Ayah dan Bunda selalu menanyaiku kapan rencana pernikahanku dengan Indra akan diselenggarakan. Berhubung pekerjaan sedang sibuk-sibuknya, aku selalu mengesampingkan hal tersebut. Sampai akhirnya Indra mengatakan bahwa dua bulan lagi, kami akan menyelenggarakan pernikahan kami.
"Ren, kita nikahnya sudah tinggal dua bulan lagi, ya. Em … kalau memang Kamu masih sibuk, semua persiapa perikahan kita biar Aku yang mengurusnya, dibantu sama kedua orang kita. Nanti Kamu tinggal bilang konsepnya mau seperti apa. Biar kucari WO (Wedding Organizer) yang handal dan berpengalaman. Jadi, lebih meringankan pekerjaan kita," ungkap Indra kepadaku.
"Kenapa sih kesannya pada pengin buru-buru gini. Sabar dulu dong nunggu biar kerjaanku agak santai dulu, baru kita omongin ini lagi." Aku tidak suka diburu-burui, meskipun sebenarnya niat Indra dan orang tua kami tidak buruk.
"Ya, karena Aku tahu Kamu lagi sibuk-sibuknya, makanya Aku punya rencana seperti yang sudah Aku jelaskan tadi ke Kamu. Kalau buat hal baik seperti pernikahan enggak perlu ditunda-tunda."
"Terserah Kamu saja deh," ucapku agak sinis.
"Semangat kerjanya, Rena sayang. Kurang-kurangin cemberutnya, ya." Indra berusaha menenangkanku dengan caranya.
Indra sudah sangat memahamiku. Semarah, sebawel, semenyebalkan apa pun diriku, dia selalu memaafkan dan memaklumiku sikapku tanpa harus kuminta terlebih dulu. Indra adalah sosok yang nyata, tapi tak terlihat olehku selama ini. Tak terlihat bahwa dialah yang paling tepat untuk menjadi suamiku, paling tepat untuk mendampingi hidupku hingga akhir hayatku kelak, dan paling baik untukku menurut Tuhan Sang Pencipta.
Aku paham bahwa aku salah karena sering kali mengabaikan rencana pernikahan kami, tapi itulah aku. Aku yang selalu mudah tersulut emosi ketika sedang disibukkan oleh pekerjaan, aku yang sering marah-marah karena banyak pikiran, dan aku yang masih sering kali mementingkan pekerjaan ketimbang masalah pribadiku sendiri.
Indra sering mengingatkan bahwa aku harus mengurangi semua sifat-sifat negatifku. Meskipun sering menimbulkan pertengkaran, kami selalu mengakhirinya dengan baik. Karena prinsip kami, semua masalah harus diselesaikan sesegera mungkin tanpa harus menimbulkan masalah lain dan di antara kami harus saling terbuka. Tak ada yang ditutup-tutupi termasuk rasa yang mengganjal di hati. Jadi, tidak ada perasaan atau pemikiran yang disimpan sendiri untuk menghindari kecurigaan satu sama lain.
Indra adalah sosok yang sempurna di mataku. Hingga sering kali, aku merasa aku jauh dari kata orang yang tepat untuknya. Terkadang aku kasihan kepadanya. Apa aku layak disandingkan dengan orang sebaik dan sesempurna dirinya. Yah, itulah jodoh. Kata orang sih jodoh itu cerminan dari diri kita. Nah, kalo kasusnya Indra dan aku mungkin lebih tepat pakai istilah pasangan itu saling melengkapi.
Aku merasa menjadi orang yang sangat beruntung karena dicintai oleh lelaki seperti Indra. Berapa puluh perempuan yang mengejarnya dan berakhir sia-sia. Dari semenjak di bangku SMA, aku menyaksikan sendiri betapa banyaknya perempuan yang dibuatnya patah hati. Bukan karena dia yang suka bermai perempuan, melainkan karena dia yang bersikap dingin hampir pada setiap perempuan yang mencoba mendekatinya. Dia hanya bersikap hangat kepadaku dan kepada orang-orang yang memang tak berharap lebih kepadanya.
Urusan takut diselingkuhi, jujur aku tak ada pemikiran sedikit pun untuk itu. Namun, terkadang aku takut suatu saat nanti, aku akan membuatnya kecewa hingga akhirnya membuat dia berpaling dariku. Meskipun demikian, aku yakin Indra adalah orang yang sangat bertanggung jawab. Jadi, ketika dia telah meminangku, mengucapkan ijab qobul dan menggantikan tanggung jawab Ayah atas diriku untuk beralih menjadi tanggung jawab Indra. Indra akan benar-benar berkomitmen dan bertanggung jawab atas diriku. Tidak hanya berjanji kepada orang tuaku, tapi dia sekaligus berjanji kepada Tuhan kami.
Hari demi hari telah terlewati, hingga saatnya hari pertunangan kami diselenggarakan. Indra datang bersama rombongan keluarganya ke rumah. Membawa seserahan dan sepasang cincin yang akan disematkan ke jariku. Cincin yang sebelumnya diberikan oleh Indra ketika berada di Puncak Gunung Merbabu hanyalah sebagai permulaan keseriusannya, karena cincin yang sudah dipersiapkan olehnya untuk pertunangan kami jauh lebih berkesan. Indra pernah bilang, cincin itu adalah hasil dari pembentukan ulang perhiasan peninggalan nenek Indra yang sudah lama meninggal dunia. Jadi, dalam keluarga Indra, harus ada perhiasan yang diserahkan kepada menantu keluarganya di mana perhiasan tersebut berasal dari anggota keluarga terdahulu.
Sebelum meninggal dunia, aku sering bertemu dengan nenek Indra. Beliau meninggal jauh sebelum Nia dilahirkan ke dunia. Nenek Indra meninggal tak lama setelah suami beliau (kakek Indra) meninggal. Kakek Indra meninggal karena penyakit stroke. Selama sakit stroke dan tak mampu berjalan lagi akibat kaki beliau menjadi lumpuh, nenek Indra begitu sabar merawat beliau. Sampai-sampai aku yang pada waktu itu masih sangat kecil, yaitu sekitar usia 10 tahun sudah bisa merasakan ketulusan dan kasih sayang nenek Indra kepada Kakek.
Aku yang masih anak-anak saja sampai ada keinginan untuk bisa bertemu dengan pasangan yang mampu menyayangiku dengan tulus dan mau merawat serta menjagaku dalam keadaan apa pun. Mungkin karena waktu kecil juga aku sering menonton film yang bercerita tentang Sang Pangeran dan Puteri kerajaan di mana kisahnya selalu berakhir bahagia. Jadi, sedikit banyak berpengaruh terhadap kehaluanku.
Siapa sangka ternyata aku malah berjodoh dengan cucu mereka dan akan segera menikah. Seserahan yang paling berbeda di antara yang lainnya adalah perlengkapan mendaki. Ada sepatu gunung, cariel (carrier), tas ransel, matras, flysheet, tenda, dan peralatan masak untuk outdoor. Nah, yang membuatku bertanya-tanya kenapa carielnya agak beda ya? Setelah acara selesai akan kutanyakan kepada Indra.
Acara dimulai dan berlangsung dengan hikmat. Tamu undangan hanyalah keluarga dan teman dekat kami saja. Karena acara diselenggarakan di rumah Ayah dan Bunda yang tidak begitu luas. Nanti saja ketika acara pernikahan kami diselenggarakan, kami akan mengundang lebih banyak orang, saudara, kolega, teman sekolah, teman kuliah, dan orang-orang yang kami rasa perlu diundang untuk hadir ke acara bahagia kami tersebut.
Tante Widya menyematkan cincin ke jari manisku, begitu pun dengan Bunda. Bunda menyematkan cincin ke jari Indra. Seperti pasangan yang sedang bertunangan pada umumnya, kami berfoto sambil menunjukkan cincin kami. Rasa haru dan tak percaya masih sering kali terlintas di benakku. Rasanya bagaikan mimpi bisa berada di fase ini. Bertunangan dengan Indra dan pernikahan kami sudah berada di depan mata. Namun, semakin mendekati hari pernikahan kami, aku merasa sedikit gelisah. Apakah memang Indra adalah jodohku? Bisakah aku menjadi pasangan dan istri yang baik untuknya? Membayangkannya saja membuatku ragu akan diriku sendiri. Padahal tinggal satu bulan saja hari pernikahanku dengan Indra akan diselenggarakan dengan meriah.