Sosok Indra tiba-tiba muncul di hadapanku. Semua bagaikan mimpi. Aku tidak yakin dengan apa yang kulihat. Hingga akhirnya Indra memelukku dan menadarkanku bahwa yang sedang berada di hadapanku benar-benar dia, suamiku tercinta.
"Ini memang Aku, suamimu. Memangnya tadi Kamu pikir Aku siapa?" tanya Indra memelukku erat. Seketika air mataku mengalir tanpa henti. Sampai-sampai orang-orang di sekitar mulai memperhatikan. Suaraku mulai sesenggukan.
"Sayang … sudah dong nangisnya. Aku tidak ingin di momen dan dengan pemandangan seindah ini, tangisanmu malah merubah semua keindahan ini jadi sebuah keburukan." Aku pun mulai menghentikan tangisku sambil menatap wajah Indra yang masih terasa mimpi di depanku.
"Bagaimana bisa Kamu sampai sini?" tanyaku penasawaran. "Memangnya pekerjaanmu sudah selesai? Kok bisa-bisanya Kamu menyusulku kemari?"
"Kamu juga … kok bisa-bisanya pergi tanpa pamit sedikit pun?" Aku teringat kembali kesalahan fatal apa yang telah kulakukan selama ini.
"Iya … Aku memang salah. Izinnya pergi bekerja, tapi malah pergi ke tempat lain tanpa meminta izin padamu terlebih dulu darimu."
"Apa setelah melakukannya Kamu senang?"
"Sama sekali tidak. Awalnya Aku berniat menghilangkan setres, tapi malah pada kenyataannya Aku lebih terbebani setelah pergi dengan cara seperti ini."
"Aku sudah tahu semuanya kok. Pak Bram sudah menceritakan semuanya kepadaku." Pak Bram adalah orang yang menjadi sopir rombonganku selama perjalanan. Pantas saja Indra bisa menyusulku dan tahu betul aku ada di mana. Ternyata dia mengetahuinya dari Pak Bram. Padahal Aku sudah berpesan untuk dia tidak memberitahukannya kepada Indra.
Travel tempat Pak Bram bekerja adalah milik kenalan Indra. Namun, sejak awal aku sudah memintanya untuk tidak menceritakan bahwa aku melakukan perjalanan ini kepada Indra. Memang beresiko melakukan perjalanan dengan diketahui oleh teman Indra. Namun, aku berpikir akan lebih berisiko jika aku pergi tanpa ada seorang pun yang tahu. Karena, tidak akan ada yang tahu masa depan. Termasuk jika hal buruk terjadi padaku ketika sedang berada dalam perjalanan.
"Pilihan tepat Kamu pergi bersama orang yang mengenalku. Bagaimana jika terjadi sesuatu denganmu dan tidak ada seorang pun yang mengetahui siapa orang pertama yang harus dihubungi duluan?" Indra terlihat mulai megomel.
"Sudah … sudah … mengomelnya lanjut nanti di hotel. Sekarang saatnya kita menikmati pemandangan yang cantik ini." Aku sedang berusaha untuk mengalihkan pembcaraan. Dengan tidak adanya sanggahan dari Indra, itu artinya bahwa dia pun sependapat denganku untuk menikmati momen kebersamaan kami dan panorama yang indah yang tengah berada di hadapan kami.
Aku dan Indra menikmati momen berdua kami. Rasanya pekerjaan kami yang akhir-akhir ini sangat padat begitu menyita waktuku mesra kami, akhirnya setelah sekian lama bisa terbayarkan dengan kebersamaan kami kali ini. "Eh, ngomong-ngomong bagaimana dengan pekerjaanmu?"
"Setelah dapat kabar bahwa Kamu melakukan perjalanan kemari sendirian, Aku langsung sebisa mungkin menyelesaikan pekerjaanku. Benar kat orang bahwa kalau lagi kepepet semua hal yang dirasa tidak mungkin bisa saja menjadi mungkin."
"Itu sih karena Kamu saja yang memang sudah luar biasa sejak awal."
"Kamu bisa saja. Biar Aku enggak marah, Kamu jadi memuji-mujiku seperti ini?"
"Ih, kok Sayang mikirnya gitu? Aku benaran muji Kamu lo. Aku bangga punya suami sepertimu. Apa lagi Aku sudah pergi dengan cara tidak benar seperti ini Kamu tetap saja memaafkanku."
"Masak Aku mau memarahimu? Aku tahu bagaimana beban pikiranmu. Dan Aku tidak ingin menambah-nambahinya. Besok lagi kalau ada hal yang mengganjal di pikiranmu, sampaikanlah kepadaku. Aku ini suamimu, pasangan, sekaligus pendamping hidupmu. Jadi, jika memang harus ada hal yang kita hadapi bersama, sesulit dan sesakit apa pun itu kita harus menghadapinya bersama. Jangan sampai Kamu menanggungnya sendiri. Apa lagi kemarin sempat ada orang yang berusaha mendekatimu."
Ucapan Indra membuatku semakin sadar bahwa memang setelah menikah kehidupan kami sudah tidak lagi berjalan masing-masing. Urusanku juga urusannya. Tidak ada hal yang harus ditutup-tutupi. Karena keterbukaan sendiri merupakan kunci dari sebuah hubungan.
Pulang dari tempat kami menyaksikan matahari terbit dan pemandangan indah dari Gunung Bromo, aku dan Indra kembali dengan menggunakan kendaraan yang mengantarkan Indra menyusulku. Namun, sebelum itu Indra menyemptkan diri untuk bertemu dengan pria dari rombonganku yang sempat berusaha mendekatiku.
"Lain kali, tolong jaga sikap Anda kepada wanita yang telah bersuami. Untung istri Saya tidak langsung menghajar dan memperkarakan hal ini. Masih untung juga Saya hanya memberikan Anda peringatan ... kalau tidak, mungkin Anda bukannya kembali ke rumah dengan selamat, tetapi malah berakhir di rumah sakit atau bahkan kuburan."
Baru kali ini aku melihat Indra semarah dan setegas itu kepada orang lain. Dia yang biasanya lembut kali ini terlihat cukup berbeda dari Indra yang kukenal selama ini. Namun, tetap saja melihatnya bersikal demikian membuatku merasa suamiku sangatlah keren. Lagi-lagi, aku jadi semankin jatuh hati kepadanya. Bahkan, karena gertakannya tersebut, pria yang sempat mencoba mendekatiku itu jadi tak berkutik dan langsung meminta maaf kepadaku dan Indra.
Sepanjang perjalanan pulang, aku curi pandang dengan Indra. Sampai-sampai aku merasa malu-malu dan merasa hubunganku dengan Indra seperti kembali ke masa awal-awal menikah dulu. Kami yang memulai hubungan pernikahan tanpa melalui sebuah hubungan pacaran, akhirnya kembali menghangatkan hubungan kami. Dia pun sangat tanggap bahwa aku ingin bermanja-manja dengannya. Sampai-sampai dia tak segan menggenggam, bahkan memelukku di depan para pengunjung lainnya.
"Untuk apa malu dilihat oleh mereka. Kita kan pasangan suami istri, bukan pasangan yang belum sah. Biarkan hubungan kita sehangat seperti awal kita menikah dulu. Siapa tahu dengan kehangatan dan kemesraan ini, pulang-pulang ada oleh-oleh yang bisa kita bawa pulang." Aku masih belum sepenuhnya mengerti apa yang diucapkan oleh Indra. Namun, yang kutahu pasti dia sangat mencintaiku. Begitu pun dengan diriku yang sangat mencintainya.