Malam ini Aku ingin tidur cepat. Lampu sudah kumatikan, selimut sudah kutarik. Suasana indekos sudah cukup sunyi. Sangat mendukung untukku tidur terlelap. Aku sudah merapikan hampir semua barang-barangku selama tinggal di Bogor. Namun, rasanya pekerjaanku untuk membungkus dan merapikannya belum juga selesai.
Setidaknya aku sudah bisa lebih mudah untuk membereskannya berkat kakiku yang sudah sembuh. Senangnya, aku sudah bisa lagi berlari ke sana kemari sesuka hati. Baru sekitar sepuluh detik aku terlelap, tapi pintu kamarku sudah ada yang mengetuk.
"Siapa sih malam-malam begini ketuk-ketuk pintu? Ganggu orang tidur saja." Betapa kagetnya aku, ketika melihat Niko sudah berada di depan kamarku. "Kok Kamu bisa ada di sini?" Indekosku adalah indekos khusus perempuan. Sehingga, seharusnya tidak boleh ada laki-laki yang masuk ke sana.
"Bisa dong, Kak … demi cinta, apa sih yang enggak bisa?" kata pemilik kamar sebelahku. Sepertinya, Niko berhasil membujuk teman indekosku untuk membantunya memberikanku kejutan malam ini.
"Jadi, apa yang mau Kamu lakukan di sini?"
"Sabar, dong … kalau Kamu terus berbicara, rasanya momen romantisnya akan hilang begitu saja."
"Baiklah, Aku tidak akan merusak momen dan hanya ingin menunggu tindakan apa yang akan Kamu lakukan." Sebenarnya aku sangat senang melihat Niko ada di sini. Terlebih, dia sudah sangat berjuang sampai-sampai meminta bantuan dari teman-temanku lainnya. Kuakui, dia hebat dalam menunjukkan usaha kerasnya.
"Ren, Aku tahu bahwa sebenarnya Kamu sudah tahu bagaimana isi hatiku. Selama ini, meskipun Aku telah berusaha cukup keras, tetapi sepertinya Kamu masih tetap bersikap dingin kepadaku. Meskipun demikian, perasaanku padamu tidak berubah. Aku masih tetap menyukaimu, sama seperti sejak pertama kali kita bertemu. Bahkan, perasaan itu semakin kuat. Oleh sebab itu, maukah Kau jadi pacarku?"
Sumpah, aku tidak mengira akan mendapatkan pernyataan cinta seperti ini. Di belakang Niko, teman-temanku membawa lilin satu persatu. Lalu, saat Niko mulai berlutut di hadapanku, mereka mulai menjauh dan membentuk formasi hati. Aku belum sempat menjawab pertanyaan Niko, tapi dia sudah berpindah di antara teman-temanku. Niko mengeluarkan sebuah gulungan dari tas tabung yang biasa digunakan untuk tempat kertas desain gambar yang sudah sejak tadi dicangklongnya.
Dia pun membuka gulungan tersebut yang ternyata bertuliskan hal yang sama yang telah dia ucapkan kepadaku. Tak lama kemudian, dia mengeluarkan sebuah spidol dari saku celananya dan memintaku untuk memberikan jawaban dengan menulis di atas sana. Jujur, aku sangat senang mengetahui perasaan Niko yang sebenarnya terhadapku. Namun, di balik rasa senang itu, muncul keraguan untuk menerimanya karena harapan orang tuaku untuk aku tidak berpacaran dulu sebelum lulus kuliah.
"Sudah, tunggu apa lagi? Terima saja!" teriak teman-temanku yang berada di sekeliling Niko.
Hembusan nafas panjang telah kukeluarkan. Aku mulai melangkahkan kakiku menuju kea rah tempat Niko berdiri. Aku mulai menulis jawaban dariku. Aku sangat berharap semoga jawabanku tidak salah.
Semua orang begitu menantikan jawaban dariku. Mereka terlihat begitu cemas, karena memang sikapku selama ini masih cukup dingin dan terkesan membatasi diri terhadap Niko. Padahal, kami sudah sering bersama dan dia hampir selalu membantu di setiap kesulitanku.
"Ya." Hanya itu yang kutulis dan kuucapkan secara langsung di hadapan Niko. Semua orang bersorak karena ikut bahagia atas hari jadian kami. Niko terlihat seperti tak menyangka atas apa yang dia dapatkan. Dia masih berpikir bahwa aku akan menolaknya. Sehingga, daripada bersiap untuk kuterima, sepertinya dia lebih siap untuk kutolak.
"Selamat!" sorak teman-temanku. Aku hanya bisa tersipu malu karena sebenarnya masih cukup ragu bertindak seperti ini.
"Karena misi kita malam ini sukses, bagaimana jika Aku traktir kalian makan?" Sebagai ucapan terima kasih dan perayaan hari jadian kami, Niko pun mentraktir teman-temanku yang telah membantunya. Saat kami sedang makan bersama itulah, mereka menceritakan bagaimana usaha Niko yang telah bersusah payah memohon kepada mereka untuk mau membantunya.
Dia diledek habis-habisan oleh mereka, sampai-sampai dia terlihat sangat malu. Aku bersyukur, ternyata Niko yang sekarang sudah menjadi pacaraku sudah terlebih dulu dekat dengan mereka. "Oh iya, teman-teman … sekalian saja, ya. Mumpung kita sedang berkumpul, Aku mau pamit. Karena, sepertinya minggu depan Aku sudah tidak tinggal lagi di rumah kos kita."
"Yah, kok pindah sih? Memangnya kenapa? Kita ada salahkah ke Kamu? Kalau iya, maafin dong!"
"Iya, perasaan kita baru mulai dekat, kok Kamu malah mau pindah sih, Ren?"
"Maafin Aku, ya. Pasti selama ini Aku banyak salah ke kalian. Sering merepotkan, sering menyendiri di kamar. Jujur, sebenarnya sudah dari dulu Aku juga ingin dekat dengan kalian, tapi karena keadaan … Aku jadi enggan ke mana-mana."
"Iya, kami paham kok. Kamu enggak ada salah sama sekali ke kita. Malah kita yang banyak salah ke Kamu karena tidak banyak membantu juga selama Kamu tinggal di sana. Sepertinya, alasan orang tua menjadi penyebab Kamu akan keluar dari tempat kita, ya?" tebak temanku.
"Betul sekali. Aku memang keluar dari sana karena permintaan Ayah dan Bunda untuk Aku kembali pulang ke rumah. Memang sejak awal, kalau bukan karena kakiku patah, Ayah dan Bunda tidak akan mengizinkan Aku tinggal sendirian di Bogor."
Setelah mendengar penjelasanku, teman-teman mau mengerti. Sementara, Niko sedang asyik makan sambil sesekali memandangku sambil senyum-senyum. Sepertinya dia masih tidak menyangka bisa jadian denganku. Terpancar sekali dari raut wajahnya bahwa dia begitu senang kami jadian. Aku juga merasa senang telah jadian dengan Niko. Namun, sebenarnya aku masih takut dan bingung, bagaimana menceritakan hal ini kepada Ayah dan Bunda nantinya.
Saat aku dan yang lain kembali pulang ke indekos, Niko ikut mengantarkan. Ketika teman-teman yang lain mulai masuk ke dalam, aku tetap tinggal untuk pamit kepada Niko dan berbicara sebentar dengannya. "Masuklah!" kata Niko membiarkanku masuk.
"Enggak, memang Aku mau ngomong dulu sama Kamu."
"Mau ngomong apa? Soal Kamu senang hari ini? Aku jauh lebih senang, karena Kamu telah menerimaku." Sebenarnya, aku tidak ingin merusah momen bahagia yang sedang dirasakan oleh Niko, tapi dia harus tahu tentang hal ini sejak awal.
"Aku memang senang kita sudah jadian, tapi Aku juga mau minta maaf sama Kamu."
"Minta maaf soal apa?"
"Maaf, ya … karena sepertinya Aku tidak bisa menunjukkan hubungan kita yang sebenarnya ini kepada Ayah dan Bunda."
"Oh, kalau masalah itu, sejak awal Aku sudah tahu kok. Makanya, Aku pikir Kamu akan menolakku. Salah satunya yak arena alasan itu."
"Syukurlah kalau Kamu tahu. Em … kalau begitu, Aku masuk dulu, ya?"
"Tunggu sebentar!" Niko berusaha menahanku. Dia mengeluarkan sebuah kotak dari motornya, lalu diberikan kepadaku.
"Apa ini?"
"Hadiah dan teman ketika bosan." Ternyata saat aku buka setelah tiba di kamar, isinya adalah cokelat dan kacamata baca anti radiasi. Dalam kotak tersebut, dia mengatakan bahwa setiap memakai kaca mata itu, dia berharap aku merasa dia selalu menemani dan berada di sampingku. Memang ada saja yang Niko lakukan untukku.
Momen-momen yang telah terlewati di awal jadiankku bersama Niko memang cukup sulit kulupakan. Terlebih, dia adalah cinta pertamaku. Namun, karena seiring dengan berjalannya waktu, aku pun bisa sedikit demi sedikit melupakannya karena sebuah keharusan dan keterpaksaan. Agar rasa sakit dan kekecewaan atas hubunganku di masa lalu tidak terus terjebak di masa lalu. Namun, ketika masa lalu itu datang kembali, perasaan rindu pun mulai menampakkan lagi wujudnya.