Chereads / Gadis Pendaki / Chapter 13 - Bab 13 Sponsor

Chapter 13 - Bab 13 Sponsor

Aku menuju stasiun kereta untuk menemui Niko. Kami akan berdiskusi lebih lanjut tentang progres sponsor yang telah kami ajukan hari itu dan akan menyusun rencana ke depan. Stasiun sudah mulai dekat, laju motorku mulai melambat. Aku harus berputar arah untuk menunggu Niko di tempat yang aman dari lalu lalang orang. Sehingga, akan lebih mudah bagi Niko temukanku.

"Brak!" Motorku dihantam oleh pengendara lain dari belakang. Badanku terlempar ke aspal, lalu aku tak sadarkan diri.

Aku tak ingat apa pun, hanya mengingat kejadian itu saja. Ketika aku membuka mata, kulihat langit-langit rumah sakit dan tirai penyekat. Kemudian, kudapati ada seseorang yang tengah duduk tertidur disampingku, sambil menggenggam tanganku. Niko, lelaki yang selama ini kuacuhkan, tapi selalu berusaha keras meluluhkan hatiku.

Sekitar satu menit setelah aku sadar, dia bangun dari tidurnya yang lelap. Dia terlihat sangat letih dan tak bertenaga. "Kamu sudah sadar?" tanya Niko padaku. "Alhamdulillah, akhirnya Kamu siuman juga." Niko terlihat lega setelah melihatku terbangun setelah sempat tak sadarkan diri.

"Iya, Aku di rumah sakit ya?"

"Iya, tadi Kamu kecelakaan di depan stasiun. Untung Aku tahu kalau yang kecelakaan itu Kamu. Jadi, Aku langsung mengantarmu ke rumah sakit."

"Wah, terima kasih kalau gitu, tapi Ayah Bunda pasti khawatir. Sampai malam begini, Aku belum sampai rumah dan belum kasih kabar juga."

"Kebetulan tadi Aku dengar HP-mu berdering. Pas Aku lihat, ada nama Bunda. Jadi, Aku langsung angkat saja. Maaf kalau Aku lancang."

"Jadi, Ayah Bunda sudah tahu kalau Aku kecelakaan dan sedang berada di rumah sakit ini?"

"Iya, Bunda Kamu sedang mengurus administrasi. Sedangkan Ayah Kamu katanya sedang di luar kota, ya?"

"Iya, Ayah memang sedang berada di luar kota. Tapi, kok kakiku sakit banget ya mau kugerakin?"

"Hm ... kata dokter sih kaki Kamu butuh waktu cukup lama untuk bisa pulih seperti sebelumnya."

"Hah? Memang kakiku, kenapa?"

"Kurang tahu ya, karena dokter bilang Kamu perlu di rontgen untuk tahu keadaan kakimu yang sebenarnya. Sepertinya besok jadwal Kamu untuk rontgen." Karena syok mendengat penjelasan dari Dito, Aku pun menarik tanganku yang sedang dipegang Niko.

"Eh, maaf. Kamu enggak perlu sedih, pasti Kamu bisa segera sehat kembali kok. Yang penting fokus aja sama pemulihanmu. Nanti, urusan sponsor dan lain-lain biar Aku dan anak-anak lain yang mengambil alih dan mengerjakannya," ucap Niko berusaha menenangkanku.

Selang beberapa menit kemudian, Bunda datang. Niko pamit untuk kembali ke rumah indekosnya yang berada di Bogor. "Tante, Saya pamit dulu ya. Sudah malam, takut tidak kebagian kereta."

"Iya, Nak. Terima kasih banyak Nak Niko, sudah bantu menjaga Rena. Hati-hati di jalan."

"Iya, Tante. Sama-sama. Sudah semestinya Saya membantu Rena. Kan Rena kecelakaan juga pada saat mengurus sponsor kegiatan organisasi di kampus."

"Ren, Aku pulang dulu, ya. Semangat dan semoga lekas sembuh. Wassalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam Warrohmatullahi Wabarokatuh."

"Siapa itu? Niko ya namanya? Dia itu siapanya Kamu? Ayo ngaku," ledek Bunda.

"Ye ... orang bukan siapa-siapanya Rena, Bun. Cuma ketua divisi Humas saja di organisasi jurusan."

"Yakin, cuma sebatas hubungan ketua sama sekretaris saja? Tidak lebih? Biasanya ketua sama sekretaris ujung-ujungnya menjalin asmara, lo … alias Cinlok."

"Hadeh, Bunda mah kebanyakan nonton sinetron saja itu."

"Awas ya kalau main pacar-pacaran, ingat kan pesan Ayah Bunda. Tidak usah pacaran dulu. Minimal setelah wisuda baru boleh pacaran. Langsung nikah saja lah, kan asyik tuh pacaran setelah menikah. Seperti Ayah dan Bundamu ini."

"Rena ingat kok. Rena juga sudah janji ke Ayah Bunda untuk tidak pacaran dulu sebelum lulus kuliah."

"Sip, bagus itu!"

"Bun, kaki Rena kenapa, ya? Kok sakit banget buat gerak."

"Iya, sabar ya Nak. Besok kata dokter Kamu akan dirontgen agar terlihat jelas kondisi kaki Kamu yang sebenarnya seperti apa."

"Rena takut kalau terjadi sesuatu yang tidak Rena inginkan."

"Na'udzubillah, Kamu pasti akan baik-baik saja kok, Nak. Hanya perlu bersabar dulu saja sekarang. Jangan lupa berdoa ya. Bunda juga selalu berdoa untuk kebaikan Rena," ucap Bunda mencoba menenangkan.

"Baik, Bunda. Rena sayang Bunda!"

***

Jadwal rontgenku telah tiba. Ayah dan Bunda menemaniku dan menunggu hasilnya. Perasaanku dipenuhi rasa cemas. Setelah semuanya selesai, kami pun menunggu hasilnya. Tidak ada satu orang pun dari kami yang terlihat tenang. Wajak kami semua tegang, menanti hasil yang ditunggu-tunggu.

Petugas mulai memanggil namaku. Ayah datang untuk mengambil hasilnya. "Bagaimana, Yah?" Raut wajah Ayah terlihat kurang baik. Namun, dia tidak ingin menyimpulkan sediri hasilnya. Meskipun aku terus merengek ingin melihat hasilnya sendiri, tapi Ayah tidak mau aku jadi sedih dan menyimpulkannya sendiri.

"Sabar, Sayang … nanti kita lihat bersama saat Dokter datang berkunjung." Bunda berusaha menenangkanku.

"Baiklah. Meskipun Aku terus meminta dan memohon pun, seperti itu semua percuma. Ayah tetap saja tidak akan memperlihatkannya padaku." Ayah dan Bunda hanya terdiam mendengar ucapanku. Aku terpaksa menunggu penjelasan dari Dokter sambil menahan rasa kesalku terhadap Ayah dan Bunda yang terlihat sedang menutup-nutupi hasil rontgenku tersebut.

Akhirnya setelah sekitar tiga jam aku menunggu di ruang rawat inapku, dokterku pun datang. "Bagaimana, Dok? Hasil rontgen menunjukkan kondisi tulangku bagaimana?" Aku langsung bertanya ketika Dokter tiba.

"Sabar, ya … coba mari kita lihat dulu hasilnya. Iya, jadi memang tulang kaki Rena ada yang patah. Jadi, untuk sementara waktu, Rena harus bersabar dulu untuk tidak dulu menggunakan kaki kirinya ini sembarangan."

"Patah, Dok?" Aku sangat sedih mendengar penjelasan dari Dokter.

"Iya, tapi Kamu tidak perlu khawatir. Semua ini bisa segera sembuh kok. Asal Rena mau bersabar dan melakukan pengobatan sesuai dengan apa yang Saya sarankan."

"Berapa lama, Dok Sayang bisa sembuh?" Aku ingin memastikan bahwa hal ini tidak akan memakan waktu lama.

"Sekitar enam bulan, tapi bisa juga lebih cepat sekitar empat bulan saja. Nanti setelah menjalani pengobatan, kita akan terus memantau perkembangannya."

Meskipun hasil pemeriksaanku tidak menyenangkan, tapi setidaknya ada harapanku untuk segera sembuh. Sehingga, aku tidak boleh terlarut dalam kesedihan secara terus menerus. Aku harus segera bangkit dan bersemangat dalam menjalankan pengobatan yang Dokter sarankan.

"Pokoknya Rena harus semangat, ya. Karena tulang kaki Rena ini bukan patah kaki yang terbuka, melainkan patah kaki tertutup yang tidak berisiko terjadi infeksi. Lagi pula letaknya pun memungkinkan untuk sembuh cepat. Asal Rena bisa tetap semangat pokoknya." Mendengar penjelasan dari Dokter membuatku merasa lebih tenang. Rasanya, harapanku untuk sembuh semakin besar. Ayah dan Bunda pun turut menguatkanku untuk tetap tegar menerima cobaan ini.