Setelah mengalami kecelakaan dan patah tulang kaki, aku pun kesulitan untuk berangkat dan pulang kuliah sendiri. Bogor dan Jakarta adalah jarak yang tidak dekat dengan kondisi kakiku yang seperti sekarang. Awalnya, Ayah dan Bunda menyarankan untuk ambil cuti saja. Namun, karena sudahmenjelang kahir semester, rasanya sayang sekali jika aku harus melakukannya. Sehingga, mau tidak mau, aku harus tetap menjalaninya.
Niko tahu betul tentang kondisiku sekarang, sehingga dia siap membantuku bagaimana pun caranya. Untuk itu, aku memutuskan untuk menyewa kamar indekos dekat kampus, sehingga tak butuh terlalu banyak tenaga dan waktu untuk aku menuju ke kampus. Semula, Ayah dan Bunda sangat ragu. Terlebih, mereka merasa tidak bisa menemaniku selama di Bogor. Bunda hanya sesekali bisa menginap dan mengurusku selama di Bogor karena kesibukannya, sehingga ada waktu di mana aku harus benar-benar melakukannya sendiri.
Karena aku tidak ingin mereka curiga atas hubunganku dengan Niko, aku tidak ingin mereka tahu bahwa sebenarnya Niko telah menawarkan bantuan untukku. Dia siap mengantar jemputku selama berangkat dan pulang kampus. Sejak saat itulah secara tidak langsung aku mulai merasa ketergantuan untuk mendapatkan pertolongan dari dirinya.
Dari hari ke hari, kami semakin dekat. Bahkan, ketika tiba saatnya aku control ke rumah sakit dan dijemput oleh Ayah dan Bunda, dia ikut membantu. Aku yakin, sebenarnya Ayah dan Bunda sempat curiga dengan kedekatan kami, tapi aku selalu meyakinkan mereka bahwa hubunganku dengan Niko tidak lebih dari sekedar teman kampus dan rekan satu organisasi sebagai seorang ketua dan sekretaris divisi.
"Nak, terima kasih selama ini telah membantu Rena selama di tinggal di sini. Maaf, jika Rena banyak merepotkanmu.
"Sama-sama Tante, sudah sewajarnya Saya sebagai temannya membantu. Tidak hanya Saya, teman-teman lainnya pun ikut membantunya secara bergantian. Tante dan Om tidak perlu khawatir."
"Benarkah? Kupikir selama ini hanya Kamu yang sering membantu Rena. Karena setiap Om dan Tante kemari, kami hanya melihatmu."
"Tidak kok, Tante. Teman-teman lain juga secara bergantian ketika Saya tidak bisa membantu Rena, mereka datang kemari. Kebetulan saja saat Om dan Tante datang, yang bisa menemui hanya Saya."
"Oh, begitu rupanya. Syukurlah kalau begitu. Itu artinya banyak yang sayang dengan Rena, anak kami."
Niko sengaja tidak ingin terlalu terlihat menonjol di depan Ayah dan Bunda. Karena jika itu terjadi, dia takut mereka akan mencurigainya dan bisa jadi meminta Niko menjauh dariku. Untung saja sepertinya Ayah dan Bunda percaya dengan penjelasan dari Niko.
Kami pun pergi meninggalkan Niko sendiri. Dia terlihat lega karena berhasil menghilangkan kecurigaan orang tuaku. Padahal, sebenarnya aku sendiri tidak yakin bahwa mereka benar-benar tidak pernah menaruh curiga terhadap hubungan kami berdua. Namun, setidaknya baik Ayah maupun Bunda tidak pernah sekali pun mengatakan padaku untuk tidak dekat-dekat dengan Niko.
"Bagaimana perkembangan kondisi kakiku, Dok?" Saat melakukan pengobatan dan terapi, aku selalu tidak sabar mendengar penjelasan dari dokter tentang kondisi kesehatanku sekarang.
"Sudah cukup membaik, kok. Kamu harus rutin minum obat juga jangan malas berlatih, ya. Rena harus terus semangat. Karena, Rena kan masih sangat muda. Sehingga, dibandingkan dengan pasien dengan usaha yang lebih tua darimu, Rena masih sangat beruntung. Karena pemulihan Renak pasti akan jauh lebih cepat dari mereka. Jadi teruslah bersemangat dan optimis."
"Baik, Dok. Terima kasih atas motivasi yang telah Dokter berikan kepada Saya. Saya pun sudah sangat lelah menggunakan kursi roda dan tongkat setiap kali ingin berpindah tempat. Belum lagi kesulitan dalam melakukan semua aktivitasku sendiri. Jadi, Aku benar-benar ingin segera sembuh."
"Bagus! Saya suka dengan semangat Rena. Kalau begini terus, bisa jadi, Kamu akan bisa sembuh lebih cepat dari yang telah diprediksi." Ucapan dokterku semakin membakar semangatku. Aku pun tidak lagi merasa berkecil hati, melainkan lebih banyak bersyukur. Karena perkembanganku sudah cukup baik. Terlebih, dokter mengatakan bahwa umurku yang relatif masih muda, membuat pemulihanku berjalan lebih cepat daripada orang yang lebih tua dariku, dengan kondisi yang sama.
"Dengarkan apa kata Dokter? Jadi, mulai sekarang Ayah dan Bunda tidak ingin mendengar Rena mengeluh sama sekali. Rena harus bisa berpikir positif secara terus menerus agar bisa segera smebuh."
"Iya, Bunda. Terima kasih selalu ada untuk memberi Rena semangat untuk bisa sembuh. Pasti Ayah dan Bunda sangat sibuk, tapi Ayah dan Bunda selalu menyempatkan waktu untuk menemaniku terapi dan menjalankan pengobatan."
"Sudah tanggung jawab kami sebagai orang tua untuk menjaga dan merawatmu. Sehingga, Kamu tidak perl berpikir macam-macam seperti itu. Kamu hanya harus berjanji bahwa Kamu akan segera sembuh dan tidak akan menyerah dengan keadaan. Karena selalua da Ayah dan Bunda yanga ada di sisimu. Sayang, baik-baik ya selama tidak tinggal di rumah. Sebenarnya, kami sangat khawatir Kamu tinggal di Bogor sendirian, tapi mau bagaimana lagi, sepertinya memang itulah jalan terbaiknya."
Kedekatanku dengan Niko sejak saat itu mulai berkembang, tanpa sepengetahuan Ayah dan Bunda. Bahkan, ketika Aku sudah beranjak sembuh dan sepertinya sudah bisa melakukan semuanya sendiri, Niko masih saja berinisiatif untuk membantuku. Sehingga, terkesannya sekarang bukan lagi membantu, melainkan dia sedang memanjakanku.
Akhirnya, hatiku pun mulai luluh dan berpikir, apakah sebaiknya aku mulai membuka hati untuknya. Untuk apa aku terus menutup hati, padahal sepertinya secara tidak langsung aku telah memberinya kesempatan untuk lebih dekat denganku. Sejak saat itu, aku sendiri bingung dengan sikap yang harus kuambil. Apakah aku akan terus bersikap dingin kepadanya, atau sebaliknya. Aku harus bersikap hangat kepadanya yang selama ini telah banyak membantu dan memberikan perhatian lebih untukku.
Memang karena sebuah kebiasaan, perasaan bisa muncul begitu saja secara alami. Namun, aku masih belum yakin sepenuhnya aku harus bersikap bagaimana. Aku tidak ingin mengecewakan kepercayaan Ayah dan Bunda yang selama ini mereka berikan kepadaku. Namun, tentu saja sulit mengabaikan kebaikan yang selama ini Niko berikan untukku. Meskipun aku tahu, Niko tidak pernah memaksakan perasaanku kepadanya.
Seharusnya, Niko sudah cukup bisa mengartikan sikap dinginku yang sampai sekarang kutujukan untuknya. Namun, meskipun demikian sebisa mungkin aku tidak menyakiti hatinya. Walau aku sendiri tidak tahu bagaimana perasaan Niko yang sebenarnya di dalam lubuk hatinya. Aku hanya bisa berharap bahwa Niko tidak akan tersinggung dan masih tetap bersikap baik kepadaku.
Jujur, aku merasa malu karena bersikap seenaknya terhadap Niko. Seakan-anak aku bertindak seenaknya terhadap Niko dan memanfaatkan dirinya karena perasaan yang dia berikan untukku. Namun, tentu saja itu semua tidak benar. Dan aku harap, Niko pun bisa tahu bahwa aku sama sekali tidak ada maksud buruk terhadapnya.