Chereads / Gadis Pendaki / Chapter 29 - Bab 29 Camping Ceria Bersama Bosku

Chapter 29 - Bab 29 Camping Ceria Bersama Bosku

"Sayang, masak ya tadi Aku diledekin habis-habisan sama orang di kantorku." Aku menceritakan kejadian ini pada Indra.

"Diledekin apa? Aku juga! Sumpah deh, mereka itu fasih banget ngomongin masalah ranjang."

"Nah, iya itu tuh yang dari tadi dibahas sama teman-teman kantorku. Kesel deh, yang ada di otak mereka cuma gituan aja!"

"Sabar sabar … yah, namanya orang kita tidak bisa memintanya untuk berpikir yang baik-baik saja. Ada kalanya otak mereka bekerja karena memikirkan hal-hal kotor seperti itu. Yang penting kita tidak menanggapinya saja. Karena kalau sampai kita menanggapi omongan mereka, yang ada mereka akan semakin menjadi-jadi."

"Oh iya, Sayang … tadi waktu Aku bete, Aku kan ke atap kantor untuk menenangkan diri. Eh, malah ketemu sama bosku."

"Kok bisa? Lalu, Kamu kena marah dong?" Indra terlihat mengkhawatirkanku.

"Awalnya Aku juga memikirkan hal yang sama denganmu, tapi ternyata tidak. Aku pikir dia akan marah, bahkan memecatku. Namun, ternyata Pak Gunawan malah penasaran ingin ikut kita melakukan perjalanan."

"Perjalanan? Naik gunung maksudnya?"

"Awalnya sih dia nanya tentang bagaimana rasanya mendaki gunung dan lain sebagainya. Dia terlihat ingin ikut kita mendaki, tapi setelah Aku tanya apakah dia ingin pergi bersama keluarganya, dia bilang iya. Berhubung anaknya masih kecil-kecil, sepertinya mending dia berkemah ceria saja, deh."

"Memangnya anaknya umur berapa?"

"Baru juga yang paling besar masuk SMP. Sementara, anak kecilnya baru masuk SD."

"Yah, memang kalau mau cari aman sih, berkemah biasa saja tidak perlu mendaki gunung. Terlalu bahaya untuk orang awam seperti mereka. Apa lagi dengan usia yang masih cukup dini."

"Aku sudah menyampaikannya sih ke Pak Gunawan."

"Lalu, apa katanya?"

"Dia menunggu kabar dariku, karena Aku bilang ingin menanyakannya kepadamu dulu."

"Nanti kita ajak bosmu dan keluarganya ke Bandung saja, deh. Ada banyak bukit dengan pemandangan sangat bagus di sana. Di Caringin Tilu dan Puncak Bintang misalnya. Cukuplah akan mengobati kepenatan yang orang-orang ibukota rasakan selama ini."

"Ke mana pun Kamu akan membawaku, Aku akan ikut ke mana pun Kamu pergi."

"Ya ampun, istriku jadi bisa seromantis ini ternyata. Aku jadi menyesal, seharusnya sejak dulu Aku melamamu dan menikahimu saja. Jadi, Aku tidak akan merasa kesepian atau pun menerima sikap cuekmu itu."

"Ya maaf … dulu kan memang Aku menganggapmu sebagai Kakak dan sahabat saja. Mana ada kepikiran akhirnya kita akan menikah begini. Bahkan, sekarang Aku jadi sangat tergila-gila kepadamu." Aku mengakui bagaimana perasaanku terhadap Indra yang sekarang sudah menjadi suamiku.

Sebagaimana rencanaku dengan Indra, juga dengan bosku, kami berangkat menuju ke Bandung. Untuk menghemat waktu dan biaya, serta agak komunikasi yang kami lakukan lebih mudah, kami menggunakan satu mobil. Tentu saja kali ini semua biaya perjalanan ditanggung oleh bosku, Pak Gunawan.

Anak Pak Gunawan yang masih SD bernama Rio, sementara yang sudah masuk SMP bernama Candra. Candra adalah nama anak perempuan Pak Gunawan. Dia terlihat tidak menyukai perjalanan kali ini. Dilihat dari dandanannya, dia seperti anak muda yang lebih senang menjadi anak metropolitan dibandingkan dengan anak alam. Sementara, kebalikan dengan adiknya. Rio terlihat sangat antusias setelah tahu kami akan berkemah di atas bukit dan menikmati udara segar yang begitu menyejukkan.

Pak Gunawan memang sempat mengatakan untuk ingin mencoba mengajari anaknya tentang alam. Terutama kepada Candra yang terkesan sering menghambur-hamburkan uang dan sangat boros. Di umurnya yang masih puber ini, sebagai seorang ayah dia ingin mengarahkan anaknya untuk bisa lebih menghargai waktu dan uang.

Istri Pak Gunawan adalah orang yang sangat baik. Meskipun ini adalah kali pertama kami bertemu, tapi dia sangat ramah dan terlihat sangat senang karena suaminya meluangkan waktu dan mengajaknya ke tempat seperti ini. Dia bukanlah istri seorang bos yang bersikap seenaknya dan semaunya, seperti para istri pimpinan pada umumnya. Mengobrol dengannya membuatku banyak belajar bagaimana bersikap sabar menghadapi anak-anak yang berbeda karakter dan tumbuh seiring dengan perkembangan zaman yang semakin modern.

"Kakak, jangan ditekuk terus dong mukanya," tegur Ibu Susi, istri Pak Gunawan.

"Habis Papa sama Mama ngapain sih ajak Aku ke tempat beginian. Aku kan mau jalan sama teman-temanku. Lebih asyik main ke mall, nongkrong di kafe atau resto, bahkan nonton ke bioskop daripada ke tempat beginian."

"Tempat beginian gimana? Kamu ini perlu juga refreshing kea lam terbuka seperti sekarang ini. Biar pikiran Kamu lebih segar sesegar udara ini," jawab Pak Gunawan kepada Candra.

"Ih, Papa mah enggak asyik!" Lagi-lagi Candra terlihat kesal. Seemntara, aku yang duduk di bangku depan dan Indra yang duduk di bangku sopir saling melirik mengetahui sikap Candra. Aku jadi membayangkan bagaimana anak kami nantinya, tapi berhubung aku dan Indra sama-sama seorang pecinta alam, sepertinya anak kami tidak akan jauh-jauh dari itu.

Selama perjalanan, Candra selalu mengomel. Sampai-sampai Rio mengeluh dan mengatakan bahwa kakaknya berisik sekali. Akhirnya, setelah perjalanan selama berjam-jam, kami pun tiba di dekat lokasi yang kami tuju.

"Wah, bagus banget lampu-lampunya, seperti bintang. Bintangnya juga indah banget dan banyak. Kok di Jakarta enggak kayak gini sih, Ma?" tanya Rio setelah melihat kerlap-kerlip lampu kota Bandung dan ribuan bintang yang bersinar terang. Alam seakan mendukung perjalanan kami. Udara yang sangat sejuk, dihiasi dengan langit yang begitu cerah sehingga menunjukkan keindahan bintang-bintang yang berkilauan ini mewarna perjalanan kami.

Candra yang selama perjalanan banyak mengomel akhirnya terdiam, seperti takjub dengan apa yang dia lihat dengan kedua matanya sendiri. Dia memang sejak lahir sudah tinggal di Jakarta. Aktivitas dan fasilitas yang selama ini dia jalankan dan gunakan membuatnya menjadi sosok pemalas dan manja yang apa-apa minta selalu dituruti.

Mulut mungkin bisa berbohong, tapi tatapan mata yang berbinar tidak bisa dibohongi. "Jadi, bagaimana … indah, kan?" tanya Pak Gunawan kepada anak gadisnya tersebut.

"Enggak ah, biasa aja tuh!" Sepertinya, Candra terlalu gensi untuk mengakui bahwa perjalanan kami kali ini memang benar-benar menyenangkan dan membawa mengalaman baru baginya. Pak Gunawan memang terlihat suka bercanda dan menggoda anak-anaknya, terutama Candra, anak gadisnya. Aku tak menyangka, ternyata ada sisi lain dari dia yang selama ini tidak pernah diperlihatkan di kantor.

Pak Gunawan adalah seorang atasan yang terkenal galak dan dingin. Sebelum bertemu di atap kantor dan melakukan perjalanan ini dengannya, aku pun sama dengan yang lain, beranggapan bahwa dia adalah orang yang seperti itu. Namun, setelah mengenalnya lebih dekat dia adala sosok ya berbeda. Dia adalah seorang suami dan ayah yang sangat bertanggung jawab dan penyayang. Itulah kenapa aku sadar bahwa memang tidak boleh menilai seseorang dari luarnya saja. Karena apa yang selama ini terlihat sering kali berbeda apa yang ada di dalamnya.