Chereads / impromptu marriage / Chapter 3 - bab 3: Malam indah, atau?

Chapter 3 - bab 3: Malam indah, atau?

Pukul setengah tujuh malam ini Maura sudah sampai di rumah, iya, dia pulang lebih awal dari pemotretannya karena akan ada acara keluarga. Sebenarnya bukan keluarga dirinya, melainkan keluarga Devino, yaitu acara ulang tahun ayah Devino. Meskipun dengan Devino dia sangat bermusuhan, tapi tidak dengan kedua orang tua pria itu yang juga merupakan sahabat dari kedua orang tuanya, hubungan Maura dengan mereka baik. Bahkan sangat baik seperti orang tua dan anak.

Maura turun dari mobil, seperti biasa pulang ini ia dijemput oleh Neti. Dahinya mengernyit bingung saat melihat dua mobil terparkir di depan rumah, kedua mobil itu adalah mobil mama dan papanya. "Tumben mereka udah pulang? Kesambet apaan?" gumam Maura, memikirkan hal yang membuat dirinya bingung yaitu kedua orang tuanya yang pulang cepat.

Tanpa menunggu Neti yang kesusahan membawa barang-barangnya, Maura melangkahkan kakinya ke dalam rumah, dan tepat seperti dugaannya saat dirinya masuk, kedua orang tuanya sudah di dalam rumah. Duduk berdua namun saling berjauhan, dan sibuk dengan urusan masing-masing. Tidak romantis sekali.

Resti dan Marvel langsung menengok, keduanya tersenyum lebar. "Hai sayang, kamu baru pulang?" tanya Resti basa-basi, padahal sungguh Maura sangat benci dengan pertanyaan itu. Keberadaannya di sini sudah menunjukkan jika dia sudah pulang, kenapa harus bertanya lagi?

Resti berjalan untuk menghampiri putrinya yang masih diam itu, namun tanpa diduga Maura malah berjalan melewati. Dan Resti sudah yakin jika Maura masih marah karena masalah semalam. "Nak," panggil Resti.

Sesampainya di depan kamar Maura, Resti menarik nafasnya perlahan, lalu dia pun mengetuk pintu kamar tersebut. "Nak, ini mama! Kamu lagi apa?" tanya Resti berteriak, dan teriakkannya itu tidak membuahkan hasil, karena Maura tidak menjawab sama sekali.

Menghela nafas, Resti pun memilih untuk masuk ke dalam kamar karena pintunya yang tidak dikunci dari dalam. Dia tersenyum kecil saat melihat baju seragam Maura yang berada di atas tempat tidur, itu artinya sang putri sedang mandi.

Tidak ingin membuat anaknya tambah marah, Resti pun mengambil baju-baju kotor itu lalu ia masukkan ke keranjang. Dan membereskan barang-barang yang ada di dalam kamar. Menurut Resti, ini adalah momen langka, di mana dia yang membereskan kamar sang putri karena memang hari-harinya yang selalu sibuk membuat Resti bahkan jarang masuk ke dalam kamar ini. Dan Resti menyadari kesibukannya itu, Resti juga menyadari rasa benci Maura padanya dan Marvel.

Suara pintu terbuka membuat Resti menghentikan aktivitasnya, dia pun menoleh. Ada Maura di depan pintu kamar mandi memakai kimono dan juga handuk yang membungkus rambutnya. "Udah selesai mandinya?" tanya Resti.

Maura mengerjap, dia mengedarkan pandangannya ke seisi kamar yang rapi, dia pun berdehem. "Ya udah, kamu ganti baju ya, mama lanjut beresin kamar kamu," ujar Resti. Namun Resti yang hendak melanjutkannya berhenti karena tidak ada pergerakan dari Maura.

Resti menghela nafas, ia yakin pasti Maura mau berbicara sesuatu. "Nak, kamu mau tanya sesuatu? Hm, tanya aja, mama gak larang."

Maura memalingkan wajahnya, kenapa selalu saja ekspresinya membuat orang lain bisa mengetahui apa yang dipikirkan oleh Maura? Dan dengan keberaniannya Maura bertanya. "Tumben mama pulang cepat? Ada apa?" tanyanya singkat.

Resti tersenyum tipis, dia duduk di kasur, "Mama pulang cepat karena 'kan ada pesta sayang, mama gak enak kalau telat datang," jawab Resti membuat Maura terdiam. Karena jawabannya itu Maura jadi ingat tentang ajakan Devino tadi. Tapi itu tidak penting, yang penting sekarang adalah jawaban mamanya yang tidak sesuai harapan Maura.

"Maura kira kalian pulang karena Maura, tapi ternyata demi pesta ya," ujarnya dan terkekeh kecil, namun semua orang termasuk Resti yang bersamanya saat ini tahu jika kekehan itu seolah menyiratkan rasa sakit hati.

Resti seketika sadar jawabannya itu membuat Maura sakit hati, dia menghampiri anaknya itu hendak menjelaskan. "Nak, maksudnya–"

"Keluar!" potong Maura dengan tangannya yang menunjuk pintu kamar, kasarnya dia sedang mengusir sang mama.

Resti menggeleng, dia lagi-lagi ingin bicara namun kembali dipotong. "Keluar ma aku bilang," ujar Maura dengan nada yang lebih tegas, dan Resti hanya bisa menghela nafas. Dia pun menyimpan barang Maura yang ia pegang tadi, lalu berlalu keluar meninggalkan Maura seorang diri.

Sepeninggalan sang mama, Maura hanya bisa tersenyum sinis. Dia pun melanjutkan aktivitasnya untuk memakai baju, namun sebelum tangannya memegang handel lemari, ponselnya tiba-tiba berdering menandakan ada yang menelepon.

Maura mendengus, namun tak urung dia menghampirinya. Ia mengernyitkan dahi saat melihat nama Devino di layar, ada apa pria itu menelepon Maura? Tidak ingin berlama-lama, Maura pun mengangkat panggilan tersebut.

"Halo," sapa Maura lebih dulu, malas sebenarnya, tapi jika tidak disapa lebih dulu maka Devino tidak akan berbicara.

"Halo, gimana, lo udah siap belum?" tanya Devino langsung, Maura mendengus, dia menatap pantulan tubuhnya di cermin yang masih memakai kimono, dan Maura tahu diri jika dirinya berdandan akan membutuhkan waktu dua jam, mulai dari memakai baju dan make up.

"Gue belum ngapa-ngapain, lo duluan aja sana," suruh Maura, terdengar decakan dari seberang sana. Membuat Maura yakin, jika pria itu akan membatalkan rencananya agar datang bersama dengan dirinya.

"Ya udah gak papa, gue ke rumah lo, tunggu di sana!"

Dan Maura hanya bisa pasrah dengan keputusan Devino, ingin protes pun teleponnya sudah dimatikan oleh Devino.

Mendengus kesal, Maura pun langsung segera bersiap-siap untuk pergi.

***

Setelah perdebatan panjang, akhirnya Maura dan Devino benar-benar datang bersama. Keduanya tampak serasi dengan tangan Devino yang melingkar di pinggang Maura dan hal membuat orang yang hadir di pesta tersebut kaget. Termasuk kedua orang tua mereka.

"Hai ma, pa," sapa Devino saat sampai di depan kedua orang tuanya, begitu pula Maura yang menyapa mereka dengan sebutan 'om dan Tante itu'

"Selamat ulang tahun ya om, maaf Maura cuma bisa kasih ini," ujar Maura sambil menyerahkan paper bag berisi kado yang ia bawa.

Dave, ayah Devino tersenyum tulus, "Kehadiran kamu juga udah buat om senang, nak, apalagi kamu datangnya sama anak om," jawabnya berniat menggoda.

Maura terkekeh kecil, malu digoda di depan banyak orang seperti ini. "Ya udah, Vin, kamu ajak Maura duduk terus cicip sana makanannya, have fun ya." Keduanya menoleh pada seorang perempuan cantik yang sedari tadi berdiri di samping Dave, Marisa, ialah ibunda dari Devino. Maura pun sama akrabnya dengan beliau.

Devino mengangguk, dia kembali menelusupkan tangannya di pinggang ramping Maura, lalu membawa gadis itu melangkah bersamanya. "Mau ke mana?" bisik Maura di sela jalan mereka.

Devino meliriknya sekilas, "Sesuai yang nyokap gue perintah, kita makan dulu, sebelum acara dansa," jawab Devino dengan tatapannya yang lurus ke depan, Maura pun hanya pasrah.

Tidak lama kemudian mereka sampai di kursi yang mengelilingi meja bar dan terdapat berbagai jenis minuman di atasnya, konsep ulang tahun ini memang seperti tempat-tempat hiburan malam seperti biasanya. Jadi jangan heran.

"Gue belum lihat orang tua lo, ke sini gak?" tanya Devino setelah memberikan segelas minuman pada Maura, dan langsung diminum oleh gadis itu. Maura pun mengangguk menjawab pertanyaan lelaki di depannya ini.

"Tadi gue lihat, sama orang-orang seusianya, gue ogah nemuin," jawab Maura cuek. Dia terus memperhatikan ke depan di mana si pemilik acara sedang menyambut tamu, dan mengabaikan keberadaan Devino.

"Ra," panggil Devino tiba-tiba, Maura menoleh dengan sebelah alisnya yang terangkat. "Lo, beneran benci banget sama gue?" tanya Devino.

Maura menatapnya aneh, tidak biasanya Devino mengobrol hal seperti ini. "Kenapa emangnya?" tanya Maura balik.

Devino berdecak sebal, "Udah jawab aja," ujarnya memaksa. Dia ingin mendengar jawabannya langsung dari gadis di depannya ini.

Maura terkekeh kecil, dia turun dari kursinya, lalu berdiri di depan Devino. Tangannya bertumpu di kedua paha Devino. "Gue, benci banget sama lo, kenapa emangnya?" Dengan suara pelan bahkan nyaris berbisik Maura mengatakan itu.

Tanpa Maura ketahui jika ucapannya itu entah kenapa membuat Devino merasakan sesak berlebih. Enggan memikirkan perasaan pria di depannya, Maura pun berlalu meninggalkan Devino menuju lorong kecil yang merupakan jalan menuju toilet. Mengingat acara ini dilaksanakan di hotel bintang lima.

Devino mengepalkan tangannya, dia dengan tiba-tiba meneguk habis minuman beralkohol itu hingga tandas, dan tidak beberapa lama kemudian dia kembali memberikan gelas itu ke bartender, "Lagi," pinta Devino dan tidak bisa ditolak begitu saja.

Terus minum hingga akhirnya dia mabuk berat.

***

Maura menatap cermin yang di mana ada bayangannya di depan sana. Entah kenapa, otaknya tidak bisa berpikir baik karena merasa bersalah. Ah tidak, entah kenapa saat melihat wajah kecewa dari Devino tadi, Maura menyesal mengatakan itu.

"Gak, enggak. Jangan mikirin dia, kembali kayak seperti biasa, jangan peduliin dia," ujar Maura mencoba menyadarkan dirinya kembali karena merasa bersalah pada Devino, padahal hal seperti ini sudah biasa.

Maura menarik nafasnya perlahan, lalu membuangnya. "Oke Maura, kembali kayak tadi, seperti biasa," gumam Maura, dia tersenyum lalu setelah merasa oke, Maura pun keluar dari kamar mandi.

Kepalanya menunduk membuat Maura tidak tahu jika di depannya ada orang lain berjalan berlawanan arah dengannya. Dan ... bruk! Tubuh mereka bertabrakan, spontan Maura langsung meminta maaf. "Sorry, gue gak sengaja."

"I-iya." Maura mengangkat kepalanya saat mendengar suara itu, ternyata Devino ....

"Loh, Devino?" kaget Maura, dan Devino pun sama langsung menatapnya. Tatapannya terlihat beda, seperti ... orang mabuk?

"M-Maura." Maura merasa bulu kuduknya merinding mendengar suara lirih dari Devino, dia bertambah kaget saat merasakan tangan Devino yang berada di tengkuknya.

Cup!

Tubuh mereka bahkan salah satu bagian tubuh mereka menempel, Devino mulai menggerakkan benda kenyal itu, menyesap dan menghisapnya. "Em!!" seru Maura tertahan dia menepuk-nepuk dada Devino namun hal itu sia-sia karena Devino terus melakukan aksinya.

Tangan Devino merambat ke belakang, dengan sekali hentakan Maura kini berada di gendongannya. Dengan akal sehatnya yang masih tersisa, Devino melangkahkan kakinya ke belakang, lalu membawanya ke lift, dan berhenti di lantai 3, lalu tanpa diduga Devino membawa Maura ke kamar.

"Em, jangan," pinta Maura dengan suara bergetar karena Devino yang sudah hampir menidurkan dirinya. Namun Devino tidak mempedulikan hal itu, ia terus menyerang Maura dengan ciumannya yang ganas, tangannya mulai meraba-raba ke sana ke mari, hingga membuat gadis di bawahnya ini terbuai dan tanpa sadar membalas semua apa yang dilakukan oleh Devino.

Tubuh Maura merespon beda, jika tadi dia menolak, sekarang Maura dengan suka rela memberikannya, bahkan meminta lebih saat Devino menghentikan aktifitasnya sejenak. "Dev …." Suara Maura yang merdu tepat di telinganya semakin memancing sesuatu yang ditahan oleh Devino sedari tadi.

Tanpa ingin berlama-lama lagi, Devino langsung 'menyatukan' tubuh mereka. Keduanya sama-sama menikmati kenikmatan surga dunia ini, tanpa status dan tanpa hubungan.

Mereka tidak memikirkan apa yang akan terjadi besoknya setelah keduanya sadar apa yang dilakukan. Tapi Maura tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Devino, karena di sini pun, terkadang Maura yang memulai saat Devino yang berhenti sejenak.

Devino melakukannya tanpa paksaan, tapi penuh kelembutan.

***

To be continued