Chereads / The Scenic Acatalepsy / Chapter 12 - Kamera di Bandara

Chapter 12 - Kamera di Bandara

Jam tiga pagi, masih sangat sepi di bandara. Hanya beberapa petugas kebersihan yang berlalu lalang disekitar Lintang yang sejak tadi menundukkan kepala di kursi tunggu. Pria itu bukan sedang mengantuk atau tertidur, justru Ia tak bisa berhenti berpikir seiring tangannya yang terus menggulirkan layar ponsel.

"Kenapa seolah media ini melakukan pengalihan isu?" tanyanya dalam hati, masih menerka siapa gerangan jurnalis dibalik berita analisis eksklusif yang mulai menyasar para elit di DPR soal kasus korupsi itu?

Berita soal dirinya dan rumah tiga lantai tiba-tiba saja tenggelam, atau bahkan menghilang. Sekali lagi Lintang bisa memastikan, bahwa artikel berita yang mencantumkan foto rumahnya itu sudah dihapus dari portal utama Ledger News. Topik seputar korupsi itu berganti arah usai digiring oleh analisis eksklusif sebuah media lainnya: VOLAR Media. Lintang menganggapnya pengalihan isu, meski dalam matriks kasus yang sama. Entah Ia harus merasa diuntungkan atau tidak karena namanya tidak jadi bocor ke publik.

Tidak hanya itu, rasanya Lintang ingin bertemu, berbicara, dan berdiskusi dengan jurnalis yang dengan sangat berani mengusik para elit pemerintah. Apa yang dipikirkannya beberapa hari terakhir rupanya turut dipikirkan oleh si jurnalis radikal yang namanya tak dicantumkan dalam analisis eksklusif itu.

"Siapa dia? Apa yang dia tau sejauh ini ..." gumam Lintang pelan. Bahaya, sebentar lagi mungkin Ia akan mati penasaran. Tapi apa dayanya untuk menyelidiki lebih lanjut? Ia bahkan harus segera kembali ke Sierra Leone, penerbangannya jam enam pagi.

Kehabisan energi, Lintang membuka sebungkus onigiri yang Ia beli di minimarket dekat area cek-in tadi. Beralih dari ponsel sejenak, matanya mengedarkan pandangan ke sekeliling. Jangan sampai ada yang mengikutinya, itu pesan Sandy.

Lintang sebenarnya malas sekali harus bertingkah bak artis papan atas yang menghindari paparazzi seperti ini. Tapi demi kebaikan Papanya dan perusahaan, Ia harus rela direpotkan sedikit.

DRRT!

DRRT!

Ponselnya bergetar kemudian, tanda pesan masuk.

[iMess]

(Sandy Triadi - Lawyer Kartasena)

Berita terbaru sepertinya tidak akan Kita take down lagi

Itu bagus, pengalihan isu

Saya akan lebih memaparkan temuan Kita dalam wawancara kedepan bersama media

Lintang tak berniat membalas pesan-pesan Sandy itu, langsung saja menutup aplikasi berkirim pesan, kembali pada media sosial twitter yang sedang diawasinya. Pergerakan berita dan opini publik berputar sangat cepat disana, paling up to date diantara yang lain.

Namun lagi-lagi Lintang terdistraksi akibat pesan masuk baru.

[iMess]

(Zevanya Louise)

Sent picture

Lintang, Kamu lagi di Indonesia?

Lintang mengerutkan dahinya, memperbesar gambar tangkapan layar detail lokasi akun instagram miliknya. Oh, Lintang lupa, seseorang bisa sekali mendeteksi keberadaannya lewat media sosial yang satu itu.

Lalu sekarang apa yang harus Ia katakan pada Zevanya?

Lintang menghela nafasnya berat, menyeselaikan onigirinya sebelum membalas pesan. Namun baru satu huruf yang berhasil muncul di kolom balasan ...

CKRK!

CKRK!

Jelas terdengar suara jepretan kamera dari sisi kanan Ia duduk, membuatnya menoleh secepat kilat mencari sumber suara yang memungkinkan.

Tidak ada orang.

Tapi suara itu jelas, Lintang tidak berhalusinasi.

"Oh ..."

Lintang beranjak dari tempat duduknya, berjalan cepat sekali begitu Ia melihat bayangan seseorang berjaket denim dengan topi terpantul di cermin ruang tunggu bandara dekat metal detector. Tidak terlihat kamera di tangannya memang, tapi gerak-geriknya persis penguntit.

Benar saja, langkah seseorang itu semakin cepat seiring Lintang yang berlari ke arahnya.

"Tunggu!" Berhasil, Lintang memegang bahu orang itu. Memeriksa sekilas, Ia seorang pria, lebih tua darinya, mungkin paruh baya.

"Ya?" Pria itu merespon polos.

"Maaf, apa Anda mengambil foto Saya tadi?"

Pria itu menggeleng dengan ekspresi herannya, "Tidak. Buat apa Saya mengambil foto Anda?"

Lintang meneguk salivanya sendiri, agak malu Ia harus melakukan ini, "Bisa tunjukan riwayat pengambilan gambar ponsel Anda?"

****

Cahaya silau matahari dari balik jendela nampaknya mengganggu Gayatri dari tidurnya. Gadis itu berbalik arah agar cahaya tak lagi menerpa wajahnya. Namun malah punggungnya itu yang kepanasan. Maka akhirnya Ia memutuskan untuk bangun saja.

"Hshhh! Pusing ..."

CKLK!

"Hey! Morning!" sapa seseorang dengan ceria dari balik pintu, menyembulkan hanya kepalanya saja sebelum Ia masuk dan membuka tirai jendela. Gayatri masih mengumpulkan kesadarannya, agak lama akibat kepalanya yang juga pusing sisa semalam.

"Enjoy your time with my brother? How was it going?" tanya gadis berambut pirang dengan gaya bicara ala-ala bule itu.

Gayatri menggeleng, "Kenapa Kamu ada disini, Krystal?"

"Hey? Did you totally forget that you've been drunk with my brother last night? He brought you here, to our house," jelasnya seraya berkacak pinggang, mengomel penuh drama. Oh, Gayatri sepertinya mabuk parah semalam hingga Ia tak ingat apapun.

Krystal melipat tangannya di depan dada, "Ngapain aja sama Bang Jo?"

"Hah?"

"Ngapain aja sama dia semalem?" ulang Krystal, menaik-naikkan sebelah alisnya, membuat Gayatri semakin pusing tak mengerti.

"Stop asking nonsense, Krys!" Jonathan muncul dari balik pintu tiba-tiba, membuat dua orang itu terperangah kaget. "Tenang aja, Aku semalem gak mabuk. Jangan dengerin Krystal, otaknya emang udah gelap ketutup aspal jalan."

Krystal hanya memutar matanya malas.

"Abis ini turun ya, makan dulu sebelum Kamu pergi. Ilangin dulu itu alkohol. Lain kali ..." ujar Jonathan menggantung, berkacak pinggang di depan pintu, "Kalau mau minum-minum sampai teler tuh bilang, Aku bingung karena Kamu tuh aneh banget kalau udah mabuk, Aya."

"Ooow, shouldn't you two just date?"

"Shut your ass off, Krystal!"

Krystal hanya mengedikkan bahunya, lanjut keluar kamar, meninggalkan Gayatri dan Jonathan berdua.

Jonathan lantas mendekat, "Ada masalah apa sih?" tanyanya seraya menuangkan air dari teko gelas kecil di atas nakas, "Minum dulu, acak-acakan banget Kamu."

"Makasih." Gayatri menurut saja, tenggorokannya itu kering kerontang, pun panas hawanya akibat alkohol.

"Hm. Ngomong-ngomong Kamu ... gak diapa-apain sama Ayah Kamu kan?" lanjut Jonathan bertanya, pasalnya sejak malam pertanyaannya itu tak dijawab sama sekali.

Gayatri menggeleng, "Enggak. Tapi ... kedepannya gak tau. Aku gak bisa membaca pemikiran apalagi pergerakan Ayahku sendiri ..."

Jonathan terdiam beberapa saat, ikut menata pikiran. Perintah yang dibalut kata 'persyaratan' oleh Chairi semalam masih belum diputuskannya. Bagaimana bisa Ia menjadi tangan kanan orang yang dibenci Gayatri?

"Jo?"

"Iya?"

"Kamu gak usah lagi datang ke rumah mulai sekarang. Itu bahaya. Suasana ke depan semakin gak aman, setidaknya itu perasaanku aja. Juga, lebih baik Kita ..."

"Setop bekerja sama dan saling ketemu. Aku khawatir Kamu ikut kenapa-kenapa sebagai imbas dari apa yang Aku kerjakan."

Jonathan menggeleng tegas, "Kalau Kamu butuh bantuan, Kamu bisa selalu bilang sama Aku. Gak perlu ada larangan seperti itu, karena Aku udah menanggung risikonya sejak hari dimana Kamu meminta buat nyari informasi soal Kartasena dan dua perusahaan lainnya."

"Ya, tapi lebih baik sampai disitu aja keterlibatan Kamu."

"Enggak, Aya. Rasanya Aku udah berkomitmen penuh perihal membantu Kamu. Jadi jangan dilarang. Oke?"