"Apa nikah? Gak, aku gak akan pernah mau nikah sama dia!!"
Brama, Marvel, dan Devino yang sedang berunding itu seketika menoleh ke arah pintu yang ternyata ada Maura di sana, berdiri dengan wajah yang pucat, dan sepertinya dia sudah mendengar pembicaraan Devino dan sang ayah. Terbukti dari perkataannya barusan yang dengan mentah-mentah menolak untuk menikah dengan Devino.
Marvel langsung berdiri dan menghampiri putrinya itu. Wajah Maura terlihat lesu, belum lagi bibirnya yang pucat, dan juga matanya yang berkaca-kaca. "Maura, harusnya kamu pikirkan, kalau kalian tidak menikah bagaimana dengan kandungan kamu?" tanya Marvel yang berusaha untuk memberi pengertian pada putrinya itu.
Maura tertawa kecil, bukan tawa senang atau apa pun itu, melainkan tawa sinis keluar dari mulutnya. "Anak? Kandungan? Gak akan pernah ada Maura yang hamil, gak akan pernah ada pernikahan aku dan Devino. Aku bakalan gugurin anak ini," ujar Maura membuat Devino yang sedari tadi diam menoleh ke arahnya.
Rahang pria itu mengeras, tatapannya menunjuk ketidak sukaan terhadap apa yang dikatakan oleh Maura. Pria itu berdiri, dan dengan langkah lebarnya menghampiri Maura di ambang pintu. "Gak akan pernah, gue gak akan biarin anak ini jadi korban. Di sini kita yang salah Ra, jangan ngorbanin janin yang gak bersalah," kata Devino menolak keputusan Maura untuk menghilangkan bayi mereka itu.
Maura tertawa lagi, namun bedanya sekarang dia tertawa untuk menyembunyikan tangisnya, terbukti dari matanya yang mengeluarkan air mata, juga isakan kecil keluar dari mulutnya. "Lo gila, lo egois tau gak Dev, lo mikir gak, gimana gue ke depannya? Gue masih sekolah, gue gak mau hamil," ujar Maura.
Wajahnya mengeras, kulit yang putih pucat itu kini berubah warna menjadi merah, entahlah, sepertinya antara menahan marah dan ketakutan—tentang kehamilan juga sikap egois Devino—meskipun tanpa disadari juga jika dirinya sendiri sama-sama egois.
Devino menghembuskan nafasnya kasar, dia meraup wajahnya, menyisir rambutnya ke belakang dengan kedua tangan, frustrasi. Pria itu kemudian kembali menatap Maura, "Ya terus, kita harus gimana? Gue gak akan pernah setuju kalau bayi itu lo gugurin, gak akan pernah gue biarin. Ingat itu," ujar Devino dengan penekanan di setiap perkataannya.
Maura menutup wajahnya dengan kedua tangan dan menangis lagi. Marvel yang melihat itu menghela nafas panjang, dia menarik putrinya itu ke dalam pelukannya. Dan Maura yang biasanya menolak, kini tidak. Ia membiarkan tubuhnya yang bergetar direngkuh oleh tubuh kekar sang ayah, rasanya sudah lama Maura tidak merasakan pelukan setulus ini dari Marvel.
"Sstt, kita cari jalan keluarnya sama-sama sayang. Jangan emosi seperti ini, oke?" bisik Marvel menenangkan. Pria setengah baya itu melirik pemuda di sampingnya, pemuda yang sudah merusak putrinya, namun Marvel tidak bisa menyalahkan sepenuhnya pada pria itu.
"Kamu pulang." Devino menoleh hendak protes mendengar usiran dari Marvel, namun belum sempat ia mengeluarkan suara, Marvel kembali berkata. "Kamu dinginkan pikiran kamu, om gak akan lepas tangan untuk masalah ini. Jadi sekarang biarkan dulu Maura istirahat," ujarnya mencoba memberi pengertian.
Devino menghela nafas pasrah, ia pun akhirnya mengangguk. Melirik Maura yang masih menangis sambil memunggunginya. "Maaf, Maura," gumam Devino lalu melirik sepupunya, memberi kode lewat lirikan matanya, supaya Brama mengikutinya keluar.
Dan setelah itu, dua manusia tampan itu sudah pergi dari hadapan Marvel. "Sudah, ayo. Kita ke kamar kamu nak, kamu jangan nangis terus, takut bayi kamu kenapa-kenapa, ingat loh ibu hamil jangan kelelahan, nak," kata Marvel menasihati lagi.
Namun perkataannya membuat Maura kembali emosi, karena sang ayah mengatakan dirinya ibu hamil. "Udah aku bilang, Pa, aku gak hamil, aku gak mau hamil, aku bakalan gugurin kandungan ini." Dengan suaranya yang tertahan karena emosi, Maura berkata pada papanya.
Marvel menghela nafas, dan akhirnya mengangguk. Bukannya dia menyetujui keputusan putrinya, tapi dia ingin membiarkan Maura tenang lebih dulu.
Marvel menangkup wajah Maura, tersenyum kecil saat jejak air mata itu berada di wajah Maura. Full, selama apa putrinya itu menangis. "Papa benci sama aku?" tanya Maura tiba-tiba,
Marvel tersenyum, lagi-lagi dia memberikan senyuman terbaiknya. Marvel tidak menanggapi masalah ini dengan santai, tidak sama sekali. Hanya saja, dia tidak mau jika anaknya melihat dirinya juga ikutan panik, dan membuat Maura kembali sedih lagi.
Marvel mengecup kening putrinya lama, "Papa gak akan pernah benci sama kamu, kamu putri satu-satunya papa. Kamu princess-nya papa, jadi papa gak akan pernah benci sama kamu. Oke?" Maura tersenyum lebar, hatinya menghangat karena kembali mendapatkan pelukan ini.
"Loh, ada apa ini tumben peluk-pelukan?" Suara seorang perempuan dari arah belakang membuat keduanya menoleh. Mendapati perempuan yang memakai dress merah mencolok, dan Maura hanya meliriknya sekilas.
Di sana ada Resti, yang baru saja pulang—atau hanya sekedar singgah—dari pekerjaannya di kantor. "Sayang, Maura kenapa kok gak sekolah?" tanya Resti lagi karena tidak mendapatkan jawaban dari suami dan putrinya itu.
Maura tidak menjawab, dan lebih memilih memeluk lagi papanya. Marvel yang mengerti perasaan Maura pun hanya mengusap punggung putrinya itu. "Kamu ke kamar ya sayang, papa sama Mama bakalan bicara, oke?" suruh Marvel dengan lembut.
Maura mengangguk lemah, dia pun berlalu dari sana tanpa menyapa sang mama, memasuki kamar dan mengunci dirinya di dalam.
Marvel menatap istrinya itu, tatapannya tajam membuat Resti sendiri bingung. "Kenapa mas?" tanya Resti, namun Marvel enggan menjawab. Dia berbalik dan masuk ke dalam ruangan kerjanya tadi. "Masuk, kita harus bicara."
Dengan perasaannya yang masih bingung, Resti pun masuk. Tubuhnya terlonjak kaget saat Marvel membanting pintu ruangan tersebut, "Kenapa sih mas?" tanya Resti bingung.
Marvel meliriknya sekilas, lalu melemparkan sesuatu hingga mengenai tubuh bagian atas Resti, mengernyitkan dahi, Resti pun berbungkuk dan mengambil benda tersebut, dan saat melihatnya, mata Resti membelalak kaget.
Tespeck.
Jantung Resti berdetak kencang, siapa yang hamil? Apa jangan-jangan ternyata benar suaminya itu selingkuh dan selingkuhannya tengah hamil saat ini?
"Siapa yang hamil? Selingkuhan kamu?" tanya Resti yang langsung melontarkan tuduhan pada Marvel.
Namun Marvel malah tersenyum sinis, membuat Resti tersulut emosi. "Mas, jawab aku. Mas selingkuh sampai hamilin perempuan lain? Iya? Jawab mas, jawab–"
"Diam!!" bentak Marvel keras membuat Resti yang berteriak mengatakan tuduhan demi tuduhan padanya seketika diam.
"Itu punya Maura, Maura anak kita hamil! Dia hamil, dan itu karena kamu!" sentak Marvel lagi.
Dan kali ini, keterkejutan seorang Resti bertambah. Satu, fakta tentang kehamilan anaknya tentu saja. Dan yang kedua adalah tuduhan dari Marvel yang mengatakan ini karena dirinya.
"Lihat, karena kesibukan kamu ini, anak kita jadi korban, kamu gak memperhatikan dia, dan sekarang dia hamil, hamil di luar nikah!" teriak Marvel. Resti memejamkan matanya, hatinya sakit mengetahui fakta anaknya hamil tanpa suami, lagi Marvel yang menuduhnya seperti itu.
"Aku gak tau apa-apa, mas. Kenapa kamu salahin aku?" sangkal Resti yang juga kesal karena dituduh seperti itu.
Marvel tertawa keras, tawa yang sangat menyeramkan. "Kamu tanya apa salahmu? Iya? Salahmu adalah kamu yang terlalu sibuk bekerja sampai lupa sama anaknya sendiri, dan lihat, Maura kita jadi korban, dan itu karena kamu," ujar Marvel dengan begitu egoisnya, setelah itu ia pun keluar dari dalam ruangan tersebut meninggalkan Resti yang masih terkejut dengan fakta dan tuduhan-tuduhan yang ia dengar dari mulut Marvel.
***
To be continued