"Sudah buk, saya permisi." Resti menganggukkan kepalanya pada salah satu asisten rumah tangganya yang baru saja keluar dari kamar Maura, dan bertemu dengan dirinya yang baru saja masuk ke dalam kamar putrinya itu. "Terima kasih, Mbak," ujar Resti dan mempersilahkan perempuan itu untuk berlalu dari sana.
Resti menatap pintu kamar yang tidak tertutup rapat tersebut dengan helaan nafas panjangnya, kemudian membukanya perlahan. Bibirnya tersenyum tipis saat melihat punggung putrinya yang kini sudah memakai kebaya putih, dengan rambutnya yang disanggul. Iya, tepat hari ini mereka akan melangsungkan pernikahan, antara Maura dan Devino. Tidak ada pernikahan mewah atau semacamnya, hanya ada akad saja, tidak ada resepsi, bahkan mereka melangsungkan pernikahannya pun di rumah. Secara agama, ya, masih secara agama mengingat Maura masih bersekolah. Bahkan rumah pun tidak dihias sama sekali, begitu pula pengantin wanitanya. Hanya kebaya dan disanggul simpel, dan make up tipis.
"Sayang," panggil Resti, namun Maura tidak menoleh sama sekali. Hanya meliriknya itu pun lewat cermin yang berada di depannya.
Resti menghampiri putrinya itu, meletakkan kedua tangannya di masing-masing bahu Maura, "Kamu gak papa 'kan? Gak mual, atau sesuatu gitu?" tanya Resti khawatir, mengingat putrinya itu sedang hamil muda.
Maura tidak menjawab, tatapannya masih kosong, dan air mata terus keluar dari mata hazelnya itu. Resti tersenyum tipis, mengerti dengan perasaan Maura yang pastinya sangat terpukul dengan pernikahan ini, namun mau bagaimana lagi, semuanya sudah terjadi. Tidak mungkin dirimu menuruti permintaan Maura untuk menghilangkan bayi tidak bersalah itu.
"Ra, dengerin mama." Resti sedikit merendahkan tubuhnya, lalu memeluk leher putrinya itu dari belakang. Dan kembali berbicara. "Kehidupan kamu gak selesai hanya karena pernikahan ini sayang. Justru kehidupan kamu dimulai, mama yakin ke depannya kamu akan bahagia, gak seperti yang kamu pikirkan. Kamu beruntung karena Devino mau bertanggung jawab, banyak perempuan di luaran sana yang ditinggal sama cowoknya dan gak mau bertanggung jawab."
Resti mengusap kepala Maura pelan, menatap serius Maura dari cermin. "Jadi jangan sedih kayak gini terus ya? Mama gak bisa lihatnya sayang," ujar Resti dengan wajahnya yang terlihat sedih. Entah benar-benar sedih, atau memang hanya pura-pura?
Iya memang tidak mungkin jika seorang ibu biasa-biasa saja jikalau anaknya atau bahkan putri tunggalnya mengalami insiden seperti yang dialami Maura saat ini. Tapi balik lagi, orang tua siapa saat ini. Iya, Maura, dan Maura tidak percaya jika ibunya sesedih itu dengan keadaannya itu.
"Mama gak usah drama, aku gak suka sama orang munafik," kata Maura akhirnya mengeluarkan suaranya, meskipun yang dia katakan cukup membuat Resti terkejut.
Resti mengangkat kepalanya hingga menjadi tegak, menatap Maura dari kaca sedikit tajam. "Maksud kamu apa, Ra?! Mama jelas-jelas sedih dengan kejadian yang menimpa kamu. Kamu putri tunggal mama." Dengan tegas dan sedikit emosi dia mengatakan itu.
Maura tersenyum sinis, dia melepaskan kedua tangan mamanya dari bahunya. "Oh ya? Tapi sayangnya Maura gak percaya, makasih." Setelah itu Maura berdiri, sedikit merapikan roknya dan berlalu keluar.
Dengan sendirinya dia keluar dari kamar, lalu menuruni anak tangga satu persatu hingga kakinya memijak lantai 1 di mana sudah ada ayahnya, kedua orang tua Devino, penghulu, Neti, dan satu lagi, pria itu ... Devino.
Terlihat gagah memang, tapi sayangnya Maura benci pada pria yang kini sudah duduk berhadapan dengan papanya itu. Dia yang menyebabkan hidup Maura seperti ini, dan sampai kapan pun Maura akan terus membencinya, sekalipun pria itu sudah menjadi suaminya—nanti.
"Non, ayo." Maura tersentak dari lamunannya saat mendengar suara, dan ternyata itu adalah Neti yang menyusunnya. Maura merasakan Neti memegang lengannya, lalu menuntunnya untuk ke hadapan meja kecil dan duduk bersampingan dengan Devino.
Dia sama sekali tidak melirik Devino, menunduk dan terus menunduk. "Jadi, bisa pernikahannya kita mulai sekarang?" tanya pak penghulu angkat suara.
Marvel mengangguk, dan segera mengulurkan tangannya pada Devino. "Baik, pak, ikuti kata-kata saya." Marvel lagi-lagi hanya mengangguk, dia menatap pemuda yang sepertinya memang sudah siap di depannya itu.
Namun lagi-lagi suara menghentikan kegiatannya itu. "Tunggu dulu!!" seru Resto yang membawa sebuah kain putih di tangannya, perempuan itu menuruni tangga dengan sedikit cepat, berdiri di belakang Maura dan Devino, lalu memakaikan kain putih itu di kepala kedua pengantin.
Kemudian Resti duduk di samping kedua calon besannya, mengangguk pada sang suami pertanda pernikahan bisa kembali dilanjutkan.
Marvel mengangguk, "Sudah siap Vin?" tanya Marvel pada Devino, dan Devino hanya mengangguk. Sedari tadi dia banyak diam karena dirinya sedang menghafal kalimat ijab takut-takut dirinya salah.
Marvel pun mulai melafalkan kalimat tersebut. "Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau, ananda Devino bin Dave sinsclair dengan anak saya Edlerea Maura binti Marvel Arjaya dengan maskawin berupa seperangkat alat salat dan uang 50 juta rupiah dibayar tunai!"
"Saya terima nikah dan kawinnya Edlerea Maura binti Marvel Arjaya dengan maskawin tersebut dibayar tunai!" balas Devino dengan lancarnya hingga terdengar seruan SAH dari orang-orang yang menyaksikan pernikahan tersebut.
Devino tersenyum lebar, sangat lebar bahkan, dia menengadahkan kedua tangannya begitu pula dengan Maura, meng-amini do'a yang diucapkan oleh pak penghulu.
Sementara Maura hanya diam, matanya kembali berkaca-kaca mengingat dirinya yang sudah sah menjadi seorang istri. Awalnya Maura ada niatan untuk kabur dan menghindari pernikahan ini, namun lagi-lagi, penjagaan dari ayahnya beberapa hari ini sangat-sangat ketat, membuatnya tidak bisa bertindak lebih.
"Selamat, kalian berdua sudah sah menjadi sepasang suami istri," kata si pak penghulu lalu mengintruksikan pasangan di depannya itu untuk melakukan hal yang biasa dilakukan setelah ijab.
Maura sedikit menyamping duduknya hingga berhadapan dengan Devino, lalu mengambil tangan suaminya itu dan ia kecup, sesuai instruksi dari pak penghulu. "Terima kasih," bisik Devino membuat Maura mendongak dan menatapnya bingung.
Devino tersenyum, kedua tangan besarnya menangkup wajah Maura, lalu ia kecup kening wanita itu lama. "Terima kasih udah mau terima aku dan anak kita, dan maafin aku atas kejadian ini juga," kata Devino membuat Maura terkejut.
Apa tadi? Aku? Dan kenapa Devino menjadi lembut seperti ini? Tidak, Maura tidak boleh luluh untuk ke depannya yang mungkin dirinya akan kembali mendapatkan perlakuan-perlakuan yang lembut dari Devino.
Maura sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak memberikan perasaan pada pria yang sudah merusak hidupnya itu.
Tapi balik lagi, semua ini hanya takdir. Begitu pula kisah cinta Maura, entah ke depannya akan seperti apa. Seperti yang diharapkan Maura, atau justru Maura jatuh pada pesona suaminya itu?
Entahlah.
***
To be continued