Maura mengerjapkan matanya merasakan silau yang berlebih, hendak merenggangkan kedua tangannya namun harus terhenti karena merasakan sesuatu yang mengikat seluruh tubuhnya erat. Dahinya mengernyit, dan spontan membuka mata full.
Deg!
Jantungnya seakan berhenti berdetak saat melihat dada bidang seseorang di depannya, lalu kepalanya menunduk hingga pemandangan tangan yang memeluk tubuh dirinya yang berada dalam selimut dipeluk erat oleh satu tangan kekar. "Gak, enggak mungkin," gumam Maura yang sudah mengingat kejadian 'semalam' antara dirinya dan pria yang memeluknya erat saat ini.
Devino.
Maura mendongak, hingga ia dapat melihat wajah pria yang ia benci, bahkan sangat Maura benci saat mengingat kejadian semalam. "Devino!!" teriak Maura keras membuat Devino terkejut dan bangun dari tidur nyenyaknya.
"Apaan sih, gue ngantuk," seru Devino dengan mata tertutup, belum menyadari keadaan di sekitarnya. Namun belum sempat lagi ia terlelap tidur, suara tangisan terdengar di telinganya membuat Devian seketika membuka mata.
Rambut legam hitam yang terurai juga bahu polos yang tidak tertutupi kain menjadi apa yang pertama Devian lihat. "Devian, bangun. Jahat, lo jahat," ucap Maura di tengah isakan tangisnya. Terdengar sangat memilukan dan Devian baru mendengarnya kali ini.
"Astaga, apa yang gue lakuin?!" ujar Devino dalam hati, otaknya masih mencerna keadaan yang dialaminya.
Yang Devino ingat adalah dirinya yang kesal pada Maura yang mengatakan membenci dirinya, lalu dia mabuk, dan setelah itu, dia dan Maura ….
"Lo jahat Vin, lo rusak gue, lo jahat." Ucapan Maura kembali membuatnya terdiam.
Devino diam, ia tidak tahu harus merespon apa. Sebenarnya dirinya tidak sepenuhnya salah, karena tubuh Maura pun menginginkan hal lebih. Tapi tetap saja, sebagai lelaki yang gentle, dia harus mengakui kesalahan di sini.
Bug!
Maura memukul-mukul dada Devino untuk melampiaskan rasa marahnya, dan Devino hanya diam menerima kemarahan Maura, ia tahu di sini dirinya yang salah. "M-Maaf, semalam gue mabuk Ra, gue gak sadar," ujar Devino melakukan pembelaan.
Mendengar itu Maura sontak semakin marah, bukannya mengakui kesalahan dan meminta maaf, tapi Devino malah membela dirinya sendiri.
Dengan sedikit kesusahan karena kakinya yang sakit, Maura bangun dari tidurnya, dan duduk di hadapan Devino, selimutnya ia tarik untuk menutupi tubuh atasnya yang tidak tertutup apa pun. "Lo tahu gak sih tingkah lo semalam bikin kehidupan gue hancur, dan lo dengan santainya bilang lo lagi mabuk?" teriak Maura tidak terima.
Lagi, Maura menghujami Devino dengan pukulan-pukulannya, namun kali ini lebih keras dan membuat Devino kesakitan karena mengenai kepalanya. "Oke, sorry, berhenti pukul gue," pinta Devino namun tidak digubris.
Dengan sedikit kesusahan, akhirnya Devino mampu menangkap kedua tangan Maura, lalu ia pegang erat hingga pukulan itu berhenti, Devino pun akhirnya bangun, membuat selimut yang sedari tadi menutup dada bidangnya melorot.
"Gue mohon, please jangan kayak gini, oke gue ngaku salah, gue janji, gue akan tanggung jawab. Oke? Kita bicarakan ini baik-baik ya?" ujar Devino dengan lembut, mencoba meluluhkan Maura yang sepertinya akan terus marah.
Maura tidak menjawab, dan itu dianggap 'iya' oleh Devino, pria itu pun tanpa pikir panjang memeluk Maura yang sudah menangis lagi.
"Gue takut gue hamil."
***
Dua bulan berlalu setelah kejadian semalam itu, dan semuanya masih sama. Devino yang terus membujuk Maura untuk memaafkan dirinya, dan Maura yang sekarang bertambah membenci Devino. Bahkan akhir-akhir ini dia tidak pernah menemui Devino meskipun pria itu selalu mengunjungi rumahnya.
Oh satu lagi, belum ada berita kehamilan dari Maura sejauh ini. Tolong ingat, jika hamil adalah hal yang ditakuti oleh Maura setelah berhubungan malam itu, entah memang benar belum ada atau memang Maura yang belum menyadarinya.
Devino memegang perutnya yang terasa nyeri, entah makan apa ia kemarin hingga membuatnya tidak enak badan seperti ini. Muntah-muntah pula. "Aish, gue kenapa sih, gue gak suka kayak gini," gumam Devino menatap pantulannya di cermin.
Keadaannya benar-benar kacau, wajahnya pucat menggambarkan orang sakit. "Kayak orang hamil aja gue," dumel Devino tanpa sadar. Pria itu membasuh mulutnya dengan air, dan kembali menegakkan tubuhnya.
Setelah merasa dirinya baik-baik saja, Devino pun keluar dari kamar mandi dan segera memakai bajunya. Seperti biasa, hari ini dia akan ke kampus dan sebelum itu dia akan mendatangi rumah Maura.
"Hm, gue langsung ke kampus kok, lo tunggu aja di depan kayak biasa," ujar Devino yang saat ini tengah berbicara dengan temannya di kampus. Dia sudah selesai bersiap-siap saat ini, dan tadi tiba-tiba teman sekampusnya menelepon.
Setelah itu dia mengambil kunci mobil dan langsung keluar dari rumahnya, seperti apa yang direncanakan, mobil Devino tidak langsung meninggalkan pelataran rumah, melainkan memasuki rumah Maura.
***
Sementara itu di dalam rumah, tepatnya di dalam kamar yang penuh dengan cat berwarna pink itu, Maura berdiri dengan mimik wajah seperti orang yang tengah risau. Di tangannya ada sebuah benda panjang kecil, yang selalu digunakan untuk tes kehamilan.
Tespeck
Entahlah hatinya tergerak melakukan tes kehamilan ini, selain itu dia juga curiga karena tanggal rutinitas menstruasinya sudah terlewat, dan Maura takut itu terjadi, jadi dia memutuskan untuk melakukan tes.
"Apa gue harus lakuin sekarang? Gimana kalau hasilnya positif?" gumam Maura, memang di rumahnya saat ini sedang tidak ada siapa-siapa. Hanya ada pekerja saja, dan Maura bersyukur karena hal itu.
"Oke, tenang Maura, lo gak mungkin hamil, lo ngelakuin itu sama Devino hanya sekali, ingat itu," gumam Maura mencoba berpikir positif, setelah menarik nafas dan menghembuskannya perlahan, Maura pun mengambil kemasan tespeck tersebut lalu memasuki kamar mandi.
Setelah buang air kecil dan menampung airnya di wadah kecil, Maura mencelupkan tespeck itu ke dalamnya, lalu mengangkatnya kembali. "Semoga negatif ya tuhan," ujar Maura dalam batinnya berdoa.
Setelah menunggu beberapa menit, Maura membuka matanya dan melihat tespeck itu. Nafasnya seakan berhenti berhembus, jantungnya terhenyak saat melihat hasil dari tespeck tersebut.
Dua garis, yang itu artinya Maura benar-benar hamil. "Gak, gak mungkin. Ini pasti alatnya rusak, iya, gue gak mungkin hamil," gumam Maura, menggeleng-gelengkan kepalanya dan mulai terisak menangis.
Mengandung? Di usia muda? Belum lagi dirinya yang masih SMA, dan seorang model, lalu hamil tanpa suami, benar-benar membuat Maura takut jika hal ini diketahui orang lain.
Yang pertama terbesit dalam pikirannya adalah, kariernya. Karier yang selama ini ia bangun pasti akan hancur begitu saja jika mengetahui dirinya hamil di luar nikah, dan Maura tidak pernah menginginkan itu terjadi.
"Gue gak mau hamil, gue gak mau. Anak sialan!!" teriak Maura dan memukuli perutnya yang datar namun ternyata ada seorang anak di dalamnya.
Maura memeluk lututnya, dan menangis hebat, kenyataan ini lebih menyakitkan dan menakutkan setelah kejadian malam bersama Devino.
Maura tiba-tiba mengangkat kepalanya dari atas lutut, wajahnya berantakan karena air mata. "Gimana sama papa dan mama, gimana kalau mereka tahu, mereka pasti benci sama gue. Gak, gue gak mau itu, gue gak mau karier gue hancur gara-gara ini bayi," ujar Maura menggelengkan kepalanya, saat ini dia seperti seorang yang depresi jika orang lain melihatnya.
Maura menyisir rambut panjangnya yang lepek ke belakang, dia mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kamar, dan pandangannya jatuh pada sebuah pisau yang tertancap di atas buat melon, buah yang menjadi sarapannya tadi pagi.
Dengan langkahnya yang sedikit pelan, Maura berdiri dan melangkahkan kakinya mendekati pisau itu, tangannya yang bergetar mengambilnya. "Gue bisa bunuh dia dengan ini, ya, dengan ini gue bisa bikin dia mati, sekarang juga." Rupanya Maura memiliki niat untuk menggugurkan anaknya itu, dan rencananya adalah menusuk perutnya sendiri. Dia tidak sadar jika hal itu justru juga akan menyakiti dirinya.
Maura menyejajarkan pisau itu di depan perutnya, memejamkan mata dan mengayunkan tangannya agar pisau tersebut menusuk ke perut.
Dan ….
"Maura!!!"
Pintunya terbuka lebar, dan dapat Maura lihat siluet tubuh seorang pria yang dari suaranya Maura kenal. Dia Devino. Namun pening dalam kepalanya, membuat Maura tidak bisa melihat jelas siapa dia. Hingga akhirnya, tubuhnya tumbang dan dia pingsan.
Meninggalkan Devino yang berseru khawatir.
***
To be continued