"Selamat ya atas pernikahanmu dengan suamimu." Akhirnya aku mengundang Niko ke pesta pernikahanku dengan Indra. Meskipun sempat ragu, tapi akhirnya setelah Indra mengizinkanku untuk mengundannya, akhirnya aku memutuskan untuk mengundangnya juga.
"Terima kasih atas ucapannya. Em … Kamu datang sendirian?" tanyaku pada Niko yang terlihat datang seorang diri.
"Yah, seperti yang Kamu lihat, Aku memang datang seorang diri. Mau menggandeng siapa lagi memangnya? Orang yan ingin selalu kugandeng saja sudah digandeng sama orang lain. Bahkan, sudah dibawanya ke pelaminan seperti sekarang."
"Maaf, kalau mau ngobrol lebih lama lagi, sepertinya nanti setelah acara saja, deh. Soalnya, masih banyak tamu yang mengantri. Saya harap, Anda bisa mengerti." Indra mengingatkan Niko secara halus. Memang benar, tamu lain sedang mengantri untuk berjabat tangan dengan kami untuk memberikan ucapan selamat.
"Eh, barusan bukannya Niko mantan pacar Kamu itu, ya?" tanya salah satu temanku yang mengetahui tentang kisah cintaku bersama Niko di masa lalu.
"Iya, memang dia Niko yang itu. Sudahlah, tidak perlu dibahas lagi. Kan sekarang Aku sudah ada suami yang merupakan masa depanku. Kalau dia sih hanya masa lalu saja. Jadi, tidak perlu diingat-ingat lagi."
"Wah, hebat sekali Kamu masih bisa memaafkan, bahkan mengundangnya untuk datang ke acaran pernikahanmu saat ini. Suamimu juga tak kalah hebat, karena telah mengizinkanmu mengundangnya." Baik orang-orang yang tahu tentang kisahku, Niko, dan Indra, mereka banyak sekali yang memberikan pujian. Aku senang karena Indra begitu bijak saat menyikapi permasalahan ini.
Dia pernah berkata bahwa untuk apa merasa cemburu dengan Niko. Dia saja sudah jelas-jelas berhasil mendapatkan hatiku. Bahkan, sekarang dia sudah berhasil menjadikanku sebagai istrinya. Menurut Indra, cemburu hanya untuk orang-orang yang tak percaya diri.
Terkadang, Indra memang bersikap terlalu percaya diri. Namun, sebenarnya dia realistis. Dia bisa membaca bahwa aku sudah benar-benar jatuh hati padanya. Karena terbiasa dimanja dan diperhatikan olehnya, aku jadi merasa seperti menikmati sebuah candu. Tanpa ada perhatian dari Indra, rasanya aku sangat merindukannya dan ada yang kurang di hidupku. Padahal, dulu sebelum tahu dia menyukaiku lebih dari sebagai seorang adik, aku merasa perhatiannya itu biasa saja.
Semua memang terlihat biasa ketika kita tidak memperhatikannya. Namun, tidak sedikit dari mereka yang ternyata sangat menyimpan rasa. Beruntung jika rasa yang mereka simpan adalah rasa sayang. Kacaunya jika yang mereka simpan malah rasa benci.
Setelah acara resepsi selesai, aku dan Indra mulai menyapa tamu satu per satu di bawah panggung. Acara pernikahan kami sekalius menjadi acara reunion kami dengan teman-teman. Aku yang sejak dulu jadi tukan kurir surat cinta untuk Indra pun diledek habis-habisan. Terutama diledek oleh cewek-cewek yang pernah menitipkan surat cintanya kepadaku.
"Wah, Kamu curang! Jangan-jangan selama ini surat cinta kami tidak sampai dan hanya berhenti di Kamu?" tuduh salah satu dari mereka.
"Sembarang saja kalau bilang. Gini-gini Aku orangnya jujur, ya. Aku tidak pernah berbohong pada kalian. Malah, meskipun Indra menolak surat dan hadiah pemberian kalian, Aku masih berusaha membacakan surat itu di depannya. Siapa juga yang menyangka ternyata dia malah menyukaiku. Hahaha."
"Iya, tidak ada hal buruk yang dilakukan oleh Rena. Memang Akulah yang sudah sejak lama menaruh hati terhadapnya. Jadi, tolong jangan salahkan dan musuhi istriku lagi, ya," pinta Indra pada mereka.
"Ya ampun … Kamu manis sekali, sih. Kami kan jadi semakin iri terhadap Rena yang berhasil mendapatkan orang sepertimu."
"Hai, kalian! Tolong diingat, Indra ini sudah sah jadi suamiku. Jadi, jangan lagi kalian berusaha untuk menggodanya, ya."
"Hahaha …galak sekali Kamu sekarang, Ren. Takut ya ada yang memuat suamimu kecantol. Mana mungkin itu terjadi? Lihat! Dia saja sangat tergila-gila terhadapmu." Tiba-tiba Indra memelukku dari belakang.
"Iya, masak cintaku yang seperti ini masih diragukan? Kalau pun ada perempuan yang datang mengggodaku, tentu saja dia tidak akan berhasil merebut hatiku darimu."
"Kalian ini. Tahu sih kalau kalian ini pengantin baru, tapi harus ya bermesraan di depan jomlo seperti kami ini? Sedih tau, enggak."
"Sabar-sabarin ya, Say. Memanglah kalau pasangan baru menikah itu seringnya merasa bahwa dunia ini hanyalah milik berdua. Sementara, yang lain ngontrak."
Sikap Indra yang sekarang sudah mulai terang-terangan menunjukkan perasaannya di depan umum membuatku sedikit malu dan belum sepenuhnya menyesuaikan diri terhadapnya. Dia yang selama ini menahan semua perasaan cintanya itu berubah menjadi seseorang yang cintanya meluap-luap dan tak terbendung lagi.
"Apakah Kamu bahagia menjadi istriku?" tanya Indra tiba-tiba ketika yang lain sedang sibuk mengobrol.
Aku pun hanya bisa menoleh ke arahnya dan memandang wajahnya sambil berpikir, kenap dia tiba-tiba bertanya seperti itu. "Kenapa nanyanya gitu?"
"Nanti kalau Kamu menjawab bahwa Kamu menyesal, itu artinya pernikahan kita malah menjadi sumber kesengsaraan bagimu. Aku tidak ingin hal itu terjadi."
"Tentu saja Aku bahagia. Kalau Aku tidak bahagia, ketika Kamu melamarku, Aku pasti akan langsung menolaknya."
"Untunglah kalau begitu. Eh, tadi Andre, Nindi, dan Nevan tidak datang ke acara resepsi, tapi mereka sedang menuju kemari." Tidak lama setelah Indra mengatakan bahwa mereka masih berada dalam perjalanan, aku melihat mereka bertiga datang dengan membawa sebuah peralatan mendaki yang belum Indra jadikan sebagai seserahan kemarin.
Andra membawa sebuah jas hujan, sementara Nindi membawa jaket untukku. Sedangkan, Nevan membuah sebuah kaos tangan dan gaiter. Gaiter adalah penutup kaki ketika melakukan pendakian yang bagian bawahnya dilengkapi oleh tali elastis untuk dikaitkan di tengah-tengah alas sepatu. Sementara di bagian atasnya biasanya menggunakan tali yang bisa ditarik untuk dikencangkan dan dikendorkan sesuai dengan setelannya. Gaiter ini biasanya digunakan untuk menghindari tanah dan batu masuk ke dalam celana ketika pendakian dikakukan.
Orang-orang heboh melihat tingkah mereka. Karena mereka langsung menggunakannya dan baru dilepaskan ketika berada di depanku dan Indra. Untuk saja mereka tidak datang ketika acara resepsi. Karena kalau mereka membawa itu semua saat resepsi berlangsung, mungkin aku akan naik turun panggun untuk pergi ke kamar mandi karena menahan tawa.
Mereka bertiga berhasil menghiburku dan Indra. Tidak hanya kami yang tertawa, tetapi juga tamu undangan lainnya. Suasana yang tadinya membosankan seakan berubah jadi sangat riang. Bahkan, rasanya aku tidak ingin mala mini berakhir.
Di sisi lain, Indra malah ingin malam ini segera berakhir agar tamu-tamu yang hadir segera pulang dan meninggalkan kami berdua saja. Akhir-akhir ini aku meman terlalu sibuk. Sampai-sampai harus sering kali mengabaikan Indra. Untungnya Indra sangatlah pengertian dan sabar. Namun, jangan sampai aku secara terus-terusan membuatnya menunggu agar dia tidak jenuh. Bagaimana pun juga, sekarang dia adalah suamiku. Kewajiban nomor satuku bukan hanya menghormati orang tuaku lagi, melainkan menghormatinya sebagai seorang suami.