"Yah, hari ini sudah harus masuk kerja. Kenapa rasanya seminggu itu secepat ini, sih?" keluhku pada Indra.
"Nikmatilah, nanti juga kita mulai terbiasa lagi. Oh iya, Kamu tidak penasaran dengan carier yang kuberikan padamu ketika acara lamaran kemarin?"
"Oh iya, Aku sampai lupa. Sebenarnya Aku memang ingin menanyakannya padamu. Coba kita lihat dulu barangnya." Aku mengajak Indra untuk melihat tas carier dia berikan kepadaku di hari lamaranku dulu. Sebagian barang-barang lamaran itu sudah ada di rumah baru kami. Aku dan Indra sudah membawa sebagian barang-barang kami dari rumah orang tua kami masing-masing untuk dipindahkan ke rumah baru kami berdua.
"Masak Kamu tidak tahu ini apa?" tanya Indra yang sebenarnya sudah tahu jawabannya. Aku tahu itu adalah carier yang digunakan untuk menggendong anak kecil. Namun, aku tak menyangka bahwa ternyata Indra juga ingin kami mendaki dengan anak kami nantinya.
"Aku tahu sih, tas carrier ini kan yang digunakan untuk menggendong anak kecil. Yang Aku herankan, memangnya Kamu ingin anak kita nantinya kita ajak mendaki gunung bersama? Keren sih memang, selain itu juga bisa mengajarkannya untuk melihat alam sekitar. Bagus juga untuk tumbuh kembangnya, hanya saja tetap saja berisiko tinggi. Kamu tidak taut dia akan mengalami hipotermia atau kelelahan berlebih?"
"Tenang, Kamu kan tahu kalau Aku sudah sangat berpengalaman di bidang ini. Aku tidak akan sembrono dan mengabaikan aturan dasar yang harus dipenuhi terlebih dulu. Keamanan adalah yang paling utama dalam sebuah perjalanan. Aku hanya berkeinginan saja, jika Kamu tidak menginginkan hal yang sama, Aku juga tidak akan memaksakannya."
"Sebenarnya Aku juga ingin sih mendaki bersama anak kita nantinya. Hanya saja, rasa khawatir tetap saja ada pada diriku. Mungkin inilah sebabnya dulu Ayah dan Bunda sempat melarangku pergi mendaki. Dulu, ketika mereka melarangku, rasanya melihat mereka bersikap seperti itu jadi membuatku melihat mereka seperti orang kolot saja. Padahal, kini di saat Aku sudah menjadi seorang istri dan nantinya akan menjadi seorang ibu, rasa takut itu muncul begitu saja."
"Yah, memang begitulah rasanya. Kita bisa mengerti perasaan seseorang yang sebenarnya, jika sudah benar-benar berada di posisinya. Orang lain memang hanya bisa menilai apa yang terlihat di luar. Bagaimana hati seseorang sebenarnya, tidak akan terlihat secara jelas. Malah, terkadang apa yang tampak berbeda dengan apa yang sebenarnya terjadi."
"Iya, Aku memang banyak berdosa kepada Ayah dan Bunda," ucapku penuh sesal.
"Ya sudah, ayo kita cepat berangkat. Keburu telat! Bekal makan siang sudah ditata semua, kan?"
"Iya, sudah kok. Kamu yakin mau membawanya ke kantor?"
"Kenapa tidak? Aku bangga kok membawa hasil dari masakan istriku untuk kubawa sebagai bekal makan siangku."
"Menunya kan hanya ayam goreng, tempe goreng, dan tumis kacang panjang."
"Hai, jangan minder begitu! Ini itu sudah merupakan menu yang istimewa bagiku. Sudah, ayo kita berangkat!" Indra kembali membuatku jatuh cinta lagi padanya.
Aku dan Indra berangkat dengan menggunakan seperda motor. Indra hanya mengantarku sampai ke halte trans Jakarta, sementara dia melanjutkan perjalanan menuju kantornya. Lokasi kantor kami berjauhan dan tidak sejalan, sehingga mau tak mau aku harus melanjutkan perjalannku sendirian. Sebenarnya sudah biasa aku berangkat sendiri, tapi tanpa Indra rasanya di diriku masih ada yang kurang. Padahal, baru seminggu menikah, tapi aku sudah merasa begitu terikat olehnya. Indra memang orang yang luar biasa.
"Eh, pengantin baru sudah datang. Bagaimana rasanya?" ucapan dari rekan kerjaku membuat teman-teman lainnya menertawakanku silih berganti.
"Ih, apaan sih pertanyaannya?"
"Wah, jalannya sudah agak beda, ya?" Salah satu temanku menimpalinya. Aku tidak ingin menanggapi omongan tidak penting mereka. Dengan ucapan seperti itu, tentu saja hal tersebut membuatku merasa malu. Mereka yang sudah lama menikah pasti merasa pembahasan seperti itu adalah hal yang biasa saja. Namun, bagiku hal tersebut tidak pantas dijadikan sebagai bahan bercandaan selama berada di kantor. Apa lagi di jam kerja seperti sekarang.
"Jangan marah begitu, kita kan cuma bercanda. Tidak perlu diucapkan ke dalam hati."
"Maaf, tapi bagiku itu tidak enak kalau dijadikan bercandaan. Jadi, ketika Aku memilih untuk tidak menanggapinya, jangan salahkan Aku juga."
"Wah, Rena sekarang galak banget, sih? Mungkin semalam pelayanan suaminya masih kurang, makanya dia marah-marah begini. Masih belum puas apa?" Aku semakin kesal dengan candaan mereka. Daripada aku semakin mengamuk, lebih baik aku keluar ruangan saja meninggalkan mereka semua. Padahal, aku baru saja kembali dari cuti, tapi malah disambut dengan suasana yang tidak nyaman seperti berusan.
Aku duduk di area roof top. Di sana tersedia beberapa buah kursi untuk sejenak bersantai, menghilangkan penat satelah bekerja seharian di dalam ruangan. Tidak ada seorang pun yang berada di sana. Mana berani yang lain datang dan meninggalkan meja kerja mereka. Hanya aku saja yang gila, karena berani meninggalkan meja kerja di jam kerja seperti sekarang.
"Wah, kenapa Kamu menempati tempatku? Memangnya tidak ada kerjaan, sampai Kamu datang kemari di jam kerja begini?" Betapa terkejutnya aku. Atasan langsungku tiba-tiba datang dan sudah berada di belakangku. Ucapannya tak bisa kubantah sama sekali. Aku khawatir akan segera kena masalah. Bisa jadi, dia akan menghadiahiku sebuat Surat Peringatan (SP) atau parahnya lagi langsung meminta aku membuat surat pengunduran diri.
"Ma-Maaf, Pak … Saya akan segera kembali sekarang juga." Aku bergegas untuk kembali ke ruangan. Sebab, aku tidak ada niat untuk mendapatkan masalah di kantor. Terlebih aku baru saja kembali dari cuti, jadi memang masih banyak pekerjaan yang harus segera kuselesaikan.
"Eh, tunggu! Aku sedang butuh teman juga nih. Temani Aku mengobrol sebentar." Bosku malah menahanku untuk pergi. Entah apa yang dia inginkan dariku, tapi untuk saat ini yang bisa kulakukan hanyalah menuruti apa maunya.
"Kamu dan suamimu suka mendaki, ya?" Tiba-tiba dia menanyakan tentang kegemaranku dan Indra untuk mendaki.
"Iya Pak Bos, memangnya kenapa Pak?" tanyaku penasaran.
"Kalau tidak ada orang, panggil saja Aku Pak Gun." Nama Bosku memang Gunawan. Dia sudah menikah dan punya 2 orang anak yang sudah cukup besar. Anak pertamanya sudah mask SMP, sedangkan anak keduanya baru masuk SD. "Enang enggak sih naik gunung?"
"Capek sih, Pak … tapi asyik saja. Apa lagi kalau mendakinya dengan kekasih hati. Eh, maaf Pak … saya malah kelepasan."
"Hahaha … tidak apa-apa, Saya juga bosan suasana yang menegangkan di kantor. Padahal, sebenarnya Saya tidak mau jadi bos yang galak, tapi tetap saja bawaannya pengin marah-marah terus kalau lihat teman-temanmu si kantor."
"Iya sih, Pak … tadi juga Saya rasanya ingin marah. Makanya Saya datang kemari. Mohon maaf ya, Pak."
"Memangnya kenapa, tumben Kamu sampai bersikap seperti ini?"
"Habisnya Pak, masak omongan soal ranjang dibuat bahan bercandaan. Kan risih."
"Hahaha … iya juga sih. Kamu pasti tidak nyaman. Oh iya, ajaklah Saya kalau Kamu dan suamimu mau mendaki gunung lagi."
"Hah, Pak Gun serius?"
"Iya, Saya bosan dengan hiruk pikuk ibukota. Mungkin bisa ke gunung yang gampang-gampang dulu jalurnya."
"Em … nanti coba Saya bicarakan dengan suami Saya dulu ya, Pak. Bapak Mau pergi sendiri atau sama keluarga, Pak?"
"Sama keluargakulah … masak mau menjadi orang ketiga di antara Kamu dan suamimu."
"Bapak bisa saja. Sepertinya kalau bersama keluarga Bapak, apalagi bersama anak-anak Bapak yang masih belum dewasa, kita cukup camping ceria saja deh, Pak. Jadi, medannya tidak berat. Yang penting sudah bisa mendirikan tenda. Semalam juga cukup itu."
"Boleh juga itu. Aku setuju kalau begitu." Obrolan santai bersama bosku saat itu menjadikan rencana perjalananku selanjutnya bersama Indra. Nanti, setelah sampai di rumah dan bertemu dengannya, aku akan menceritakan tentang hal ini kepada suamiku tercinta yang lebih tahu tentang hal ini.