Chereads / Gadis Pendaki / Chapter 26 - Bab 26 Masak Bersama

Chapter 26 - Bab 26 Masak Bersama

Aku dan Indra pulang dari pasar dengan membawa tentengan belanjaan sayur dan lauk pauk. Ikan, daging, bumbu dapur, sayuran, semua lengkap ada di kedua tangan Indra. Dia melarangku untuk membawa satu kantong kresek pun. Dia bilang, dia ingin memuliakan istri. Siapa lagi kalau bukan aku yang dia maksud. Semakin lama, sikap Indra yang sangat manis dan penuh perhatian membuatku merasa hidupku tak akan seindah ini kalau tidak bersamanya. Tahu begini, sejak dulu saja aku dan dia bersama dengan hubungan yang spesial.

"Kenapa? Kamu pasti menyesal, kenapa baru sekarang menikah denganku?" Tiba-tiba Indra berkata seperti itu. Seakan-akan dia bisa membaca jalan pikiranku. "Sudah, tidak perlu mengelak. Aku memang seluar biasa ini dari dulu. Kamu saja yang tidak menyadarinya dan malah sibuk memikirkan mantanmu yang hanya bisa menyakitimu saja itu."

"Sudah deh, tidak perlu mengungkit masa lalu lagi. Kalau bukan karena masa laluku yang menyedihkan, mungkin Aku tidak akan sebahagia ini sekarang bersamamu." Aku hanya bisa membalas sindirian Indra dengan sebuah pujian.

"Kamu ini, paling bisa deh ngeles. Pintar banget sih istriku ini."

"Tadi diledek habis-habisan, sekarang dipuji-puji. Jangan-jangan ada maunya, nih?"

"Ada dong! Jangan ditanya lagi kalau soal itu. Karena sudah pasti Aku kasih Kamu pujian karena ada maunya."

"Memangnya Kamu mau apa?"

"Simpel, sih … Aku hanya mau merasakan masakan dari istriku tercinta. Tenang saja, Aku tidak akan lepas tangan kok. Nanti Aku akan tetap membantumu, tapi Kamu harus yang paling berperan saat di dapur nanti," pinta Indra padaku sembari kami berjalan menuju ke tempat parkir sepeda motor kami.

"Siap! Tapi, awas saja kalau nanti hasilnya mengecewakan dan komentarmu pedas seperti netizen julid. Aku tidak akan mau masak lagi besok-besoknya."

"Lo, kok bilang begitu, sih? Jangan gitu dong! Masak belum-belum sudah mau merajuk begitu. Tenang saja. Aku tidak akan banyak berkomentar kok. Bagaimana pun hasil masakanmu nanti, Aku akan menerimanya dengan lapang dada."

"Hahaha … bahasamu begitu amat, sih?"

"Bercanda, Sayang … yuk, kita pulang. Keburu sayurannya pada layu." Aku dan Indra bergegas untk kembali ke rumah. Setelah sampai rumah, kami mulai membersihkan sayur, ikan, daging dan buah-buahan untuk kami simpan di dalam kulkas.

Aku dan Indra sudah mulai menyicil isi rumah beberapa bulan sebelum kami menikah. Tentu saja Indralah yang lebih banyak mengisinya untukku daripada aku. Sebagai seorang istri, aku benar-benar merasa dimanjakan olehnya. Dia adalah pria yang sangat baik dan penuh dengan tanggung jawab.

Pantas saja Ayah dan Bunda begitu mencintainya dan ingin segera kami menikah. Pilihan orang tua tidak selamanya salah. Sebenarnya, tanpa adanya dorongan dari mereka pun aku sudah bersedia untuk membuka hatiku untuk Indra. Ketulusan yang selama ini dia berikan kepadaku cukup membuktikan bahwa dia memang pantas untuk dicintai.

Pantas saja dulu anak-anak di sekolah begitu tergila-gila padanya. Kenapa baru sekarang aku melihat pesonanya? Mungkin selama ini aku hanya dibutakan oleh cintaku untuk mengingat dan mengharap Niko kembali.

"Kali ini kita masak sayur bayam saja, ya? Soalnya Aku paling hafal kalau itu."

"Boleh, nanti Aku bantu untuk membersihkan ikannya biar Kamu yang membuat bumbunya."

"Alhamdulillah … soalnya memang Aku tidak bisa mengolah ikan. Hahaha … tadinya Aku takut Kamu tertawakan karena tidak bisa melakukannya, tapi untunglah Kamu malah menawarkan diri untuk melakukannya untukku."

"Tentu saja. Aku sudah tahu kalau Kamu pasti tidak bisa melakukannya. Apa sih yang tidak Aku tahu tentang dirimu." Aku dan Indra kembali memulai percakapan ringan. Indra begitu terampil dalam mengolah ikan. Mulai dari membersihkan sisiknya, sampai memotongnya menjadi beberapa bagian. Memang ikan yang kami beli dari pasar sebelumnya sudah dibersihkan oleh penjual, tapi si penjual tidak terlalu bersih dalam membersihkan sisik-sisik ikan tersebut. Sehingga, kami harus membersihkannya kembali.

"Besok-besok Kamu belajar melakukannya sendiri, ya?" pinta Indra kepadaku.

"Selama masih ada Kamu, untuk apa harus Aku yang melakukannya?" candaku.

"Wah, dasar Kamu ini. Nanti Aku adukan ke Ayah dan Bunda, lo!" ancam Indra.

"Idih, sudah jadi suami kok masih saja main adu-aduan begitu. Memangnya Kamu tidak malu?"

"Tidaklah, Aku malu kalau menyengsarakanmu. Kalau untuk mengajarkanmu bersikap menjadi seorang istri yang baik sih, tidak perlu." Aku tidak bisa membedakan antara apakah saat ini Indra sedang bercanda atau sedang berbicara serius.

"Kamu ini ngomong serius?" Aku berusaha memastikan bahwa yang diucapkan Indra hanya bercanda semata.

"Ya ampun … masak Kamu percaya begitu saja, sih? Aku cuma bercanda, Sayang. Setelah menikah, ternyata Kamu jadi banyak berubah, ya?"

"Masak, sih? Sepertinya Aku masih sama saja seperti dulu. Memang apa yang berubah dariku?"

"Kamu itu, dulu suka seenaknya. Mana mau Kamu mendengarkan ucapanku. Kalau sekarang, Kamu lebih banyak mau mendengarkan pendapatku dulu sebelum bertindak."

"Ya bedalah! Kalau dulu, Kamu itu bukan siapa-siapaku. Yah, katakan dulu Aku menganggapmu kadang sebagai teman, kadang sebagai musuh, dan kadang sebagai seorang kakak bagiku. Pasti beda karena sekarang Kamu adalah suamiku. Aku harus berbakti padamu dan menghormatimu seutuhnya. Bahkan setelah menikah. Hormat kepadamu adalah yang lebih utama daripada hormat kepada Bunda. Bukankah seperti itu?"

"Masyaallah, Sayang … Kamu memang istriku salihah. Memang pilihanku selama ini tidak salah lagi. Tidak sia-sia penantianku selama ini untuk mendapatkanmu." Lagi-lagi Indra memujiku dengan berlebihan.

"Sayang, Kamu ini terus-terusan memujiku. Aku kan jadi semakin melayang."

"Memujimu itu bisa membuatmu bahagia, kan? Nah, dengan Kamu merasa bahagia karena Aku, itu juga menjadi salah satu cara Aku mendapatkan pahala. Lagi pula, Aku mengatakan hal tersebut memang karena ingin mengatakannya kok. Apa yang Aku ucapkan adalah jujur merupakan perasaan dari dalam lubuk hatiku yang paling dalam."

Sebenarnya aku masih malu-malu bermesraan dengan Indra. Namun, aku harus terus belajar agar mulai terbiasa dengannya. Aku yang masih menyiapkan masakan, akhirnya mulai mendekati Indra dan memeluknya dari belakang. Dia masih sibuk membersihkan ikan. Jadi, dia tidak bisa berbalik dan membalas pelukanku.

"Eh, Aku masih bau amis, lo!"

"Biarin bau amis. Kalau tidak bau amis, Kamu pasti akan berbalik dan memelukku kembali. Aku masih malu, tahu! Jadi, biar Kamu tidak bisa melihat wajahku, makannya Aku memelukmu seperti sekarang."

"Wah, ternyata istriku sedang malu-malu menunjukkan perasaannya. Baiklah, kalau memang maumu seperti itu. Seperti ini pun tidak buruk." Aku tahu, saat ini Indra sedang tersenyum melihat tingkahku. Selama ini aku memang lebih banyak jual mahal kepadanya. Sehingga, sedikit demi sedikit aku akan membalas semua perasaan yang selama ini dia berikan kepadaku. Lagi pula, perasaan sayangku untuk Indra pun rasanya sudah sulit sekali kubendung.