Chereads / Gadis Pendaki / Chapter 18 - Bab 18 Kudaki Merbabu

Chapter 18 - Bab 18 Kudaki Merbabu

Akhirnya, setelah penantian yang cukup panjang, tiba saatnya di hari pendakian. Kali ini, kami mengambil hari di mana Jumat adalah hari libur (tanggal merah). Sehingga, kami bisa memiliki cukup banyak waktu untuk melakukan pendakian, termasuk juga waktu menuju ke jalur pendakian tersebut. Sebab, perjalanan kali ini cukup jauh. Gunung Merbabu berada di Provinsi Jawa Tengah. Lereng Gunung Merapi meliputi tiga wilayah kabupaten, yaitu wilayah Kabupaten Magelang dengan lereng sebelah barat, wilayah kabupaten Boyolali dengan lereng sebelah timur dan selatan, dan wilayah Kabupaten Semarang dengan lereng sebelah utara.

Gunung Merbabu memiliki lima jalur pendakian yang bisa dilalui untuk mencapai puncak Gunung Merbabu, yaitu jalur Kopeng, Cunthel, Selo, Suwanting, dan Thekelan. Dan kami memilih melewati jalur Selo. Sebenarnya aku kurang tahu kenapa kami memilih jalur Selo, hanya saja aku sempat mendengar dari Indra kalau Jalur Suwanting itu lebih terjal dan kalau lewat Selo aku bisa menemukan hamparan sabana yang sudah lama kunanti-nantikan tanpa harus terlalu lelah. Namun, memang dibandingkan dengan jalur pendakian lainnya, aku lebih familiar untuk jalur Selo ini. Lebih sering mendengarnya dari orang-orang yang aku kenal, mereka kebanyakan mendaki Gunung Merbabu melewati jalur Selo ini.

Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Saatnya menuju ke terminal bus untuk melakukan perjalanan ke Kabupaten Boyolali, di mana jalur Selo ini dimulai. Jadi, kami memilih untuk menaiki bus malam, bus besar yang berangkat di malam hari dan tiba di lokasi yang kami tuju di pagi harinya. Awalnya, kami ingin menaiki kereta, tapi karena hari libur nasional jatuh pada hari Jumat alias long weekend, jadi kami kehabisan tiket. Kalah cepat dengan para perantau yang hendak mudik ke kampung halaman mereka.

Selain Gunung Merbabu, dengan melalui jalur Selo pendaki juga bisa mendaki Gunung Merapi. Jadi, ketika kita berada di Gunung Merbabu, kita bisa melihat Gunung Merapi, begitu pun sebaliknya. Ketika kita berada di Gunung Merapi, kita bisa melihat Gunung Merbabu. Warna gunung antara Merbabu dan Merapi dari kejauhan juga berbeda. Kalau Gunung Merbabu terlihat berwarna hijau karena banyaknya sabana, sementara Gunung Merapi terlihat abu-abu kehitaman karena abu vulkanik dari letusan Gunung Merapi itu sendiri. Karena Gunung Merapi memang gunung yang masih aktif sampai saat ini. Sehingga, sering mengeluarkan abunya.

Untuk menuju ke Gunung Merbabu dengan ketinggian 3.145 mdpl ini, kami berhenti di Terminal Boyolali. Kemudian kami berpindah ke bus jurusan Pasar Cepogo. Dan kemudian lanjut lagi menggunakan bus kecil jurusan Pasar Selo. Sebenarnya, biasanya dari Pasar Selo pendaki cukup naik ojek menuju basecamp pendakian, namun kali itu kami beruntung. Bus kami mau mengantarkan sampai dekat dengan basecamp pendakian. Mungkin karena waktu itu penumpang yang mau ke basecamp pendakian cukup banyak, sehinga sekalian saja mereka mengantarkan kami. Walaupun akhirnya ongkos yang harus kami keluarkan sedikit lebih mahal. Namun, lumayan untuk mengurangi rasa lelah.

Kami pun beristirahat sejenak sebelum melanjutkan berkemas untuk persiapan besok pagi melakukan pendakian. Seperti biasa, kami melakukan repacking. Memilah mana barang-barang yang akan dibawa selama pendakian, mana yang akan ditinggalkan. Kebetulan basecamp di sana adalah rumah warga, jadi kami bisa menitipkan barang-barang kami. Yang pasti barang-barang berharga sudah kami bawa.

Sabtu pagi, kami memulai pendakian. Uniknya ada ojek yang bisa kami gunakan untuk menuju pos pertama. Kami yang merupakan kaum rebahan ini pasti memilih memanfaatkan fasilitas ini dengan sangat baik. Baru kali pertama aku naik ojek dengan medan yang menantang seperti ini. Rasanya seperti sedang menaiki motor offroad saja. Seru sih, tapi menegangkan juga pastinya. Luamayanlah berhemat beberapa kilo perjalanan. Memang ojeknya tidak sampai ke pos pertama, tapi mendekati dan sangat mempersingkat waktu dan jarak tempuh kami.

Setelah tiba di Pos 1, perjalanan kami lanjutkan ke Pos 2 dan Pos 3. Di Pos 3 hingga Sabana 1 adalah jalur yang paling berat menurutku. Jalur yang terjal, ditambah dengan rintik hujan yang membasahi tanah membuat kami harus melakukan perjalanan dengan ekstra hati-hati, karena hujan menimbulkan jalur pendakian menjadi sangat licin.

Dengan berjalan penuh kewaspadaan, akhirnya kami berhasil melewati Sabana 1 dan menuju Sabana 2. Dari Sabana 1 menuju Sabana 2 sebetulnya tak begitu jauh, tapi karena hari sudah petang, aku merasa suasananya kian mencekam. Sebenarnya, awalnya kami ragu apakah akan mendirikan tenda di Sabana 1 atau di Sabana 2. Mengingat jarak antara Sabana 2 dan Puncak yang sudah cukup jauh, sehingga jika kami mendirikan tenda di Sabana 1, maka perjalanan kami untuk summit esok pagi akan lebih jauh. Sehingga, berhubung langit masih menampakkan cahayanya meskipun hanya sebagian dan petang sudah mulai datang, maka kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju Sabana 2 untuk mendirikan tenda di sana.

Malam itu sangatlah dingin, angin pun bertiup sangat kencang. Sehingga, kami tak berani berlama-lama di luar tenda. Kami keluar tenda hanya untuk melaksanakan ibadah salat. Karena, meskipun kami melakukan pendakian, kami tidak pernah meninggalkan salat sama sekali. Itu adalah ibadah wajib bagi agama yang kami percayai, agama Islam. Bahkan salah satu tujuanku untuk mendaki gunung adalah agar aku bisa lebih bersyukur dan melihat secara langsung betapa agungnya Tuhanku.

Kami bersepakat untuk beristirahat lebih awal, karena rencananya setelah melaksanakan salat subuh, kami akan langsung memulai perjalanan menuju puncak. Malam itu tak berjalan mulus sesuai harapan. Badai mengusik tidur kami. Tenda kami pun bergetar ke sana kemari kian kencang. Jujur, aku pun sempat merasa ketakutan. Namun beruntungnya, tenda dan cara memasang pasak tenda yang kami gunakan sudah cukup kuat dan aman, sehingga kami terselamatkan dari badai semalam.

Meskipun sulit memejamkan mata, tapi aku harus tidur malam itu agar besok punya cukup tenaga untuk melakukan summit esok hari. Aku pun tertidur karena rasa lelah, meski hati tengah mengucap doa tanpa henti agar Tuhan senantiasa melindungi dan menyelamatkan kami.

Beruntung badai tak berlangsung lama, sehingga kami bisa melakukan summit walau pun di tengah gelap gulita. Masing-masing dari kami membawa senter dan berjanji untuk tidak saling berjauhan selama kembali menyusuri jalur pendakian. Selain itu, hal tersebut juga untuk mengantisipasi kalau-kalau kami berpencar dan tak melihat satu sama lain, dan bisa berakibat malah bergabung dengan rombongan lain. Andre dan Nindi bergandengan tangan. Sementara aku dan Indra, tak seberani itu untuk meniru mereka. Karena agak takut, aku hanya mencoba memegang jaket dia dari belakang. Namun, karena Indra merasa aku akan lebih aman jika berada dalam pendangannya, Indra memintaku untuk berada di depannya. Jadi, aku hanya bisa menurut, karena tahu bahwa dia lebih paham mana yang terbaik untukku.