Chereads / Gadis Pendaki / Chapter 8 - Bab 8 Kehadiran

Chapter 8 - Bab 8 Kehadiran

Malam itu menjadi malam yang sangat mendebarkan bagiku. Sudah berbulan-bulan lamanya setelah pendakian pertamaku di Gunung Gede dan mendengar pernyataan cinta dari Indra. Layaknya pasir di tepi pantai yang setiap saat tergerus oleh ombak dan akhirnya menghilang, kemudian tergantikan dengan pasir lainnya. Itulah memori kala itu yang tertutup oleh memori lainnya, hingga akhirnya terlupakan olehku.

Malam itu seakan membuat semua memori yang telah menghilang tersebut, seakan berbondong-bondong kembali ke tempat asalnya, tempat seharusnya. Kembali ke otakku. Tak seperti malam biasanya, malam itu om Irwan, ayah Indra yang sudah lama tak berkunjung, tiba-tiba mengunjungi rumah kami. Terdengar dari kamarku yang berada di lantai dua, suara Ayah dan om Irwan yang semula gaduh dan ramai karena canda tawa penuh kenangan masa muda, tiba-tiba berubah menjadi hening, seakan diam membisu.

Aku yang kala itu tengah sibuk membaca buku, akhirnya penasaran dan mencoba mencari tahu. Kututup buku yang setebal dua sentimeter itu dengan perlahan, lalu menyekat halaman terakhir yang telah kubaca dan kuletakkan di atas meja kamarku.

Tak butuh waktu lama, aku pun mulai menuruni anak tangga. Perlahan, tapi pasti. Kutatap sofa ruang tamu sambil tetap memperhatikan langkahku. Dan kutemukan sosoknya tengah duduk tenang di antara para orang tua. Orang tuaku dan orang tua Indra. Sosok yang kumaksud tidak lain adalah Indra. Indra Adi Laksana, seseorang yang sempat kuabaikan tetapi tak pernah kulupakan.

Langkah kakiku terhenti, otakku seakan membeku dan tak mampu berpikir lagi. Pikiranku melayang entah kemana, hingga akhirnya ada tangan mungil yang menarik lenganku kemudian menggandengku menuju perbincangan hangat yang tengah berlangsung.

Ku ikuti langkah kaki kecil yang melangkah dengan penuh kelembutan itu. Nia, adik perempuan Indra yang sangat dekat denganku. Dia selalu manja dan menyayangiku layaknya kakaknya sendiri. Bahkan, dia lebih suka bermanja-manja bersamaku ketimbang bermanja-manja dengan Indra, kakak kandungnya.

Teringat kembali saat di mana dia dilahirkan. Tante Widya, Bunda Indra saat itu tengah hamil besar. Karena hamil anak kedua, tante Widya tidak terlalu banyak mengeluh akan kehamilannya kali ini. Berbeda dengan saat beliau hamil Indra, anak pertamanya.

***

Tante Widya mengalami pecah ketuban dan harus segera dilarikan ke rumah sakit. Saat itu om Irwan sedang berada di luar kota, sehingga hanya ada tante Widya dan Indra yang berada di rumah. Terpaksa Indralah yang membawa tante Widya ke rumah sakit.

Kutemani Indra bersama Bunda. Kepanikan tengah terjadi kala itu. Namun, itu tak berlangsung lama. Karena rumah kami dekat dengan rumah sakit, tak butuh waktu lama untuk kami sampai di rumah sakit dan tante Widya bisa segera mendapatkan penanganan dokter dan pihak medis.

Tuhan menolong kami, menyelamat tante Widya dan bayi mungil yang sangat cantik. Gadis mungil cantic itu berhasil lahir ke dunia dengan selamat. Nia Anissa, nama cantik yang diberikan kepada bayi tersebut adalah usulan dariku. Karena di antara semuanya, aku yang paling antusias untuk menantikan kehadirannya. Entah kenapa, aku merasa akan memiliki seorang adik ketika tante Widya hamil. Harap maklum, aku yang anak tunggal ini sedang menantikan kehadiran seorang adik yang tak kunjung hadir dalam hidupku.

***

Setelah berada di antara para orang tua yang terlihat sedang serius berbicara, aku memilih untuk duduk diam sambil mencoba mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Saat itu firasatku sudah mengarah ke pemikiran bahwa Indra sedang mencoba meminangku. Namun, aku masih mencoba menepisnya dan menyimak percakapan para orang tua dengan hati gelisah dan detak jatung yang lebih kencang, bahkan lebih cepat dari biasanya.

Tiba-tiba aku teringat sosok Niko. Cinta dan pacar pertamaku. Anehnya, ketika aku mengingat sosok Niko, aku tak berharap bahwa yang saat itu berada di hadapan ayah dan ingin meminangku adalah dia, bukan Indra. Karena selama ini aku cukup mengenal Niko yang masih belum punya nyali untuk meminangku. Jangankan meminang, bertemu kedua orang tuaku saja dia enggan. Dan mungkin itu semua juga berkat perasaanku yang dulu telah hilang, berganti dengan rasa yang sudah tak sama seperti dulu lagi.

Benar saja, hingga ujung percakapan yang kudengarkan akhirnya ayah bertanya kepadaku. "Bagaimana, Nak? Apakah Kamu bersedia dipinang oleh Nak Indra? Kalo Ayah dan Bundamu ini sih, terserah Rena saja. Karena yang menjalankan nantinya kan Rena. Bukan Ayah, bukan juga Bunda."

Aku sejenak terdiam, lalu bersuara dengan agak pelan. "Apa harus dijawab sekarang, Yah? Rena masih bingung harus menjawab bagaimana, karena selama ini Rena belum pernah berpikir untuk menikah secepat ini. Apa lagi dengan Indra yang selama ini sudah sangat dekat dengan Rena. Bahkan, sudah kuanggap seperti kakak Rena sendiri."

"Ya bagus dong, Nak! Jadi, Kamu juga sudah sangat mengenal betul bagaimana Nak Indra dan keluarganya. Bahkan, sudah bisa membayangkan bagaimana nantinya Nak Indra akan memperlakukanmu selama menjadi istrinya. Toh, Ayah dan Bunda juga sudah mengenal betul menenai Nak Indra dan keluarganya." Bunda mulai berbicara dan mengeluarkan pendapatnya aku harus berpikir bagaimana.

"Ya … mau dijawab sekarang atau kapan, silahkan saja. Kamu sama Nak Indra bicarakan sendiri saja sana di belakang. Yang pasti Ayah tahu kalau sekarang Kamu tidak sedang dekat dengan laki-laki lain, jadi Aku terima saja Nak Indra sebagai calon menantu Ayah dan Bunda. Hanya belum tahu, apakah nanti Rena mau menerima Nak Indra menjadi calon suaminya atau tidak. Silahkan saja kalian berdua yang memutuskan. Selamat berjuang untuk mendapatkan hati Rena, anak semata wayangku ya, Nak Indra."

"InsyaAllah Om, Indra yakin pasti bisa memenangkan hati Rena, anak tersayang Om dan Tante ini untuk menjadi Ibu dari anak-anak Indra kelak," balas Indra yakin.

Bunda pun menyahut, "Nak Indra ini, belum-belum udah ngomongin anak."

Gelak tawa suka cita pun mencuat, meramaikan suasana malam yang sempat hening beberapa saat. Aku dan Indra berpindah dari ruang tamu menuju ruang tengah. Ruang yang biasa keluarga kami gunakan untuk berbincang santai sambil menonton televisi.

"Kok tiba-tiba begini sih, bikin kaget, tahu! Bikin perasaan campur aduk enggak karuan. Kan habis dari Gunung Gede kita juga sudah enggak pernah ketemuan dan membahas soal pernyataan cintamu waktu itu. Duh, aneh gini ya ngomongin soal cinta-cintaan sama Kamu. Soalnya dulu kan Aku yang sering dititipin surat cinta, lalu membacakan surat-surat cinta itu ke Kamu. Surat cinta dari para penggemarmu waktu jaman sekolah dulu."

"Kamunya yang enggak pernah peka. Sudah tahu setiap dapat surat sama kado dari cewek-cewek itu Aku cuek, bahkan Aku kasih ke Kamu, tetep saja Kamu capek-capek membacakannya buatku. Siapa suruh? Toh, Aku bersikap begitu karena enggak bakalan ada cewek lain yang bakalan bisa menggantikanmu untuk mengisi hatiku. Kamunya sih yang enggak pernah peka," balas Indra yang malah mengatakan bahwa selama ini aku tidak peka.