Benar kata orang bahwa lima tahun pertama sebuat pernikahan relatif terasa hangat dan mesra. Namun, setelah memasuki tahun kelima dan seterusnya perasaan mulai pudar. Sejak awal menikah dengan Indra, aku tidak ingin percaya dengan kata-kata tersebut. Kareba bagiku, semua itu bergantung pada pasangan masing-masing dan bagaimana usaha dari kedua belah pihak dalam mempertahankan hubungan rumah tangganya.
Masuk ke pernikahan pada tahun ketigaku bersama Indra, aku mulai takut akan membuatnya kecewa. Aku saja kecewa atas diriku sendiri. Sampaindetik ini, aku dan Indra masih belum diberikan momongan. Orang-orang semakin menyalahkanku karena masih saja sibuk bekerja. Orang beranggapan bahwa aku terlalu mengejar karir. Meskipun Indra tidak pernah menyakiti perasaan dan menyinggungku, tapi aku sedih dengan keadaan kami ini. Bahkan, setiap melihat cariel yang dia berikan kepadaku ketika lamaran dulu, rasanya semakin membuat dadaku terasa sesak.
"Sayang, kenapa dari tadi Kamu hanya berdiam diri?" tanya Indra mengkhawatirkanku.
"Eh, tidak kok. Aku hanya kepikiran tentang pekerjaan di kantor. Masih ada tanggungan, jadi sepertinya malam ini Aku pun harus lembur di rumah." Aku berbohong kepada suamiku, takut dia semakin khawatir.
"Oh, karena pekerjaan ... kupikir ada masalah lain. Jangan memaksakan diri, ya. Kalau perlu, nanti Aku temani lembur. Kebetulan Aku juga akan mempersiapkan bahan rapat untuk besok. Yah, biar kita bisa semakin semangat juga lemburnya." Indra begitu perhatian dan menyayangiku. Andai saja kami segera diberikan momongan. Pasti keluarga kecil kami akan semakin bahagia. Sementara, setelah aku menikah dengan Indra, tak lama kemudian Niko menikah juga dengan wanita yang kukenal sebagai adik kelasnya dulu. Ketika masih pacaran, aku memang sempat mencurigai wanita tersebut. Namun, karena Niko masih setia dan tidak meladeni wanita tersebut yang selalu berusaha mengejarnya, aku pun tidak ambil pusing. Hanya dalam waktu satu tahun mereka menikah, mereka sudah dikarunia seorang buah hati.
Aku tidaklah cemburu terhadap hubungan keluarga mereka. Hanya saja, ada sedikit rasa iri yang muncul dalam hatiku. Kenapa aku dan Indra yang lebih dulu menikah dibandingkan dengan mereka, tapi merekalah yang diberikan momongan terlebih dulu. Sementara aku dan Indra, masih saja harus berduaan di rumah.
Orang-orang baik di sekitarku selalu mendukung usaha kami. Tidak heran mereka menghibur dengan cara bilang bahwa mungkin aku dan Indra masih diminta menikmati masa-masa pacaran yang sebenarnya sebelum kami menikah, kami lebih banyak menghabiskan waktu berdua sebagai seorang sahabat, tetangga, bahkan kakak adik.
Ketika otakku masih waras, tentu saja aku sependapat dengan mereka dan semangatku mulai membara lagi. Namun, ketika otakku sedang tak waras rasanya apa pun yang dikatakan oleh orang lain sama sekali tak mempan bagiku. Aku tetap saja berusaha keras untuk menutup mata dan telinga.
Sebenarnya aku sedang tidak ingin lembur. Karena semua pekerjaanku sudah kuselesaikan sore ini. Namun, karena aku sudah terlanjur berbohong kepada Indra, terpaksa aku harus menemaninga lembur. Ketika aku sedang memperhatikan Indra yang tengah sibuk mengelesaikan pekerjaannya, tiba-tiba air mataku mengalir. Tanpa sadar sejak tadi aku sudah memperhatikan suamiku. Perasaanku campur aduk. Di satu sisi aku merasa aku sangat beruntung memiliki suami sesempurna dirinya. Namun, di sisi lain aku merasa sangat berdosa karena tak kunjung memberikannya keturunan. Menyadari hal tersebut, Indra mengarahkan wajahnya ke arahku. Aku tertangkap basah sedang menangis dan membuatnya kembali mengkhawatirkanku. "Sayang kenapa? Ke apa menangis begini? Padahal, sepertinya tidak ada sesuatu hal yang buruk terjadi padamu. Apa terjadi sesuatu hal yang buruk tanpa Aku ketahui?" tanya Indra terlihat sangat khawatir.
"Sebenarnya, belakangan ini aku sering menyalahkan diriku sendiri."
"Mengalahkan dirimu atas dasar apa? Bukannya tidak ada hal yang tidak bisa Kamu selesaikan? Dan setahuku Kamu tidak mudah membuat kesalahan. Jadi, janganlah Kamu menyalahkab diri sendiri begitu. Kamu mau cerita apa yabg sebenarnya terjadi?" Aku yakin bahwa sebenarnya Indra sangat penasaran penyebab Aku tiba-tiba menangis. Namun, dia tidak ingin memaksaku untuk bercerita, jika aku memang belum ingin dan belum siap untuk itu. Hal itu malah membuatku ingin jujur terhadapnya.
"Sebenarnya, aku sedang kepikiran karena kita masih belum dikaruniai buah hati di dalam pernikahan kita. Coba daja lihat orang-orang yang baru menikah. Mereka malah lebih dulu hamil daripada Aku."
"Sayang, Aku kan sudah pernah bilang untuk tidak terlalu ambil pusing. Sebagai umat-Nya, kita hanya wajib untuk berusaha. Terkait kapan waktu yang tepat untuk diberikan kepada kita, hanya Tuhanlah yang tahu. Jadi, jangan sampai hal itu malah merusak pikiranmu dan menjadikannya semakin kacau. Anak itu rezeki dari Tuhan untuk sepasang suami istri, jadi tunggulah sampai Tuhan mempercayakannya kepada kita."
"Kamu tidak kecewa terhadapku?"
"Untuk apa Aku kecewa? Pantas saja Kamu sering memandangi cariel pemberianku. Ternyata karena Kamu jadi kepikiran tentang momongan, ya. Kamu pasti berpikir kapan bisa memakainya." Tebakan Indra begitu tepat sasaran. Sampai-sampai aku tak mampu menjawabnya dan hanya bisa mengangguk-anggukkan kepala, karena semua ucapannya adalah benar.
Indra adalah suami yang sangat baik dan penuh perhatian. Entah setan apa yang melintas dalam pikiranku. Tiba-tiba muncul keinginan dalam diriku untuk mendaki seorang diri di kala Indra sedang melakukan perjalanan dinas keluar kota. Aku paham bahwa mendaki tanpa keberadaan Indra adalah sesuatu hal yang salah. Selain itu, akan dengan siapa aku melakukannya masihlah menjadi sebuah pertanyaan tersendiri bagiku. Meskipun aku masih tersadar secara penuh, tetapi aku lebih memilih untuk menyimpan keinginan rahasiaku itu. Tidak langsung membuangnya ke tong sampah.