Chereads / The Scenic Acatalepsy / Chapter 11 - Jonathan di Rumah Chairi

Chapter 11 - Jonathan di Rumah Chairi

Gayatri melirik arlojinya sekali lagi, menghitung sudah berapa puluh menit Ia berdiri di ruang kerja Ayahnya. Gayatri tidak terlambat, Ia datang sesuai waktu yang diminta. Malah Ayahnya itu yang entah kemana, tak terlihat di dalam atau sekitar rumah mewah tiga lantai itu. Gadis itu sebenarnya sangsi untuk berlama-lama berada di rumah itu jika tidak terpaksa. Kakinya bahkan sudah pegal, meminta pulang akibat kelalahan berdiri sejak tadi. Banyak kursi disana, namun Gayatri pantang duduk sebelum dipersilakan, meskipun di rumah Ayahnya sendiri.

Hampir saja Gayatri keluar ruangan jika Ia tidak mendengar suara gerbang utama rumah dibuka. Melihat keluar jendela, tampak sebuah Range Rover memasuki pekarangan rumah. Oh, itu dia, Ayahnya.

Gayatri menghela nafasnya sejenak. Penampilan formal Ayahnya dengan jas dan sepatu mengkilap itu masih tetap dibencinya sejak dulu. Apalagi seorang ajudan bertubuh kekar yang selalu mengikutinya kemanapun sang tuan pergi. Membosankan, pun menyebalkan. Haruskah seorang yang mengaku sebagai cerminan manusia satu negara bergaya hedonik ekstrem seperti itu?

"Oh? Sejak kapan disini?"

Gayatri terkesiap, seketika membungkuk rendah memberi salam, "Sejak tadi," singkatnya.

Ayahnya itu hanya tersenyum miring tipis, melepas jasnya sebelum duduk di kursi kerja mewahnya, "Bagaimana kabar Kamu? Kenapa sulit sekali dihubungi oleh anak buah Bapak?"

Gayatri hanya menggeleng, "Sibuk kerja. Ada perlu apa memanggil Aya kesini?" tanyanya datar, sedatar raut wajahnya yang sama sekali tak berselera menanggapi senyum Ayahnya yang belum apa-apa sudah terasa politis.

"Duduk dulu lah ..." titahnya, menunjuk satu kursi di depan mejanya. Gayatri menurut saja, "Cepat saja, Pak. Ada apa? Aya mau istirahat," pintanya.

"Menginap saja disini, kenapa dibuat sulit?" Ayahnya itu sibuk dengan iPad di tangannya, entah mencari apa. Gayatri tak berkomentar apapun, sampai Ayahnya itu menunjukkan layar iPad padanya, "Kamu yang merilis berita ini?"

Gayatri terdiam sejenak. Benar saja dugaannya, bahwa sang Ayah pasti akan bertanya soal berita analitik eksklusif yang baru dirilis satu jam lalu oleh dua media besar; VOLAR Media dan Ledger News. Berita yang semula dipaksa take down oleh Gayatri malah dirilis dalam hitungan jam, dengan analisis lebih dalam menyebut komisi-komisi di DPR, Kementrian ELH, dan nama-nama pebisnis besar lain yang disinyalir memiliki kaitan dengan Kartasena Energi dan lainnya. Perilisan itu menyusul perintah Yohana untuk memanaskan situasi, melihat siapa saja pihak-pihak yang 'kepanasan' dan pada akhirnya menunjukkan gerak-gerik mencurigakan.

Gerak-gerik itu rupanya langsung ditunjukkan oleh salah satunya, di hadapan Gayatri langsung. Benar-benar umpan yang berhasil.

Melihat respon datar Gayatri, Ayahnya itu menegakkan duduk, mencondongkan tubuhnya ke depan mengintimidasi, "Berapa kali Saya bilang? Jangan terlalu berani, Gayatri Tara," ujarnya dingin menusuk.

Gayatri balas menatap tajam Ayahnya, "Kenapa tidak bisa terlalu berani? Pers tidak dilarang untuk menyampaikan analisisnya sendiri. Toh, partai pimpinan Bapak tidak disebutkan disini bukan?"

"Ya, memang tidak," angguk Ayahnya sarkas, "Tapi bukan tidak mungkin kalau nama Chairi Gunadhya akan disebut oleh media lain jika isu ini diperpanas. Atau bahkan ... oleh Kamu sendiri," lanjutnya.

"Lalu apa poinnya? Apa yang Bapak takutkan jika nama Bapak disebut? Belum tentu konotasinya akan negatif. Atau memang takut terbongkar negatifnya?"

"Gayatri ..."

"Aya sudah pernah bilang sama Bapak. Kalau suatu hari Aya harus menyelidiki Bapak, jangan posisikan Kita sebagai Ayah dan Anak, karena itu urusan berbeda."

Chairi tersenyum miring, "Jangan sombong, Gayatri. Alasan kenapa Saya tidak mengambil tindakan atas sikap lancang Kamu selama ini adalah karena Kamu masih Anak Saya. Sebaiknya Kamu berterima kasih," ujarnya arogan.

"Seharusnya kalau memang Bapak adalah orang yang berkuasa, buktikan semua ini salah dengan benar, bukan dengan mengancam dan tindakan represif, apalagi ... terhadap Saya yang hanya seorang jurnalis," jawabnya, sungguh-sungguh berbicara tanpa takut.

"Ini politik, jangan kira akan semudah itu membuat idealisme. Kamu tidak paham apa-apa, Gayatri. Kamu juga harusnya tahu terimakasih, karena Kamu hidup dari politik!" Chairi mulai meninggikan suaranya.

Gayatri menggeleng tegas, "Enggak, Pak. Aya gak hidup dari politik dan apa yang Bapak bangun selama ini sampai menghilangkan nyawa Ibu ..."

"Gayatri!"

"Kenapa, Pak? Merasa bersalah? Apa masih belum paham kenapa Aya gak pernah bersimpati sama apa yang Bapak lakukan, termasuk di lingkaran korupsi ini?"

Anak dan Ayah itu bertatapan nyalang, saling membentak dalam diam. Sampai akhirnya suara Chairi menggema di ruangan kerja luas dan kosong itu. "Haidar!" panggil Chairi pada ajudannya, membuat Gayatri mengerutkan dahinya bingung. Apalagi sekarang?

Tak lama, pria bernama Haidar itu muncul, "Ada apa, Pak?" tanyanya.

Chairi menunjuk Gayatri dengan dagunya, "Kurung dia di kamar," titahnya cepat kemudian berlalu begitu saja keluar ruangan. Bantingan pintu itu bahkan terdengar nyaring, memekakkan telinga.

"Bapak!"

"Lepas!"

Gayatri memberontak begitu Haidar mencoba menarik tangannya, "Saya bilang lepas, dengar gak Kamu?!" bentaknya. Namun Haidar hanya menuruti Chairi, "Maaf, Non. Saya gak bisa melawan," ujarnya, sedikit merasa bersalah harus berbuat kasar pada wanita, terlebih ini Gayatri yang dikenalnya sejak lama.

"Ck! Lepas! Kenapa Saya harus diam disini?"

"Bapak!"

****

Jonathan melangkah tergesa begitu turun dari mobil. Hujan gerimis malam itu, namun yang lebih membuatnya melangkah cepat adalah soal Gayatri yang tidak bisa dihubungi sejak tiga jam lalu, tepatnya usai berita kontroversial itu dirilis. Tanpa perlu diberitahu, Jonathan sudah paham pasti gadis itu tengah bermasalah dengan Ayahnya. Kini Jonathan hanya berharap tidak ada hal buruk terjadi pada sahabatnya itu.

Bi Erni, seorang asisten rumah tangga membukakan pintu usai Ia menekan bel rumah dua kali. Wanita paruh baya itu bahkan sudah memicingkan mata akibat mengantuk dan tidurnya diganggu.

"Oh, Den Jojo? Ada apa, Den? Nyari Non Aya, ya?" tebaknya, setengah berbisik di akhir. Memang itu topik sensitif.

Jonathan mengangguk, "Iya. Dimana Gayatri, Bi?"

"Non Gayatri dikurung di kamar lantai tiga, Den. Kayak biasa. Kuncinya dipegang Bapak, Kita mau ngantar makanan aja gak dibolehin."

"Ck! Bapak dimana? Udah tidur?"

"Biasanya sih belum, Den. Di ruang kerja. Mau disampaikan? Atau mau langsung datang?"

"Langsung datang aja, Bi. Maaf udah ganggu," ujar Jonathan, tersenyum sopan sekaligus tak enak hati. Namun Bi Erni tampak ragu, "Tapi Bapak ... kayaknya lagi emosi deh, Den. Apa gak besok aja ketemunya?"

"Gak us ..."

"Jonathan?" panggil seseorang, rupanya si tuan rumah yang sedari tadi dibicarakan sudah muncul duluan, membawa gelas besarnya hendak ke dapur.

"Malam, Om." Jonathan segera menyalami Chairi sopan, "Maaf menganggu, tapi ... Gayatri sedang disini kan?" tanyanya to the point.

Chairi hanya mengangguk, mempersilakan Jonatan duduk, sementara Bi Erni undur diri. "Kenapa Kamu selalu mencari Gayatri kesini setiap dia gak bisa Kamu hubungi?"

Jonathan menggeleng canggung, "Hanya feeling, dan selalu benar begitu," ujarnya setengah sarkas. Halus sekali.

Chairi tersenyum miring, "Saya tau Kamu menyukai anak Saya. Tapi lain kali, Kamu tidak perlu terlalu ikut campur, Jonathan ..."

Telak, Jonathan tak bisa berkata-kata, Ia seolah tertangkap basah. Raut wajah Chairi benar-benar menghakiminya.

"Kecuali dengan satu syarat ..."

Jonathan mendelikkan matanya tajam, "Syarat ... apa, Om?"

"Ikuti Gayatri, awasi dia, dan laporkan ke Saya ..."

"Saya juga akan membayar Kamu untuk itu."