"Akhirnya, masakan kita sudah matang dan siap untuk disantap. Wah, sambal terasi buatanmu kelihatannya nikmat sekali, Sayang." Aku mulai terbiasa memanggil Indra dengan sebutan Sayang.
"Tentu saja. Besok, Kamu sudah harus bisa membuat sambal sendiri, ya?"
"Em … akan kuusahakan, meskipun Aku tidak berani berjanji kepadamu. Hahaha …."
"Dasar! Harus bisa dan mau dong! Jadi, besok kalau Ayah dan Bunda pada main ke rumah, kita sudah bisa pamer kalau Kamu sudah pandai memasak."
"Em … boleh juga. Aku memang berniat seperti itu, tapi kalau nanti kita sudah mulai masuk kerja, pasti sampai rumah sudah capek. Praktik masak pun masak pun paling-paling hanya bisa di akhir pecan. Mana bisa Aku cepat terampil memasak."
"Bisa … Kamu pasti bisa! Jangan ragu. Aku yakin kok istriku akan jadi pintar memasak dengan sendirinya. Yang penting dari Kamu sendiri sudah mulai ada kemauan."
"Ada kok kalau hanya kemauan dan keinginan saja. Namun, kalau ditanya soal kepercayaan diri ini yang masih belum kumiliki sampai saat ini."
"Tenang … Aku siap sebagai tukang cicipmu. Bagaimana pun masakanmu, Aku akan selalu setia menjadi pencicip utamamu." Semangat dan dukungan dari Indra selalu berhasil membuatku semakin bersemangat untuk menuruti apa keinginannya. Indra tidak pernah sekali pun meminta sesuatu hal yang aneh-aneh. Permintaannya sangat sederhana dan tidak pernah terkesan memberatkanku sama sekali.
Terkadang, aku sampai heran karena suamiku yang terlihat tidak banyak minta. Sementara, kalau mendengar keluhan dari rekan kerjaku di kantor yang bercerita tentang suami mereka, mereka terlihat sangat kelelahan karena suami mereka banyak minta dan sangat ribet. Padahal, istri mereka bukan istri yang hanya berada di rumah, melainkan menjadi seorang istri pekerja.
Sibuk di kantor adalah sudah barang tentu menjadi kewajiban mereka sebagai seorang pegawai. Namun, menjalankan tugas sebagai seorang istri dan ibu juga bukan merupakan hal yang bisa diabaikan, apa lagi ditinggalkan. Namun, sebagai seorang suami seharusnya mereka tahu bahwa istri mereka juga butuh bantuan selama di rumah. Tidak hanya tentang beres-beres rumah, tetapi juga tentang mengasuh anak mereka.
Ada sebagaian pasangan rumah tangga terutama yang dua-duanya merupakan seorang pekerja, memilih untuk menggunakan jasa seorang asisten rumah tangga dan pengasuh anak mereka. Sementara, sebagian dari mereka lebih memilih untuk menitipkan anak mereka ke tempat penitipan anak (daycare). Sehingga, ketika pulang ke rumah harus dijaga kembali oleh orang tua mereka.
Sangatlah miris dan mengesalkan jika semua tugas tersebut dilimpahkan kepada seorang istri. Tak heran banyak sekali kasus yang terjadi terkait seorang ibu yang depresi dan menganiaya anaknya sendiri. Peran suami sangatlah penting dan dibutuhkan di sini.
Mendengar cerita teman-temanku yang telah terlebih dulu berumah tangga, membuatku sempat takut untuk menikah. Aku takut hal itu akan terjadi juga di kehidupanku. Memang memilih orang yang tepat adalah kuncinya. Namun, tidak sedikit yang menikah dan memiliki pasangan yang tepat, tapi di tengah perjalanan rumah tangga mereka malah berubah drastis, layaknya dia adalah orang yang berbeda. Bukan orang yang selama ini dikenalnya.
Beruntung Indra bukan suami yang seperti mereka. Aku berharap tidak hanya di awal pernikahan kami Indra bersikap sebaik dan selembut ini. Aku sangat berharap agar Indra dapat bersikap sama seperti sekarang seumur hidup kami. Menikah adalah sebuah janji sakral. Sekali seumur hidup adalah harapan dari setiap pasangan yang ingin menikah.
"Mari makan!" teriak Indra menyadakanku dari lamunan. Dia terlihat penuh semangat menikmati masakan kami berdua kali ini. Aku tak menyangka, ternyata hasil masakan kami yang penuh usaha keras membuah hasil yang sangat memuaskan. Aku yakin, tanpa aku pun Indra sudah bisa masak sendiri. Namun, karena dia ingin aku belajar, dia setia mendampingiku dan mengajarkan dengan sangat sabar.
"Bagaimana masakanku? Enak, kan?" tanyaku padanya dengan penuh harap. Indra menjawab dengan mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu dia mengangkat kedua jempolnya. Tingkahnya yang seperti itu begitu membahagiakanku.
Setelah kuicipi hasil masakanku, ternyata sayurnya keasinan. "Eh, kok asin? Padahal, tadi saat kucicipi rasanya pas, lo!"
"Hahaha … enggak apa-apa. Mungkin Kamu mencicipinya kurang banyak."
"Masak, sih? Memang sih, tadi Aku mencicipinya dengan menuangkan kuah setetes saja di telapak tanganku. Aku pikir itu sudah cukup."
"Mungkin cukup bagi yang sudah ahli dan terbiasa masak, tapi kalau untuk yang baru pemula seperti kita, bisa jadi itu kurang mewakili rasa yang sebenarnya." Aku hanya bisa menepuk jidat di depan Indra. Dia pun tertawa melihat tingkahku.
"Sudah, nikmati saja. Tinggal pakai kuahnya tidak perlu terlalu banyak. Beres, kan?" Indra memang suami yang sangat baik. Dia sangat menghargaiku sebagai istrinya. Masakan yang kurang enak pun tidak menjadi masalah baginya. Aku jadi teringat oleh temanku yang pernah mengatakan bahwa suaminya tidak mau memakan masakannya hanya karena lupa menambahkan daun jeruk pada masakannya. Suaminya bilang, dia merasa masakannya masih bau amis. Padahal menurut temanku, masakannya sudah harum karena sudah ditambahkan daun salam.
Selalu ada alasan untuk membuat pasangan bertengkar. Namun, bergantung juga bagaimana watak dari masing-masing pasangan tersebut. Kalau niatnya memang sudah ingin ribut dan tidak baik, maka bagaimana pun juga mereka akan tetap ribut. Namun, jika niatnya ingin rumah tangganya selalu damai, ada masalah apa pun akan disikapi dengan hati dan kepala yang dingin.
"Kamu hebat kok! Aku senang bisa makan masakanmu."
"Tidak hanya masakanku, Kamu juga ikut masak, kan?"
"Ya sudah, kuralah jadi masakan kita. Semoga besok-besok kita juga bisa sering masak bareng lagi seperti sekarang, ya."
"Memangnya Kamu tidak malu?"
"Malu kenapa?"
"Ya malu … Kamu kan seorang pria yang sudah menikah dan sibuk bekerja. Tidak hanya bekerja kantoran, tapi juga bekerja di usaha sendiri. Masak masih bantu istri ke dapur, sih? Bukannya urusan dapur dan rumah adalah tugas seorang istri?" Aku mencoba memancing sikap Indra karena ingin tahu bagaimana responnya.
"Memangnya siapa yang bilang urusan dapur dan rumah adalah urusan istri? Semuanya kan juga urusan suami setelah akhirnya dua insan yang berbeda hidup dalam satu atap dan memutuskan untuk berumah tangga." Mendengar jawaban dari Indra, membuatku menatapnya dengan penuh bangga.
"Tidak perlu terpesona begitu. Pria tampan yang sangat mempesona ini kan sudah menjadi suamimu. Jadi, orang lain tidak akan memilikinya … tidak perlu khawatir." Aku tertawa setelah mendengar Indra berucap demikian. Dia memang paling bisa membuatku senang. Baik sebelum, maupun setelah menikah. Dan aku harap hal itu akan dia lakukan hingga akhir hayat kami nanti.
"Yuk, kita lanjut makan." Indra kembali mengajakku makan dan mengambilkan tempe goreng yang ada di depatnya. Padahal, seharusnya akulah yang lebih banyak meladeninya, bukan malah dia. Itulah dia, tidak mau seperti suami lain yang ingin lebih dimanjakan oleh istrinya. Sebisa mungkin, dia juga ingin banyak memanjakanku sebagai istrinya.