"Non, sudah siap?" Maura yang sedang memasukkan buku-buku ke dalam tasnya menoleh, dengan keras dia menjawab "Iya." Pada Neti yang bertanya barusan.
Dengan tubuh yang terbalut seragam sekolah, Maura lebih seperti anak muda sebayanya. Kini tubuh yang selalu memakai pakaian pendek saat dipotret itu memakai seragam. Mengingat Maura yang masih 18 tahun, jadi jangan heran jika Maura saat ini masih menduduki bangku sekolah menengah atas. Dan satu tahun lagi akan lulus.
***
"Net, kok gak hidup-hidup sih mobilnya?" seru Maura pada Neti yang masih menghidupkan mobil, mereka saat ini hendak berangkat sekolah, tapi mobil tidak mau hidup. Maura marah-marah seperti ini karena, dia sudah sangat terlambat untuk datang ke sekolah.
Neti gelagapan, sungguh dia sangat takut jika melihat bosnya itu marah. "Aduh non, saya gak tau, saya–" Maura berdecak, dia pun mengambil tasnya di belakang lalu dia membuka pintu mobil dan keluar.
"Pak, anterin saya ke sekolah!" teriak Maura pada sopir yang sedang duduk di pos satpam rumahnya, pria paruh baya itu langsung menghampiri Maura, dengan kepala yang menunduk hormat.
"Anu non, saya sudah ditugasin buat nganter nyonya," ujar si sopir tak enak hati. Nyonya yang ia maksud adalah Resti, mamanya Maura.
Maura berdecak sebal, padahal dirinya sudah terlambat sekarang. "Tapi pak, saya udah telat. Udahlah ayo, kalo gak–"
Tin tin!
Semua orang di sana, termasuk Neti dan sopir menengok ke arah suara. Di depan gerbang yang terbuka, terdapat sebuah mobil hitam, yang barusan membunyikan klaksonnya. "Siapa sih?" gumam Maura kesal.
Maura memicingkan matanya, namun sedetik kemudian dia melotot saat mengetahui siapa itu. Dan tidak lama kemudian, pengendara mobil itu keluar.
Wajah Maura langsung bertambah cemberut melihatnya, dia adalah Devino Ellard Airlangga. Pria tampan namun sayangnya bukan siapa-siapa Maura. Dia hanya anak dari tetangga Maura, namun hubungan keduanya memang tidak baik. Atau bisa dikatakan, bermusuhan. Kedua orang tua mereka bersahabat baik, tapi tidak dengan Maura dan Devino.
"Mau apa sih lo?" tanya Maura ketus, hal yang selalu ia tunjukkan pada Devino.
Devino tersenyum sinis, "Gak sih, gue gak mau ngapa-ngapain, Cuma aja tadi gue dengar ada orang yang teriak-teriak dan itu ganggu gue, jadi gue samperin ke sini, eh ternyata itu lo," ujar Devino dengan santai.
Maura berdecih sinis, dia memang hobi bertengkar dengan Devino, namun untuk saat ini Maura sedang tidak mood, lagi Maura sudah sangat terlambat saat ini untuk ke sekolah. Tatapan Maura kembali pada sopirnya, "Ayo pak anterin saya, kalau gak–"
"Kalau gak kenapa Maura?" Semuanya langsung menoleh ke arah suara, terlihat Resti yang sudah siap hendak pergi ke kantor. Dan keberadaan ibunya itu membuat Maura mendengus, ia yakin pasti sopir akan memilih untuk mengantarkan mamanya.
"Ayo pak, saya udah telat nih," ujar Resti pada sopirnya, dan si sopir hanya dapat mengangguk pasrah meskipun wajah nona muda di depannya itu sudah keruh.
Resti melirik anaknya yang sedari terdiam, lalu tatapannya beralih pada Devino. "Hai, Dev," sapa Resti ramah. Devino pun membalasnya tak kalah ramah juga, dia melambaikan sebelah tangannya. "Hai Tante."
"Kamu kenapa belum berangkat Ra? Udah siang loh ini," ujar Resti. Maura bersedekap dada dan memalingkan wajahnya, membuat Resti mengernyit bingung.
"Itu nyonya, mobil yang biasa dipakai non Maura gak bisa hidup, terus tadi minta anter sama sopir katanya mau ngenterin nyonya," sahut Neti karena tidak ada yang menjawab.
Resti langsung menatap anaknya lagi. "Ya ampun nak, maaf ya sayang. Mama ada meeting penting, jadi harus segera berangkat." Maura tidak menjawab membuat Resti semakin sedih, mengingat pertengkaran mereka semalam belum usai namun muncul masalah baru.
Tanpa sengaja dia melihat Devino yang juga melihatnya, terlintas ide di kepalanya. "Dev, kamu mau ke kampus hari ini? Atau ke kantor?" tanya Resti.
Devino menjawabnya dengan santai. "Dev mau ke kampus Tan, hari ini bang Sam ada di rumah, jadi kerjaan Dev dia yang ngerjainnya, terus aku ada penting juga di kampus," jawab Devino menjelaskan.
Resti tersenyum lebar, dia kembali menatap anaknya. "Kalo gitu, kamu berangkat sama Devino aja. Kalian satu arah kan?" tanya Resti pada kedua anak muda di depannya.
Maura melotot dan menggelengkan kepalanya, "Enggak, apaan sih ma! Aku gak mau!" tolak Maura. Maura enggan sekali untuk satu mobil dengan musuh bebuyutannya itu. Sementara respon Devian hanya mengangguk saja.
Resti menghela nafas. "Tapi kamu udah telat loh, lagian kalau kamu berangkat sama Dev, mama yakin satpam di sana bakalan masukin kamu ke sekolah," ujar Resti membuat Maura terdiam.
Maura lupa jika keluarga Devian adalah salah satu pemilik saham sekolah yang ia tempati itu, dan pasti Devino mempunyai hak di atasnya. "Ya sayang, mama udah buru-buru soalnya," bujuk Resti, dia hendak pergi karena mobil sudah siap.
Terdiam sebentar, akhirnya Maura pun mengangguk. "Gak papa, demi sekolah," batin Maura.
***
Dengan amat sangat terpaksa, dan demi sekolahnya, Maura mau mengikuti suruhan mamanya untuk menumpang dengan Devino. Seumur hidup dia tidak pernah satu mobil dengan Devino, berduaan, itu tidak pernah.
"Muka lo kusut amat sih, masih untung gue tampung buat ke sekolah," celetuk Devino yang melihat wajah kusut Maura, ia tahu gadis itu kesal padanya. Jadi Devino ingin mengerjai gadis di sampingnya itu.
Alasannya? Semua Devino lakukan karena ia gemas dengan Maura, sejujurnya Devino tidak pernah menganggap Maura seorang musuh, dari dulu dia memang suka menjahili Maura, dan respon Maura yang menggemaskan membuat Devino selalu memancing emosinya.
"Apa sih, gue juga ogah kali naik mobil lo, kalo bukan terpaksa," jawab Maura jutek, dan hal itu kembali mengundang kekehan kecil dari Devino.
"Gimana ya cowok-cowok yang ngefans sama lo tahu kalau lo itu sebenernya jutek, masih mau gak sih mereka?" tanya Devino yang ingin kembali memancing emosi Maura.
Namun karena mood Maura yang sedang jelek saat ini, gadis itu tetap memilih diam. Entahlah, dia pun bingung apa motif Devino yang selalu memancing emosinya itu. "Mau kok diam sih." Lagi, Devino berkata dengan nada menyebalkan.
"Sok manis, sok cantik depan kamera haha hihi, padahal mah ih jutek banget," celoteh Devino yang tidak putus asa untuk membuat Maura jengkel. "Terus gimana ya kalau mereka tahu lo anaknya ngeselin, manja, kalo tidur suka ngiler, terus–"
"Stop!" Maura memotong ucapan Devino dengan teriakannya, sehingga mampu membuat pria itu diam seribu bahasa. Maura menatapnya dengan tajam. "Bisa gak sih sehari lo gak ganggu gue? Gak mancing emosi gue? Bisa gak sih?!" tanya Maura bersungut-sungut.
Devino terdiam, jujur dia sedikit kaget dengan tingkah Maura. Namun yang namanya Devino, dia selalu saja mencari masalah. "Idih, galak banget, lagi PMS ya?" tanya Devino menaik turunkan alisnya.
Maura memejamkan mata dengan nafas yang naik turun karena emosi, "Lo bener-bener ya, sampai kapan pun gue akan tetap benci sama lo, inget itu," ujar Maura penuh penekanan, jari telunjuknya mengacung di depan wajah Devino, "Sampai kapan pun, kita tetep musuh!"
Devino diam, namun sedetik kemudian bibirnya mengerut pertanda tengah menahan tawanya. Dan … "Hahaha!!" Lepas sudah tawa Devino, memenuhi isi mobil. "Ya, ya, terserah lo tuan putri, tapi gue cuma mau ngasih tau, kalo kita udah sampai di sekolahan lo."
Sontak Maura menengok ke samping, dan benar saja, mereka sudah sampai di depan sekolah tempat Maura belajar. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Maura mengambil tasnya, lalu membuka pintu mobil.
Belum sempat kakinya menyentuh jalan, Maura merasakan cekalan di tangannya yang membuat Maura mau tak mau menoleh. "Apa sih?" tanya Maura yang masih kesal.
Devino tersenyum tipis, "Gak, gue cuma mau bilang, nanti malam ke acara pesta keluarga gue, lo berangkat sama gue. Gak ada bantahan." Dan selanjutnya Devino melepaskan cekalan tangannya, membiarkan Maura keluar.
Maura berdiri di depan kaca, dapat ia lihat Devino yang memakai kaca matanya dengan gagah, lalu dia melirik Maura yang masih menatap Devino.
Devino melambaikan sebelah tangannya singkat, "Bye, musuh! Jangan lupa nanti malam," ujar Devino yang sepertinya tanpa disadari berpamitan dengan Maura.
Maura sendiri? Hanya diam di tempat, dengan mata yang fokus pada mobil yang sudah mulai menjauh itu. Pikirannya terbang pada permintaan—ah tidak, perintah Devino supaya datang berdua dengan pria itu ke pesta.
Dan sekarang, Maura bingung. Apa ia harus menuruti perintahnya?
***
To be continued