Chereads / impromptu marriage / Chapter 7 - bab 6: keputusan akhir

Chapter 7 - bab 6: keputusan akhir

Plak!

Suara tamparan keras itu terdengar di dalam rumah megah, saking kerasnya tamparan itu, suaranya sampai terdengar ke dapur membuat beberapa perempuan yang sedang mengerjakan pekerjaan rumah tangga itu tersentak kaget dan seketika berlarian menghampiri asal suara. Dan mendapati tiga manusia di dalam ruangan keluarga itu, yang tidak lain adalah majikan mereka itu.

Iya, di sana ada Devino dan kedua mama papanya. Dave dan Marisa, kedua manusia yang merupakan sepasang suami istri, dan juga orang tua Devino itu berdiri dengan wajah mereka yang terlihat emosi. Di depannya Devino yang masih menunduk akibat tamparan keras dari mamanya barusan. Ya, suara tamparan barusan merupakan suara tamparan dari Marisa untuk Devino.

Mereka marah, karena mengetahui anak mereka itu sudah menghamili gadis yang tidak lain adalah anak dari sahabat mereka berdua, dan juga tetangga mereka. "Apa ini Dev, kenapa Om Marvel tiba-tiba telepon papa dan bilang kalau kamu hamilin anaknya? Iya? Itu kamu hah?!" sentak Dave, ingin memastikan sekali lagi, takut-takut perkataan sahabatnya—Marvel—dan juga pengakuan Devino barusan hanya prank, tapi melihat anggukan juga wajah serius dan lelah dari Devino membuatnya yakin jika memang putranya sudah melakukan hal tersebut.

"Maaf Ma, Pa. Waktu itu kita sama-sama gak sadar," jawab Devino dengan suaranya yang lirih, mengerti akan kemarahan kedua orang tuanya itu. Apalagi tatapan mamanya yang tepat sekali di depannya, yang tajam itu.

Plak!

Sekali lagi Marisa menampar anak kesayangannya itu, namun kali ini lebih sedikit pelan. "Mama kecewa sama kamu Dev, mama kecewa!" ujar Marisa dengan suaranya yang bergetar lalu pergi dari sana tanpa sepatah kata pun.

Devino yang melihat itu jelas panik, pria itu gelagapan, tahu dengan watak sang mama yang akan mendiamkan dirinya jika saat marah. "Ma," panggil Devino namun tidak digubris oleh Marisa, perempuan yang sudah menginjak umur 40 tahun namun masih cantik itu berlalu menaiki tangga dengan tangisnya.

"Kamu sudah buat istri saya menangis, Dev!" Devino kembali hanya bisa menangis mendengar ucapan Dave. Iya, pria itu selalu marah jika Devino membuat Marisa menangis. Ingatkan kalian jika Marisa adalah ratu keduanya, jadi jika ada salah satu dari mereka yang membuat mereka menangis maka hal itu akan membuat Dave marah.

Devino hanya tertunduk lesu. Dia tidak berani untuk menjawab perkataan ayahnya. Belum lagi karena masalah kehamilan Maura jadi lebih baik ia diam saja, karena memang dirinya yang salah saat ini.

Dave menghela nafas panjang, menepuk bahu putranya dua kali. "Kamu gentle 'kan?" tanya Dave membuat Devino menatap ayahnya, dengan kernyitan bingung, untuk apa ayahnya menanyakan hal itu, yang tentu saja dirinya gentle.

Meski tidak tahu maksud perkataan sang papa, Devino tetap mengangguk. "Baik kalau gitu, malam nanti kita ke rumah Maura. Kita selesaikan, dan kamu harus berani bertanggung jawab." Setelah mengatakan itu, Dave berlalu dari hadapan Devino untuk menyusul istrinya, membicarakan hal yang akan dilakukan nanti malam.

Karena sejatinya, Dave dan Marisa tidak akan lari dari tanggung jawab mengenai tingkah anaknya itu.

Sementara Devino yang ditinggalkan oleh ayahnya hanya bisa diam, pria itu kemudian duduk di sofa yang ada di ruang keluarga. Lalu mengambil handphone yang berada di saku celananya. Jari-jarinya bergerak lincah mengetik sesuatu di sana.

[Gue harap, keputusan lo tadi gak akan pernah lo lakuin, Ra. Inget, ini salah kita. Jadi kita selesaikan bareng-bareng. Nanti malam kita ketemu! Jangan coba-coba untuk ngelukai diri lo sendiri]

Iya, Devino mengirimkan pesan pada perempuan itu—Maura—dia hanya mewanti-wanti takut saja jika Maura melakukan hal yang dapat melukai dirinya sendiri, juga bayi yang dikandung mereka. Dia tahu seberapa nekatnya Maura jika sedang ditimpa masalah, bahkan dulu saat gadis itu baru memulai masa SMA-nya, dia sempat mabuk-mabukan karena masalah keluarga.

Setelah selesai, Devino kembali menyimpan benda pipih itu di meja, mendongakkan kepalanya kemudian dia menutup mata, sekedar istirahat untuk mempersiapkan diri nanti malam. Karena pasti akan ada perang, perang ucapan tentu saja.

Jadi dia harus beristirahat.

***

Berada di tengah-tengah kumpulan orang-orang dewasa, dengan wajah sembab pucat dan lesu tidak membuat Maura peduli, perempuan yang tengah hamil itu hanya diam dengan tatapan kosongnya, dengan posisi dirinya yang diapit oleh kedua mama dan papanya.

"Jadi, apa keputusan kamu Devino?" tanya Marvel angkat bicara, raut wajahnya tegas, dirinya tentu saja marah dan tidak terima dengan perlakuan Devino yang menyebabkan kehamilan itu, namun tetap saja dirinya tidak bisa sepenuhnya marah di sini.

Devino menunduk dan mengambil nafasnya panjang, kemudian mendongak kembali. Menatap satu persatu orang yang ada di ruangan yang sama dengannya saat ini, termasuk orang tuanya, dan juga tatapan matanya tidak bisa lepas dari sosok yang paling rapuh saat ini.

Maura.

Yah, sepertinya Devino harus menerima kebencian dari sosok perempuan cantik di depannya ini. "Devino, jawab. Kamu jangan diam dan ujung-ujungnya lari dari tanggung jawab." Suara Marisa terdengar tajam menegur putranya yang terus diam itu.

"Maaf." Hanya satu kata itu yang diucapkan Devino pada mamanya. Dia kemudian menatap semua orang di sana dengan serius. "Setelah Devino pikirkan, Devino akan tanggung jawab. Kita bakalan menikah, dan gak ada keputusan untuk menggugurkan kehamilan Maura baik dari aku, dan kamu, Maura," lanjut Devino dengan tatapannya yang terus pada Maura yang juga menjadi menatapnya setelah mendengar perkataannya barusan.

Maura menggeleng, matanya kembali berkaca-kaca bersiap untuk menangis lagi. "Gak, udah gue bilang gue gak mau anak ini Devino, jangan egois!" sentak Maura yang sudah emosi kembali.

"Gue masih sekolah gue juga model, apa jadinya kalau mereka tahu kalau gue hamil, dan udah nikah. Gue gak mau," tolak Maura mentah-mentah. Lupa jika dirinya dikelilingi para orang tua yang tentunya akan menolak juga keputusan Maura. Terbukti dari Marisa yang menggeleng tidak setuju.

"Nak, Maura. Jangan berpikiran seperti itu, kamu sama saja membunuh. Lagi pula sayang, sebentar lagi kamu lulus, jadi jangan khawatir ya?" ujar Marisa yang lebih mengerti dengan perasaan Maura dibandingkan Resti yang hanya diam sedari tadi.

Resti hanya diam memalingkan wajahnya, sepertinya keputusan Devino tidak bisa diganggu gugat apalagi saat melihat Marvel yang menganggukkan kepalanya pertanda ia setuju. "Pa," protes Maura namun sang papa hanya tersenyum tipis dan menarik tubuhnya untuk dipeluk.

Dan Maura hanya bisa pasrah saat mendengar perkataan papanya selanjutnya. "Oke, kita harus segera melakukan pernikahan sebelum kehamilan Maura tersebar, dan soal sekolahnya Maura, nanti akan saya urus."

Maura menghela nafas pasrah dan memejamkan matanya dengan air mata yang perlahan turun dari pelupuk matanya seiring matanya yang tertutup.

***

To be continued