Wedding Organizer (WO) sudah dipilihkan Indra. Kami memilih WO yang memang sudah sangat berpengalaman di bidangnya. Anggaran biaya mahal tidak menjadi masalah buatku dan Indra, demi terselanggaranya pernikahan impian. Kami memilih konsep pernikahan muslim modern.
Ijab kabul diselenggarakan di Masjid Al-Hikmah dan resepsi diselenggarakan di Ballroom Hotel Semesta Alam Permai. Chatering sudah dipilihkan oleh Tante Widya yang sudah sangat handal soal memilih makanan enak dan sangat direkomendarikan. Hanya tinggal desain undangan yang masih harus kami pilih. Sudah ada beberapa contoh desain undangan yang tereliminasi, tapi masih tersisa sekitar lima desain yang harus kami pilih. Dan itu merupakan desain terbaik dari desain-desain yang terbaik yang telah kami lihat.
Indra menyerahkan pilihan desain undangan mutlak ke tanganku. Sembari memilih desain undangan, aku pun harus mulai membuat daftar nama-nama yang akan kami undang. Perasaan dilema mulai bermunculan. Siapakah yang harus kuundang. Terlebih apakah aku akan mengundang Niko ke acara pernikahanku dengan Indra, atau tidak?
***
Malam setelah acara lamaran berlangsung, tiba-tiba ponselku berdering. Kulihat layar yang sedang menyala menunjukkan nama kontak yang sedang menelponku, "Niko." Entah kebetulan atau memang disengaja, Niko menelepon tepat setelah acara pertunanganku selesai.
"Hallo, Assalamualaikum." Aku menjawab panggilan Niko dengan nada sedikit ketus.
"Waalaikumsalam Warrohmatullahi Wabarokatuh. Sedang apa, Ren? Aku ganggu atau enggak?" tanya Niko sedikit ragu.
"Lagi mau istirahat saja sih, lagi enggak ngapa-ngapain. Memangnya kenapa? Kok menelepon di jam segini." Aku ingin tahu apa sebenarnya tujuan Niko menghubungiku malam-malam begini.
"Wah, ganggu dong kalau gitu. Ya sudah selamat istirahat, ya." Tidak seperti yang kukira, ternyata dia sudah langsung berniat mengakhiri panggilannya.
"Ya, terima kasih," jawabku agak ketus. "Tapi, serius menelepon malam-malam beini tidak ada tujuan tertenutu? Misalnya saja mau membicarakan sesuatu gitu," tanyaku.
"Enggak ada apa-apa, sih, Aku hanya rindu saja. Karena kalau kata Dilan, rindu itu berat jadi biar Aku saja yang merasakannya."
"Hm ... kalau itu sih kata sebuah tokoh di salah satu novel terkenal. Kayak ABG saja Kamu, Nik."
"Hehehe ... ya enggak apa-apa, kan. Memang beneran kok, aku memang sedang merindukanmu. Yang merasakan rindu kan hanya Aku, sementara Kamunya tidak merasakannya terhadapku. Benar, kan?" tanya Niko terdengar sedikit berharap.
"Yah, benar juga, sih. Memang benar yang Kamu bilang, Aku memang enggak rindu," jawabku tegas
"Yah, padahal Aku berharapnya Aku salah sangka. Kali saja Kamu juga merindukanku dan pengin ketemu sama Aku lagi, Ren. Soalnya, akhir pekan besok rencananya Aku mau ke rumah Kamu."
"Hah, ke rumahku? Aku enggak salah dengar? Untuk apa Kamu mau ke rumah?" tanyaku kaget.
"Enggak kok, Kamu enggak salah dengar. Jadi, akhir pekan besok ... Aku mau ke rumah Kamu bersama kedua orang tuaku. Aku mau nunjukin ke Kamu dan keluargamu kalau Aku serius ke Kamu. Aku ingin menikahimu."
Aku terdiam sejenak, berpikir untuk memilih kata-kata terbaik untuk kusampaikan kepada Niko bahwa sebenarnya aku sudah bertunangan dengan laki-laki lain.
"Sebelumnya Aku minta maaf ya, Niko." Aku harus menolaknya secara tegas dan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.
"Lo, kok malah minta maaf? Memangnya kenapa, Ren?" Niko merasa kebingungan atas ucapan maaf yang kusampaikan kepadanya.
"Jadi, sebenarnya, sore tadi ada laki-laki lain yang sudah duluan ke rumah kami bersama kedua orang tua dan keluarganya." Aku menjelaskan secara perlahan.
"Maksudnya?" Niko mencoba memastikan kembali.
"Yah, Kamu pasti paham apa yang sudah kusampaikan tadi."
"Jadi, aku sudah terlambat? Ren, tolong kasih Aku kesempatan lagi, kumohon," pinta Niko.
"Maaf banget, Nik. Aku sudah enggak bisa kasih kesempatan ke Kamu lagi. Kayaknya sudah cukup deh beberapa tahun ini Aku kasih Kamu kesempatan. Aku paham kalau Kamu juga sudah berusaha, hanya saja menurutku usaha Kamu masih setengah-setengah.
Jadi, kalau pun ada laki-laki lain yang akhirnya lebih dulu meminta restu kepada kedua orang tuaku dan dia berhasil mengantongi ijin mereka untuk meminangku, tidak ada yang bisa merubahnya lagi. Mungkin itu semua memang yang terbaik untuk kita. Terima kasih atas niat baik Kamu untuk datang ke rumah bersama keluargamu, tapi Aku juga minta maaf karena tidak bisa membalasnya sesuai harapanmu."
Niko terdiam tak bersuara, kemudian aku pun mengakhiri percakapan kami malam itu. "Sudah dulu ya, Aku mau istirahat dulu. Aku yakin, Kamu pasti bisa menemukan perempuan lain yang jauh lebih baik daripada Aku."
Sayup-sayup terdengar suara Niko, ketika aku menutup telepon darinya. "Kamulah yang terbaik buat Aku, Ren."
***
Mataku akhirnya terlelap, tapi bayangan Niko tak kunjung sirna. Aku tak menyangka, dia memberanikan diri untuk bertemu dengan kedua orang tuaku. Namun, semua itu sudah terlambat. Hari pernikahanku dengan Indra akan segera dilaksanakan. Cincin yang disematkan ke jari manisku adalah bukti komitmen kami. Meskipun semakin mendekati hari pernikahan aku semakin ragu untuk melepas masa mudaku, tapi aku tidak ingin kehilangan kesempatan untuk menjadi pengantin Indra. Karena dia adalah laki-laki yang selama ini aku dambakan. Semua kriteria yang kuharapkan dimiliki oleh suamiku, ada pada dirinya.
Mungkin nanti bisa saja aku akan menyesali keputusanku. Namun daripada itu, aku lebih tidak ingin membuat orang tuaku, orang tua Indra, dan juga Indra sendiri kecewa terhadapku, jika tiba-tiba aku memutuskan untuk membatalkan rencana pernikahan kami.
Rasanya aku ingin mngutuk Niko saja. Dia dengan seenaknya datang dan pergi begitu saja. Tindakannya terlalu lambat. Usahanya pun tidak terlalu keras. Setidaknya, dengan tetap menikah dengan Indra, dia bisa semakin tersadar dan menyesal bahwa seharusnya dia tidak menyia-nyiakan perempuan sepertiku.
Luka yang dia torekkan di masa lalu memang sudah sembuh. Namun, bekas lukanya masih belum juga menghilang. Mungkin, itu juga yang menjadikanku tetap mantap untuk melanjutkan pernikahanku dengan Indra.
Sebenarnya aku kasihan dengan Niko, karena niat baiknya untuk datang ke rumah bersama keluarganya harus kutolak mentah-mentah. Namun, menurutku hal itu jauh lebih baik daripada aku harus berpura-pura memberinya kesempatan. Padahal, sudah jelas hari pernikahanku dengan Indra sudah di depan mata.
Suara Indra memang seperti orang yang kehilangan tenaga dan harapan. Namun, aku yakin semua itu hanya butuh waktu untuk dia mengembalikan semuanya. Buktinya, dulu yang aku sempat merasa putus asa karena telah ditinggal menikah olehnya, kini aku malah menikah lebih dulu darinya.
Aku hanya cukup mulai membuka mata dan mau memberikan kesempatan orang lain untuk membuka hatiku untukku. Indralah yang berhasil membuka mata sekaligus membuka hatiku. Mungkin kalau tidak ada Indra, aku masih akan terpuruk dan berpikir ulang untuk menolah Niko. Aku tidak jauh berbeda dengan perempuan lain yang lemah dengan kata maaf yang diucapkan oleh mantan. Sehingga, kisah pahit di masa lalu bisa terhapus begitu saja selama akal sehatku sedang tidak bekerja.
Dibawa perasaan sering kali kurasakan. Di sisi lain aku ingin lepas dari masa lalu dan memulai kehidupan baru. Namun, di sisi lain aku juga menyayangkan jika harus benar-benar mengakhiri semuanya. beruntung aku bertemu dengan Indra yang menjadi pembanding berat dari Niko yang perjuangannya untuk mendapatkanku tidak ada apa-apanya dari yang Indra lakukan untukku.