Tak terasa, satu semester sudah berlalu. Selama kurang lebih enam bulan, aku telah banyak merepotkan banyak orang, terutama Niko. Selama aku membutuhkan banyak bantuan karena patah tulang di kakiku, Dito selalu siap sedia untukku.
Padahal, aku selalu menjaga jarak dengannya. Namun, dia begitu sabar membantuku yang sangat merepotkan ini. Orang-orang sering meledek kami ketika kami sedang bersama. Rasanya orang lain mengira, kami sudah jadian. Padahal, hal itu tidak pernah terjadi di antara kami.
Sebenarnya, aku cukup tahu tentang bagiamana perasaan Niko yang sebenarnya terhadapku. Namun, selama ini aku hanya pura-pura tidak tahu saja. Hari ini gips di kakiku akan di lepas. Awalnya Niko ingin menemaniku, tapi karena tidak ingin terlalu dicurigai oleh Ayah dan Bunda, dia mengurungkan niatnya.
"Maaf, ya … Aku tidak bisa menemanimu ke rumah sakit."
"Untuk apa Kamu merasa bersalah dan meminta maaf kepadaku? Aku yang seharusnya minta maaf karena selama ini telah banyak merepotkanmu."
"Aku tidak pernah merasa direpotkan olehmu. Jadi, tak perlu sungkan begitu. Em … kalau gitu, Aku pamit dulu ya. Kabari Aku setelah Kamu kembali. Karena ada yang ingin Aku sampaikan kepadamu."
"Memangnya kenapa tidak Kamu sampaikan sekarang saja?"
"Tidak … momennya kurang tepat. Sudah, sana siap-siap. Keburu Om dan Tante datang. Aku cabut dulu, ya. Enggak enak kalau nanti mereka melihat." Niko pun pergi dan meninggalkanku di rumah indekosku. Benar saja, tidak butuh waktu lama, Ayah dan Bunda sudah tiba di tempatku.
"Bagaimana, Sayang … sudah siap?"
"Sudah, Bun. Yuk!" Aku tak sabar ingin segera melepas gips di kakiku. Akhirnya, setelah penantian panjangku, aku bisa berjalan dan berlari seperti semula.
"Bagaimana perasaanmu, Sayang? Pasti jantungmu sedang berdetak kencan, sekarang?" Bunda menanyakan tentang perasaanku.
"Tentu saja, Ma. Coba bayangkan, sudah berbulan-bulan Aku tidak bisa melakukan aktivitas sehari-hariku tanpa bantuan orang lain. Betapa merepotkannya Aku bagi mereka."
"Tidak, Sayang … jangan berpikir begitu. Mereka seperti itu, karena mereka sayang sama Kamu. Jadi, mereka tidak akan merasa direpotkan olehmu, tidak sama sekali. Sebagai gantinya, usaha keras mereka selama ini, jadikanlah sebagai alasan untuk dirimu semakin bersemangat untuk sembuh."
"Iya, Ma. Maaf ya, Bun … Rena banyak merepotkan Ayah dan Bunda juga."
"Tidak, Sayang … sama sekali tidak. Sudah kewajiban kami untuk menjaga dan merawatmu sepenuh hati."
Ketika sudah tiba di rumah sakit, dokter langsung menangani kakiku. "Sudah siap? Tidak perlu tegang begitu. Santai saja, ya. Tarik napas … hembuskan! Tahan … sabar sebentar, ya." Dan gips dan penyangga kakiku pun berhasil dilepaskan.
Dokter memintaku berjalan secara perlahan untuk memastikan apakah kakiku sudah benar-benar pulih dan bisa berfungsi kembali sebagaimana mestinya. Bunda berusaha membantuku, tapi aku takut dia tidak terlalu kuat untuk menopangku. Akhirnya, aku minta Ayah yang dari tadi lebih banyak diam. Sepertinya ada sesuatu hal yang Ayah sedang pikirkan. Wajahnya menunjukkan sebuah kekhawatiran.
"Ayah, bantu Rena, ya? Rena baik-baik saja, kok. Ayah tidak perlu khawatir." Memang benar kata orang bahwa seorang ayah tidak bisa mengekspresikan perasaannya dengan baik. Mereka lebih banyak memendam semuanya sendiri dan tidak ingin membaginya dengan orang lain. Aku tahu Ayah seperti tidak terlalu peduli terhadap kondisiku, tapi saat itu juga aku tahu bahwa aku cukup mengenal ayahku. Dan memang begitulah dia, selalu berusaha memendam semuanya sendiri. Ayah tidak ingin orang lain mengetahui perasaannya yang akan mengakibatkan dirinya bisa menimbulkan kesedihan tersendiri bagi mereka.
Aku senang melihat Ayah begitu perhatian dan menyayangiku. Meskipun Ayah sangat sibuk, tapi dia selalu meluangkan waktu untuk diriku. "Pelan-pelan, Rena. Jangan mentang-mentang Kamu sudah bisa jalan lagi, jadi jalannya cepat-cepat begini." Sudah kuduga, Ayah memang sangat mengkhawatirkanku.
"Bagus, Rena sudah bisa beraktivitas seperti sedia kala. Selamat, ya!" Dokter telah menyatakan bahwa kakiku sudah sembuh. Dengan begitu, aku sudah tidak perlu lagi menjalankan pengobatan seperti sebelumnya dan harus kembali tinggal di rumah lagi.
Sejak awal, Ayah dan Bunda hanya berniat membiarkanku tinggal di indekos dekat kampus karena keadaan kakiku. Sehingga, setelah kakiku sembuh, jadi aku pun harus kembali tinggal bersama mereka lagi. Antara senang dan sedih, aku senang karena bisa tinggal bersama Ayah dan Bunda lagi, tapi aku juga sedih karena sepertinya mulai sekarang aku tidak akan bertemu dengan Niko sesering dulu.
Entah kenapa, tiba-tiba aku merasa takut kehilangan. "Jangan-jangan, karena sudah terlalu sering bersama, Aku mulai jatuh hati kepadanya? Tidak, tidak … itu tidak mungkin terjadi." Aku berbicara sendiri dalam hati.
Sepanjang perjalanan pulang, aku terus memikirkan Niko. Tiba-tiba aku ingat bahwa dia ingin mengatakan sesuatu padaku. Aku jadi penasaran, sebenarnya apa yang ingin dia katakan sampai-sampai aku harus menunggu. Apa boleh buat. Mau tidak mau, aku harus bersabar sampai bisa bertemu lagi dengannya.
Saking aku kepikiran tentang Niko. Bisa-bisanya dia muncul di dalam mimpiku. "Aduh, kalau begini caranya, Aku bisa gila. Kok bisa Aku memikirkan Niko sampai begininya? Tahan Rena, tahan … Kamu tidak boleh suka padanya. Untuk apa Kamu berharap. Sudah jelas-jelas Ayah dan Bunda melarangku untuk berpacaran."
Malam itu, aku hanya bisa menenangkan diriku sendiri dan berusaha berpikir jernih. Mungkin aku hanya merasa kehilangan, karena memang selama ini Nikolah yang paling sering membantu dan menemaniku selama tinggal di Bogor. Rasanya perasaanku sedang tak menentu. Di sisi lain aku terus berusaha menampik bahwa aku memiliki perasaan terhadap Niko, tapi di sisi lain aku tidak ingin kehilangan perhatian dia yang selama ini kudapatkan.
Ketulusan Niko semakin hari ke hari membuatku semakin luluh dan ingin memberikannya sebuah kesempatan. Namun, aku masih takut untuk mengkhianati kepercayaan kedua orang tuaku. Orang-orang mulai ramai membicarakan hubungan kami. Terkadang aku merasa tidak tega melihat Niko dipandang sebagai laki-laki odoh yang selama ini sudah kurepotkan dan kumanfaatkan seenaknya.
Meskipun Niko selalu memitaku untuk tidak mendengarkan ucapan dari orang-orang tentang hubungan kami, tapi aku sama sekali tidak bisa mengabaikan ucapan orang-orang tersebut. Terkadang aku berpikir, mungkin gara-gara aku perempuan yang ingin dekat dengan Niko jadi semakin ragu untuk mendekat.
Namun, di sisi lain aku juga senang karena itu artinya Niko akan terus berada di sampingku dan tulus menemani dan membantuku. Betapa egoisnya diriku, tapi aku tidak sedang berusaha memaksakan kehendak kepadanya. Aku hanya memanfaatkan peluang yang ada, tanpa berpikir jahat terhadap Niko.
Niko orang yang baik. Aku harap dia akan mendapatkan balasan dari Tuhan tentang kebaikan yang selama ini dia berikan kepadaku. Semoga Niko bisa mendapatkan apa yang dia inginkan di masa depan dan selalu bahagia.