Setelah melakukan perjalanan dengan cuaca hujan panas silih berganti menemani langkah kami, kami akhirnya tiba kembali di basecamp. Badan yang awalnya kering dan menjadi basah oleh air hujan, kini mulai mengering kembali, tapi masih terasa lembap. Aku memutuskan untuk membersihkan badan sebelum berkemas dan pulang kembali ke Jakarta.
Mandi keramas dengan air gunung yang sangat dingin tak mampu menyurutkan tekadku untuk membersihkan diri. Bau tak sedap, lepek, dan gatal yang sudah bercampur aduk tak menentu terasa di badanku. Dua hari tak mandi memecahkan rekorku selama hidup selama dua puluh tiga tahun ini. Sebelum mendaki Jumat pagi, sebenarnya aku sudah mandi. Namun, keringat yang tak henti menetes meskipun udara dingin menyelimuti ini membuat badanku merasa tak nyaman. Ditambah lagi tak mungkin menemukan kamar mandi umum di jalur pendakian dan puncak Gunung Merbabu. Berbeda dengan gunung yang sudah biasa dijadikan obyek wisata seperti Gunung Bromo. Di sepanjang perjalanan pasti akan banyak dijumpai kamar mandi atau toilet umum.
Selesai mandi dan berkemas, kami berpamitan dengan tuan rumah yang rumahnya kami jadikan sebagai basecamp rombongan kami. Oleh-oleh sayur mayur hasil berkebun hendak dibawakan kepada kami, tapi kami menolak. Karena sepertinya kurang memungkinkan untuk kami bawa hingga Jakarta. Mengingat bawaan kami yang sudah sangat banyak, jarak dan waktu tempuh yang cukup panjang akan membuat sayuran tersebut layu dan tak enak lagi untuk dikonsumsi.
Suasana pedesaan lereng Gunung Merbabu masih sangatlah terasa. Masyarakat setempat yang ramah meskipun baru pertama kali bertemu dengan para pendaki yang belum pernah mereka kenal sebelumnya, kerukunan dan gotong royong antar tetangga, dan sikap saling menjaga yang masih sangat lekat. Hal ini terlihat ketika barang-barang yang kami titipkan memang masih aman dan terjaga dengan baik. Tidak ada barang yang hilang ataupun berkurang suatu apa pun. Sikap tolong menolong yang tulus mereka berikan membuat aku kagum.
Jadi, sebelum kembali memulai pendakian, seperti biasa kami mengemas ulang apa saja yang akan kami bawa. Karena cuaca di sekitar lereng terlihat mendung dan katanya memang sering hujan, jadi kami harus membawa rain jas hujan. Selain menjaga tubuh kita agar tetap kering, jas huhan juga menjaga kita untuk tetap hangat dan tidak mudah sakit akibat basah dan kedinginan.
Berhubung tidak ada satu pun yang ingat untuk membawa jas hujan, kami memutuskan untuk membelinya terlebih dulu. Namun saat itu kami ragu, apakah ada yang jual jas hujan di dekat basecamp. Mengingat ini adalah desa kecil di lereng gunung. Kekhawatiran kami pun terjawab. Ternyata tidak jauh dari basecamp terdapat warung yang menjual jas hujan plastik sekali pakai. Karena tidak tahu letak warung penjual jas hujan tersebut, salah satu tukang ojek di sana berinisiatif untuk membantu mengantarkan. Bahkan, tanpa meminta bayaran dan menolak untuk diberikan bayaran. Semoga amal kebaikannya dibalas berlipat ganda oleh Sang Pemberi Rizki.
Setelah sedikit mengenang awal perjalanan kami, akhirnya tiba waktunya untuk kami kembali ke Jakarta dengan rute yang sama. Namun, kali ini kami memilih untuk mengendarai ojek menuju ke Terminal Boyolali untuk mempersingkat waktu perjalanan kami. Tiket langsung kami beli dari agen bus dan kami menunggu agak sore untuk memulai perjalanan kembali ke Jakarta.
Tiba waktunya kami menaiki bus dan bermalam di atas bus. Aku memilih sebangku dengan Indra seperi biasa. Namun, perasaanku kali ini berbeda. Detak jantung berdebar lebih cepat dari biasanya. Pandangan mataku enggan menatap mata Indra, karena rasa malu yang entah datang dari mana. Sikap salah tingkah yang sering kali muncul belakangan ini, membuat malam itu berlalu terasa lebih lama. Sampai di Semarang, kantuk mulai datang menyerang. Rasa lelah yang awalnya tak kurasakan, kini seakan datang bersamaan dan bertumpuk-tumpuk hingga membuat mataku tak mampu lagi terjaga.
Tanpa tersadar aku sudah terlelap. Tidurku sangat nyenyak, terasa nyaman, empuk dan hangat. Padahal seingatku, bus yang kami tumpangi kali ini adalah bus kelas ekonomi meskipun tetap ber-AC. Jadi, seharusnya jok kursinya keras dan ruangannya terasa dingin, tapi yang kurasakan malah berbeda.
Akhirnya, karena merasa penasaran dan rasanya seperti ada yang aneh, aku pun terbangun. Kudapati posisi kepalaku yang ternyata melekat pada pundak Indra. Sambil menatap wajahku, Indra pun tersenyum sambil meledek, "Nyenyak tidurnya? Pegel nih pundak. Gantian dong!" Kudorong lengannya sambil tersipu malu aku berkata, "Enggak mau, berat!"
Malam pun berlalu hingga waktu Subuh tiba. Rombongan kami pun berhasil tiba di Jakarta. Kami memutuskan untuk langsung berpisah karena tempat tinggal kami yang beda arah. Aku bersama Indra meminta turun di dekat terminal Pulo Gadung, sementara Andre bersama Nindi turun di Terminal Kalideres.
Aku dan Indra memesan taxi online. Sebentar kami menunggu, taxi online yang kami pesan akhirnya tiba. Kumasukkan carielku ke bagasi, begitu pun dengan milik Indra. Mobil melaju cukup kencang karena jalanan saat itu masih sangat lenggang. Dan sampailah kami di tempat tujuan.
Kami turun di depan rumahku. Karena rumah Indra tak jauh dari rumahku, dia cukup berjalan kaki setelah mengantarku. Kubuka pintu pagar dengan kunci cadangan yang kubawa. Sebelum sempat aku membuka pintu rumah, Bunda sudah membukakannya untukku.
Kuraih tangan Bunda dan kucium sambil sungkem (bersalaman), "Assalamualaikum, Bun. Kok sudah bangun?" ucap salamku.
"Waalaikumsalam Anakku, akhirnya sampai juga. Alhamdulillah kembali dengan selamat. Terima kasih Nak Indra, sudah menjaga Rena. Iya, ini Bunda baru selesai salat subuh terus dengar ada yang buka pagar. Bunda yakin kalau itu, Rena," jawab Bunda.
Indra kemudian pamit dan segera pulang ke rumah karena sebentar lagi harus bersiap untuk berangkat kerja. Jadi, selain bisnis menyewakan perlengkapan outdoor, Indra juga bekerja di salah satu perusahaan ternama di Indonesia. Hanya saja, jam kerjanya menggunakan sistem pergantian jam atau dikenal dengan istilah shift. Dan kali ini dia masuk shift pagi. "Sama-sama, Tante. Hitung-hitung latihan jadi menantu Om dan Tante. Indra pamit dulu ya, Tan. Salam untuk Om. Wasalamuaikum," pamit Indra.
Aku dan Bunda kemudian masuk ke dalam rumah. Berhubung aku harus masuk kerja, jadi aku tak ada waktu untuk beristirahat terlebih dulu. Aku pun langsung bersiap untuk berangkat ke kantor dan bekerja seperti biasa. Kaki yang masih terasa kaku dan sakit jika ditekuk harus kutahan. Mandi, menyetrika baju, menyikat dan menyemir sepatu, menyiapkan tas dan bawaanku sudah semuanya kusiapkan. Kini saatnya berangkat ke kantor.
Sebelum berangkat ke kantor, aku dan ayah selalu menyempatkan diri untuk menikmati sarapan masakan bunda. Sambil sarapan, aku memulai percakapan tentang apa yang terjadi di Puncak Gunung Merbabu kemarin.
"Ayah, Bunda, Rena mau cerita nih."
"Cerita soal apa, Ren? Soal pendakian Kamu kali ini? Gimana, senang, kan? Enggak terjadi apa-apa kan kemarin?"
"Terjadi sesuatu sih, Bun. Makanya Rena mau cerita ke Ayah sama Bunda," jawabku lirih seakan sedih dan menyesal.
"Kok Kamu ngomongnya gitu? Memangnya terjadi apa selama Kamu ke Merbabu kemarin?" tanya ayah dengan nada meninggi.
Masih seakan bersalah, "Hm ... jadi kemarin pas di Puncak Gunung Merbabu, Indra ... em ... Indra ...."
"Indra kenapa, Nak? Yang jelas dong ngomongnya. Jangan setengah-setengah!" Bunda mulai menunjukkan kekhawatirannya.
"Indra melamar Rena lagi di Puncak Gunung Merbabu," ungkapku sammbil berdiri, tersenyum lebar sambil menunjukkan cincin di jari manisku yang disematkan oleh Indra kemarin.
"Masyaallah, Nak. Bunda pikir ada sesuatu yang tidak diinginkan saat kalian tengah mendaki gunung kemarin. Alhamdulillah kalau kejadiannya malah kejadian yang membahagiakan." Bunda terlihat lega.
"Berarti Kamu menerima lamaran Nak Indra, kan? Jadi, nikahnya mau kapan? Tidak perlu kelamaan, kalau bisa malah bulan depan juga tidak apa-apa."
"Aduh, kok main bulan depan saja sih, Yah. Kan masih banyak yang perlu disiapkan. Konsep acara, sewa gedung, buat undangan, bikin daftar nama siapa aja yang mau diundang, pilih menu chatering, memilih gaun pengantin, memilih tukang make up, dan lain sebagainya."
"Ya kan itu bisa diurus Bunda dan Tante … bisa diatur itu. Semua itu tidak perlu Kamu pikirkan sendiri. Yang penting kalian memang sudah siap untuk menikah."
"Ya … tapi kan ini pernikahan Rena yang pertama dan semoga menjadi yang terakhir. Jadi, mau membuatnya sesuai dengan pernikahan yang Rena impikan selama ini. Rena saja belum menentukan kapannya sama Indra. Nanti dulu lah! Sudah ya, Ayah, Bunda … Rena berangkat ke kantor dulu. Sudah jam segini, nanti Rena telat. Wassalamualaikum Ayah, Bunda."
"Waalaikumsalam Warrohmatullahi Wabarokatuh." Akhirnya aku berhasil menghindar untuk sementara waktu dari topik pernikahan yang Ayah dan Bunda sampaikan kepadaku.