bayi malang itu. Aku bertemu dengannya setelah pulang dari tempat persewaan outdoor milik Indra. Tangisannya memecah keheningan. Kala itu waktu menunjukkan pukul 23.00 WIB. Aku pulang bersama Indra yang menyusulku setelah pulang dari kantor.
Jakarta memang dikenal sebagai kota 24 jam. Namun, entah kenapa malam itu terasa berbeda dari biasanya. Mungkin karena turun hujan, suasana sekitar rumah kami menjadi jauh lebih sepi dari biasanya. Orang-orang lebih memilih untuk berdiam diri di rumah dan enggan untuk keluar. Suasana sepi dan hening membuat rintikan hujan semakin terdengar keras. Sampai-sampai tangisan bayi tak berdosa itu hanya terdengar samar-samar.
Aku tak menyangka, ternyata apa yang sering kudengar di sebuah sinetron dan berita malah kualami sendiri. Awalnya aku dan Indra kebingungan. Badanku gemetaran saat aku menatap wajah bayi mungil yang masih merah itu. Dia terlihat begitu kedinginan. Sampai akhirnya Indra memintaku untuk menggendong dan menghangatkannya dalam pelukan.
Sementara itu, sambil mencoba menghubungi pihak berwajib, Indra merangkulku yang masih gemetaran. Dia tahu bahwa situasinya sedang membingungkan sekaligus dramatis. Beruntung bayi itu hanya menggigil kedinginan, tidak sampai meninggal dunia. Sebab, sebentar saja kami terlambat pulang, entah apa yang akan terjadi padanya. Bisa saja nyawanya tidak akan tertolong. Karena bayi sangatlah rentan atas hawa dingin.
Setelah berhasil menghubungi pihak kepolisian, aku dan Indra memutuskan untuk segera membawanya ke klinik 24 jam yang berada di dekat rumah. Beruntung ada dokter dan perawat yang sedang berjaga segera menangani bayi itu. Selama diberikan penanganan, aku dan Indra berdiskusi terkait akan diapakan anak itu.
Tanpa berpikir panjang lebar, kami memutuskan untuk mengadopsinya. Tentu dengan mengikuti aturan yang berlaku sesuai dengan petunjuk dari pihak berwajib. Sekali lagi aku berpikir bahwa anak itu memang dikirim Tuhan untukku dan Indra. Di luar siapa orang tua kandungnya, kami yakin bahwa kami lebih menginginkan dan menyayanginya dibandingkan dengan orang tua kandungnya sendiri yang tidak bertanggung jawab sama sekali.
Dengan membuang dan menerlantarkan darah dagingnya sendiri di depan rumah orang lain saja sudah menunjukkan bahwa dia tidak menginginkan anak itu. Padahal, ada orang seperti aku dan Indra yang mendambakan buah hati sampai sedemikian rupa. Namun, di sisi lain ada orang tua yang diberikan kepercayaan oleh Tuhan, tapi lebih memilih untuk menyia-nyiakannya. Mulai malam itu, aku dan Indra sudah menganggap bayi itu adalah bayi kami yang akan kami sayangi dan jaga sepenuh hati.