Aku memang selalu cuek sebelum benar-benar membuka hati untuk Indra. Namun, setelah aku dan dia mulai menjalin hubungan hingga akhirnya menikah, aku berusaha keras untuk memberikan perhatian untuknya setiap hari, bahkan setiap saat. Baik ketika kami bersama maupun ketika kami tidak sedang bersama.
Hari ini adalah hari pertama aku menjadi seorang istri steelah kemarin aku melangsungkan pernikahan dengan Indra. "Sudah bagun?" tanya Indra yang baru bangun dari tidur dan menyusulku ke dapur. "Kubantu, ya? Mau masak apa hari ini?"
"Entahlah, Aku juga bingung. Biasanya Bunda yang selalu masak untukku. Namun, karena sekarang kita sudah tinggal di rumah yang terpisah dengannya, mau tidak mau Aku harus mulai mandiri." Pada umumnya memang setelah acara pernikahan, seorang anak tetap tinggal beberapa hari di rumah orang tuanya. Namun, karena rumah keluarga Indra dan keluargaku berdekatan, sedangkan Indra sudah menyiapkan rumah baru di dekat sana untuk kami tinggali bersama, akhirnya kami memutuskan untuk langsung tinggal di rumah kami saja setelah pernihakan kami selesai dilaksanakan.
"Ada bahan makanan apa saja?" tanya Indra padaku.
"Tidak ada banyak, sih … karena belum belanja dan belum ada persiapan. Sebenarnya masih ada sisa makan acara pesta kemarin. Sudah kuhangatkan juga, tapi Aku takut Kamu tidak mau."
"Aku mau kok. Kita makan itu saja dulu. Nah, mumpung kita masih cuti, setelah selesai makan nanti kita keluar untuk belanja," ajak Indra.
"Boleh juga tuh, tapi bagaimana kalau nanti ada orang yang datang? Kata Bunda, kadang-kadang setelah acara pernihakan, ada saja tamu yang akan datang ke rumah karena pada saat acara pernikahan kita dia tidak datang."
"Tidak masalah. Pasti yang mereka tuju rumah Bunda. Kalau pun mau datang ke rumah kita, pasti Bunda akan menghubungi kita dulu."
"Ini ada Malbi Daging sama sambal goreng kentang. Bukankah ini makanan kesukaanmu?"
"Wah, tak kusangka ternyata istriku perhatian juga. Boleh Aku minta disuapi?" Indra terlihat ingin bermanja-manja denganku. Tak kusangka, dia bisa semanja ini. Biasanya, dialah yang selalu berusaha memanjakanku. Meskipun sambil malu-malu, tapi aku tetap menyuapi makanan untuk Indra. Dia terlihat sangat senang karena aku mau melakukannya.
"Gantian Aku suapin Kamu, ya?" Indra pun mulai menyuapi makananku.
"Ini kenapa enggak makan sendiri-sendiri saja, sih? Perasaan mau makan saja ribet banget."
"Hahaha … iya juga, ya. Yah, gagal romatis deh. Romantisnya cuma sebentar." Aku dan Indra jadi tertawa bersama. Dia memang berhasil membuatku geli. Segera setelah menghabiskan makanan kami, aku mengangkat piring kotor bekas makan kami. Namun, Indra malah meraihnya dan menggantikanku mencuci pirik kotor tersebut.
"Sudah, istrahat dulu. Nanti kan kita mau ke pasar. Kamu harus jalan jauh dan blusukan. Bau ikan-ikan yang amis juga akan bercampuran. Kamu siap?" tanya Indra padaku.
"Kamu ini seperti Aku tidak pernah ke pasar saja. Aku tahu kok kalau pasar seperti itu."
"Hahaha … bukannya selama ini Kamu hanya mengantarkan Bunda ke pasar, lalu menunggunya di seberang jalan?"
"Aduh, ketahuan deh. Memang susah ya bohong dari suami yang setiap hari tahu bagaimana kegiatanku selama. Jangankan sebelum menikah, jauh sebelum menikah saja rasanya semua hal tentang Aku dan keluargaku, Kamu sudah tahu semua."
"Yah, begitulah kira-kira. Hanya saja, meskipun sudah banyak tahu tentang dirimu, tetap saja banyak hal yang ingin Aku tahu dari dirimu lagi." Ucapan Indra membuatku merasa begitu dicintai. Dia berhasil membuatku semakin jatuh cinta dari hari ke hari. Sikapnya yang sangat lembuh berhasil meluluhkan hatiku.
"Lo, pengantin baru sudah ke pasar saja?" ungkap salah satu tetangga kami yang bertemu aku dengan Indra di pasar.
"Iya, Tante … lagi belajar jadi istri yang baik."
"Alah … padahal biasanya juga belanja dari abang-abang sayur yang lewat di depan rumah. Bilang saja mau pamer kemesraan sebagai pasangan pengantin baru." Ada saja orang yang bersikap jahat terhadap orang yang tidak ada niat jahat sedikit pun terhadapnya. Entah bagaimana jalan pikirannya dan apa yang ada di dalam hatinya. Sampai-sampai melihat orang lain senang, sepertinya selalu merasa iri dan dengki.
Tiba-tiba Indra berbisik di telingaku agar amarahku mulai padam. "Sudah, tidak perlu diladeni. Biarkan saja orang seperti itu. Lagi pula, mau dibalas bagaimana pun juga dia akan kembali berulah dan semakin menyakiti perasaan kita."
"Bisik-bisik apa kalian?" Si tetangga julid ini pun tak henti-hentinya bertingkah dan mencari gara-gara.
"Tidak kok, Tante … kami mau segera mencari bahan-bahan makanan yang kami butuhkan. Keburu nanti kehabisan dan kalah rebutan dengan pembeli lainnya." Indra berusaha pamit dengan caranya. Sementara, aku hanya diam saja karena takut malah tersulut emosi dan menjawab dengan ucapakan kasar.
"Dasar tidak sopan. Diajak bicara orang tua kok malah ditinggal pergi begitu saja. Tahu gitu kemarin Aku enggak usah datang saja ke pesta pernikahannya. Buang-buang duit saja!" Tante tetanggaku dan Indra itu pun kembali mengomel dan menurutku semakin menjengkelkan.
Untung Indra berhasil menahanku, kalau tidak, bisa-bisa aku sudah menjambak rambutnya. Bersama Indra membuatku belajar lebih sabar dan dewasa. Mungkin inilah alasannya kenapa kita harus menikah dengan orang yang tepat. Agar dia bisa mengajak kita menjadi orang yang lebih baik lagi.
Indra menemaniku belanja sampai ke dalam pasar. Malah, dialah yang menunjukkan padaku di mana saja tempat yang menjual bahan makanan yang ingin kami beli. Indra sering mengantarkan Bunda Widya ke pasar. Sehingga, Indra sudah sangat hafal rute dan tempat-tempat yang harus kami datangi.
Karena pasar cukup padat, Indra menggandengku agar tidak terpisah dengannya. Tak jarang orang-orang memperhatika kami berdua. Karena terlihat mencolok sekali pasangan yang terlihat mesra di tengah-tengah pasar tradisional seperti kami. Kami tinggal di pinggiran kota Jakarta. Sehingga, masih sangat mudah menjumpai sebuah pasar tradisional yang ramai dikunjungi warga sekitar.
Semua pedagang kecil yang kami datangi semuanya mengenal Indra. Indra memang orang yang sangat baik dan ramah terhadap semua orang yang di temuinya. Sikapnya yang seperti itu dibalas dengan sikap yang baik dan ramah juga. "Wah, ini istrimu?" tanya salah satu pedagang sayur langganannya.
"Iya, Bu … ini istri Saya. Cantik, kan?"
"Iya, cantik sekali. Cocoklah kalau sama Kamu. Untuk pengantin baru, Ibu kasih diskon, deh. Ini Ibu kasih bonus sayur taoge biar buat Kamu jadi tambah subur. Mau kacang hijau juga? Tapi kalau acing hijau dibayar, ya. Hehehe." Indra dan ibu penjual sayur terlihat begitu akrab. Aku sampai semakin kagum melihat Indra yang begitu rendah hati seperti itu.
"Siap! Untuk kacang hijaunya kami beli ya, Bu. Terima kasih sudah dikasih bonus taoge. Istriku senang sekali, nih," kata Indra sambil merangkulku yang sedang berdiri di sampingnya.
"Ya ampun! Memanglah kalau pengantin baru penginnya mesra-mesraan terus."