Mungkin hari ini adalah hari yang paling gila yang kulalui setelah aku menikah dengan Indra. Aku tahu apa yang kulakukan adalah hal yang bodoh dan bisa dibilang sebuah tindakan buruk yang kulakukan sebagai seorang istri. Tanpa berpamitan dan meminta restu suamiku yang saat ini sedang melakukan tugasnya ke luar kota, aku malah pergi untuk menghilangkan stres. Sebuah perjalanan ke Gunung Bromo telah kuikuti. Aku sudah daftar dari jauh-jauh hari. Kebetulan dalam waktu berdekatan, aku di tugaskan untuk belerja di Kota Malang. Namun, aku tidak mengatakan pada Indra bahwa aku ikut trip berasama orang-orang yang tidak aku kenal. Jika Indra tahu, dia psti akan kecewa. Bukan karena dia melarang aku melepas penat seorang diri, melainkan dia tidak ingin terjadi hal-hal yang tidak diinginkan terhadapku.
Mulai dari Kawah Gunung Bromo, Pasir Berbisik, Bukit Teletubbies, dan Padang Rumput Savana, semua telah kukunjungi. Karma itu pasti terjadi, termasuk kepadaku yang tanpa izin dari suami tetap melakukan perjalanan seorang diri. Aku tahu aku salah, tapi tetap saja aku melakukan semuanya.
Ketika berada di Bukit Teletubbies, sinar matahari terlihat begitu terik. Ketika asyik berfoto, tiba-tiba suara teriakan terdengar di telingaku. Kobaran api muncul di belakangku. Di duga itu muncul karena adanya pengunjung yang tak bertanggung jawab membuang puntung rokok sembarangan. Beberapa rerumputan yang ada di sana memang ada yang mulai mengering karena musim memasuki musim kemarau. Tentu saja sudah ada himbauan untuk tidak merokok di kawasan tersebut, apa lagi membuang pungung rokok sembarangan. Namun, tetap saja ada orang-orang tak bertanggung jawab yang berulah dan merugikan, serta membahayakan banyak pihak.
Untung saja aku masih bisa berlari dan menghindar. Kalau tidak, bisa-bisa aku jadi manusia panggang dan gosong tak bernyawa lagi. Inilah salah satu akibat dari aku yang pergi tanpa pamit kepada suami. Tuhan sepertinya telah menegurku dengan peristiwa yang sangat menyeramkan dan traumatis bagiku.
Belum lagi dalam rombongan perjalanan ada orang yang membuatku tidak nyaman. Sampai-sampai aku meminta pindah tempat duduk di depan, di samping kursi sopir yang memimpin rombongan. Dia terlihat bertabiat kurang baik. Berusaha berkenalan dan mendekatiku dengan penuh arogan. Sampai-sampai aku merasa sangat risih. Jangankan aku. Orang yang merupakan anggota rombonganku lainnya saja hanya melihat tingkah lakunya saat berusaha menggodaku terlihat tidak kalah risih dariku.
Lagi-lagi perginya seorang istri tanpa didampingi, bahkan tanpa mengantongi restu dari suami memang sangat beresiko. Meskipun sebenarnya kepergianku kali ini alih-aling untuk mengobati stresku karena keresahan belum juga dikarunia seorang anak dalam rumah tanggaku bersama Indra.
Di depan Indra aku terlihat tegar dan tidak memikirkannya lagi. Aku takut jika Indra masih terus-terusan mengkhawatirkan keadaanku. Padahal, dengan dia tetap berada di sisiku dan memberikan semangat untukku saja dia sudah bersikap sangat baik dan penuh tanggung jawab sebagai aku istrinya. Dengan alasan apa pun, seharusnya aku tidak melakukan hal ini di belakangnya.
Kejujuran adalah kunci utama dalam setiap hubungan. Dan aku yang mengetahui hal itu masih saja bertindak semaunya. Aku tidak berpikir panjang dan bertindak bodoh sesuka hati. Kupikir aku sudah cukup dewasa dan pantas menjadi orang tua bagi anakku kelak. Namun, sepertinya aku terlalu menyombongkan diri. Pantas saja Tuhan masih belum mempercayakan anak kepadaku. Aku saja masih bertindak kekanak-kanakan dan semaunya sendiri hanya karena omongan orang-orang yang selalu mempertanyakan anak kepadaku.
Seharusnya omongan orang yang selalu menyudutkanku tidak kujadikan sebagai sebuah senjata yang menyakitiku. Melainkan sebagai sebuah tolok ukur untuk menilai seberapa pantaskan aku mengapatkan apa yang selama ini kuharapkan. Nasi sudah menjadi bubur dan kini yang tertinggal hanyalah sebuah penyesalan semata.
Kejadian-kejadian hari ini membuatku membuka mata lebar-lebar. Aku sadar betul bahwa apa yang kupikirkan seharusnya tidak hanya menjadi sebuah pemikiran bagiku, melainkan aku praktikkan ke dalam sebuah tindakan dalam kehidupanku.
Apa artinya sebuah pikiran, jika tidak diwujudkan dalam sebuah tindakan. Dan apa artinya kejujuran, jika semuanya dibalut dalam sehuah kebohongan. Yang menjadi sebuah pertanyaan bagiku sekarang adalah bagaimana aku harus jujur kepada Indra tentang apa yang telah kulakukan.
Sesaat setelah tiba di area tempat menikmati matahari terbit, aku merasakan udara dingin yang begitu menusuk sampai ke tulang. Selama di perjalanan, banyak sekali toilet umum yang kujumpai. Sepertinya, usaha paling menjanjikan di area wisata Gununv Bromo salah satunya adalah usaha toilet umum. Namun, di balik itu semua mereka yang menyediakan layanan tersebut sangat membantu para pengunjung. Jadi, selain daerah wisata terjaga dari para pengunjung yang Buang Air Kecil (BAK) sembarangan, para pengunjung juga merasa sangat terbantu karena tidak perlu lagi susah-susah mencari toilet yang ngaman dan layak untuk digunakan. Dinginnya udara membuat orang-orang semakin meningkatkan frekuensi ke kamar kecil (toilet).
Kali ini aku harus menikmati dinginnya udara gunung, tanpa ada Indra di sisiku. Padahal, baik sebelum maupun setelah menikah, dia selalu ada di sampingku dan siap sedia menjagaku. Namun, kali ini saat aku sedang pergi tanpa memberitahukan kepada dirinya terlebih dulu, dengan tidak tahu malunya aku berharap ada dia di sampingku.
Perasaanku semakin kacau ketika melihat sebuah keluarga sedang berlibur bersama anak mereka. Menikmati suasana gunung yabg selalu menenangkan dan menantikan matahari terbit yang menawan membuatku merasa iri melihatnya.
Seharusnya aku senang melihat kebersamaan keluarga bahagia seperti mereka. Namun, jahatnya aku malah sedih karena rasa iri yang muncul dalam hatiku. Saking aku merasa bersalah dan merindukan Indra, aku sampai melihat sosoknya sedang berdiri di hadapanku dengan disoroti sinar mentari pagi yang mulai menampakkan wajahnya. Mataku mulai silau. Aku berusaha memperjelas pandanganku karena tidak mungkin jika yang kulihat saat ini adalah benar-benar Indra, suamiku yang ketika aku memutuskan untuk pergi saja aku tidak pamit.