Chereads / impromptu marriage / Chapter 5 - Tanggung jawab

Chapter 5 - Tanggung jawab

Devino masuk mengetuk pintu rumah Maura, dan tidak lama kemudian pintu langsung dibuka oleh asisten rumah tangga di rumah tersebut. Bi Sumi.  "Walah, den Vino, mari masuk den," sambutnya hangat dan membuka pintunya lebih lebar. Dia sudah tidak heran lagi jika anak dari tetangga majikannya itu sering ke sini, bahkan dirinya menyangka jika Devino adalah kekasih dari nona mudanya.

Devino masuk dan mendudukkan tubuhnya di sofa yang di sana, mengedarkan pandangannya ke rumah yang sangat sepi ini. "Seperti biasa den, nyonya sama Tuan udah berangkat ke kantor," ujar Bi Sumi seolah mengerti tatapan dari pria muda di depannya itu.

Devino tersenyum tipis, dia cukup mengerti dengan kesibukan sahabat dari kedua orang tuanya itu, karena Devino juga merupakan seorang pengusaha. "Em, kalau Maura, di mana bi?" tanya Devino langsung pada tujuannya.

Bi Sumi mengangguk, "Ada den, nona muda dari tadi belum keluar malah, padahal hari ini dia sekolah, Neti juga gak ada," jawab Bi Sumi seraya menjelaskan keadaan Maura tanpa diminta oleh Devino.

Mendengar itu Devino mengernyitkan dahi, tidak biasanya Maura seperti ini. "Loh, kenapa emang bi? Maura sakit?" tanya Devino yang dijawab gelengan kepala pelan oleh Bi Sumi.

Devino entah kenapa perasaannya menjadi khawatir, "Kenapa sama Maura? Kenapa dia sampai gak mau sekolah," gumam Devino dalam batinnya, dia melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya, menunjukkan pukul 8 pas. Dan pasti sekolah sudah masuk.

Devino kemudian menatap kembali Bi Sumi, "Saya boleh gak ke atas, temuin dia langsung, lagi pula juga saya ada yang harus dibilang Bi," ujar Devino meminta izin.

Bi Sumi mengangguk ragu. "Saya mah gak ada hak buat larang den, apalagi den Vino mah 'kan orang baik, jadi gak papa," jawab Bi Sumi yang tanpa sadar menyentil perasaan Devino.

Devino tahu apa makna 'orang baik' yang dimaksud Bi Sumi, tidak tahu saja dia jika aslinya Devino sudah menjadi orang jahat pada Maura. "Ya udah bi, terima kasih ya, aku ke atas langsung," izin Devino sekali lagi.

Setelah itu ia pun berdiri dan melangkahkan kakinya menuju tangga dan menaikinya hingga dirinya sampai di depan sebuah kamar, jangan tanyakan apa Devino tahu atau tidak keberadaan kamar Maura, yang pasti ia tahu, karena saat kecil dia sering main ke sini.

"Ra," panggil Devino dan mengetuk pintu kamar tersebut beberapa kali, dahinya mengernyit heran karena ia mendengar suara isak tangis dari dalam, dan Maura tidak menjawab panggilannya sana sekali.

"Ra, hey, lo kenapa?" seru Devino namun tetap saja ia hanya mendengar tangisan, hal itu semakin membuat dirinya bingung dan khawatir.

"Udah gak ada suara nangis lagi, dia ke mana?" gumam Devino karena tidak mendengar suara tangisan lagi, dia menempelkan telinganya di pintu, dan memang tidak terdengar lagi apa-apa.

Dengan sedikit keberanian dan karena masih dilanda khawatir, Devino pun memberanikan diri untuk membuka pintu tersebut, dan ternyata tidak dikunci. Dalam hati dia berucap syukur. "Semoga dia gak marah," ujar Devino dalam hati, sebelum akhirnya membuka lebar pintu kamar tersebut.

Namun alangkah terkejutnya Devino saat membuka pintu kamar tersebut dan yang didapatinya adalah Maura, yang kini membelakanginya, namun yang mencuri perhatiannya itu adalah pisau di tangan Maura, seperti hendak ditusukkan?

"Maura!!" seru Devino karena Maura benar-benar hendak menusukkan pisau itu ke perutnya, dan karena teriakkan itu, Maura langsung melirik Devino.

Wajah Devino mengeras, entah apa alasan Maura berbuat seperti itu namun intinya dia marah. "Lo kenapa lakuin itu–" Belum sempat dia mengeluarkan amarahnya, Maura tumbang di depannya, dan langsung saja dengan sigap dia menahan tubuh Maura.

"Ra bangun Ra," ujar Devino panik, menepuk-nepuk pipinya berkali-kali, karena tidak ada pergerakan dari Maura, Devino pun akhirnya mengangkat tubuh itu lalu ia tidurkan di ranjang milik Maura.

Kemudian tanpa menunggu lama, dia langsung menelepon dokter pribadinya dan juga meminta bi Sumi untuk mengambilkan air hangat untuk Maura.

***

"H-hamil?" Devino menatap tak percaya dokter pria di depannya ini, setelah diperiksa dan ternyata dokter pribadinya itu mengatakan Maura tengah hamil. Benarkah itu?

Si dokter tersebut mengangguk, Brama namanya, dokter pribadi sekaligus sepupu dari Devino. "Dari yang gue periksa sih iya, tapi untuk membuktikannya langsung, bawa aja ke rumah sakit kandungan," jawab Brama.

Pria itu menatap Devino yang tampak tegang, apa jangan-jangan?? "Vino," panggilnya membuat Devino menoleh, "lo gak mungkin lo kan?" tanya Brama ragu-ragu.

Melihat kecurigaan di mata sepupu sekaligus sahabatnya itu, Devino pun mengangguk pasrah. Tidak apa-apa, karena Brama adalah sepupunya. "Vin, lo?" Brama menganga tidak percaya, ia tidak percaya jika sepupunya itu melakukan seperti itu. Tapi melihat wajah serius Devino, sepertinya memang iya.

Brama menggelengkan kepalanya berkali-kali, pria itu terkekeh kecil. "Vin, lo gila? Maura masih sekolah, dan dia juga model, gimana Vin ke depannya? Gimana lo kasih tau orang tua lo, orang tua Maura juga?" tanya Brama yang masih tidak mengerti dengan jalan pikiran dari Devino.

Devino menghela nafas panjang, dia juga sama tidak menginginkan hal ini, "Iya, gue tahu, gue–"

"Apa yang kalian maksud? Kenapa saya harus dikasih tahu? Apa ini?" Suara dingin Marvel membuat percakapan itu berhenti, Devino langsung menoleh ke belakang tepatnya pintu masuk kamar, menelan ludahnya gugup saat melihat keberadaan Marvel.

Astaga, ternyata benar dunia sedang tidak memihak dirinya. Dan dengan berat hati, Devino harus mengatakan kehamilan Maura pada Marvel.

***

"Apa?! Hamil?!" teriak Marvel terkejut dengan keadaan putrinya. Setelah memikirkan apa yang harus ia lakukan, akhirnya Devino mau mengatakan hal yang sebenarnya pada ayah dari Maura itu. Kini ia, dan Marvel tidak lupa juga Brama berada di dalam ruang kerja Marvel.

Devino mengangguk pelan, merasa bersalah. "Iya om, maaf. Saya waktu itu ngelakuin pas ulang tahun papa, dan saat itu saya mabuk," ujar Devino menjelaskan secara jelas.

Marvel meraup wajahnya. Tidak menyangka jika putrinya yang masih SMA itu sudah hamil, bahkan di luar nikah, oleh anak dari sahabatnya sendiri pula. "Kamu tahu 'kan apa akibat dari yang kamu lakukan ini Devino?!" bentak Marvel marah.

Devino hanya bisa menunduk dengan wajah lesu, dia sebenarnya sedikit takut dengan kemarahan dari Marvel, "Jawab! Bagaimana nanti ke depannya anak saya hah? Kamu mikirin Maura gak?!" bentak Marvel lagi.

Devino mendongak, dan menganggukkan kepalanya pelan. "Saya tahu om, saya juga gak mau ini terjadi, tapi semuanya udah terjadi om, saya, saya bingung harus apa," ujar Devino, suaranya terdengar lirih.

Brama yang sedari tadi di sampingnya hanya mendengus, sepupunya itu benar-benar bodoh. "Ngelakuin aja bisa, dasar," makinya dalam hati.

Marvel mengatur nafasnya yang tak beraturan, pria setengah baya itu menatap Devino lekat, sebelum akhirnya berujar. "Tanggung jawab dengan nikahi putri saya."

***

To be continued