Tak sampai lima menit jeda, Lintang harus kembali berdiri dari kursinya, tersenyum manis menyambut seorang pasien anak dan walinya masuk ke ruang periksa. Cecil, perawat yang mengantar mereka menyerahkan hasil pemeriksaan awal pada Lintang.
"Hello, Mira. How are you?" Lintang membaringkan anak perempuan berusia lima tahun itu di atas tempat tidur, mulai bergerak memeriksa suhu tubuh dan denyut jantungnya. Sementara itu, sang ibu yang mengantar menunggu dengan telaten, menjawab pertanyaan-pertanyaan Lintang seputar kondisi anaknya.
"Are you still dizzy?"
"Yes …" Mira menjawab lesu. Lintang mengangguk, "Have you been feeling like want to vomiting lately?" lanjutnya, menanyakan gejala-gejala lain yang mungkin dirasakan. Anak itu kembali mengangguk.
"When did he start to have a fever and her eyes turns yellow?" lanjut Lintang, bertanya pada ibunya kali ini, usai memeriksa sklera mata dan kuku jari Mira yang mulai berwarna kuning pudar.
"The fever seems about a week ago. I'm even more worried when his eyes turn yellow too since that afternoon she was playing with her friends," jawab sang ibu, membuat Lintang mulai khawatir. Afram yang lebih dulu terkena hepatitis A bahkan belum pulih, dan sekarang sudah bertambah satu lagi pasien dengan penyakit yang sama. Tiga pasien Lintang sebelumnya juga sama, hanya tingkat gejalanya saja yang berbeda-beda.
"Sorry, Mira, but does this hurt?"
"Ah …" Mira meringis begitu Lintang menekan perut kanan atasnya, jelas anak itu merasa nyeri di tempat organ hatinya berada.
"Does Mira have a history of liver or autoimmune disease?"
"No, Doctor."
"What about the vaccine? Has she received it?"
"Yes, Doctor."
"Okay." Lintang menaruh kembali stetoskopnya ke saku, sedikit menghela nafas, "Judging from the symptoms, Mira may has hepatitis. I suggest that Mira be treated here first until her condition improves somewhat."
"Oh, God. It seems so."
"Yes, ma'am. For now, I will give Mira the interferon medicine first. Then I also need to check her antibodies, to find out what type of hepatitis she has, and its severity. This will determine what treatment is right for her later."
"All right, Doctor. Thank you."
"No problem, please take care of your cleanliness, especially in your house."
****
Antrian mendadak terlihat di ruang sanitasi, membuat Lintang yang kebetulan hendak membersihkan diri usai menangani beberapa pasien dengan gejala hepatitis itu heran. Pasalnya ruang sanitasi itu dikhususkan setelah penanganan penyakit menular atau tindakan bedah. Pasti ada sesuatu, pikir Lintang.
"Hey, Lintang. How was your day meeting the cutie patients?" Taylor menepuk bahunya pelan begitu ikut mengantri tepat di belakang Lintang.
"Me? It's not that good. Three with HAV, and one suspected with HBV. I think the kids here have the same symptoms, and it seems like the hepatitis virus already spreads within their circle."
"Really? Why are you so serious? Today even I'm just joking with them, even one of them is just complaining that he feels hungry. She thinks hunger is a disease, gosh …"
Lintang sontak tertawa, lucu sekali, bagaimana bisa rasa lapar dikira penyakit? Sungguh anak-anak lucu.
"Then why are you queuing here? You don't treat serious illnesses." Lintang heran. Taylor hanya mengedikkan bahunya, "I'm just a little bit obsessed with cleanliness. I have sensitive skin, so I really need to clean it."
"Ah... that's how it looks ..."
"Yes, but I heard that nutritionists and other doctors have had serious patients, some with vomiting, abdominal pain, chronic gastritis and hepatitis too."
Lintang mengangguk dalam kekhawatirannya, "I believe that this is a serious matter, if it's true that they all have hepatitis, it can spread, it's dangerous. We have to move fast to cure them."
****
Kalau bukan karena Zevanya yang menariknya tadi, Gayatri ingin pindah tempat saja rasanya, lantaran terlalu sulit mendengar obrolan ilmiah nan serius dari tiga dokter dan satu ahli gizi di meja makan siang itu. Astaga, menurunkan selera makan saja. Bukankah ada topik yang lebih santai agar makanan Afrika dengan cita rasa kurang familiar di lidah itu sedikit lebih gurih?
"Vaksinasi sekarang udah batch berapa, Rhe?" tanya Lintang, baru saja menggeser topik dengan jeda barang semenit.
"Batch tiga. Buat batch empat sama lima, vaksinnya lagi di perjalanan."
"Sekaligus?"
"Ya, takutnya kayak kemarin lagi, telat, bahaya. Apalagi ini makin banyak yang kena hepatitis."
Empat orang itu termasuk Gayatri mengangguk. "Semoga aja gak akan telat-telat atau dicekal lagi, soalnya Kita udah punya yang jagain." Lintang melirik Gayatri sok akrab, membuat si pembicara kikuk sendiri. Ayolah, Gayatri masih saja menaruh dinding es ditengah-tengah mereka yang satu negara.
"Rencana pengamanannya gimana, Tri? Aku dengar Kamu yang koordinir soal itu." Rhea memecah kecanggungan.
Gayatri mengangguk, menelan terlebih dahulu makanan agak berlemak itu, "Iya, Saya yang koordinir. Rencanaya Kami akan buat beberapa titik pemeriksaan sepanjang jalur distribusi logistik. Perizinan soal itu sedang diproses administratif, akan kerjasama dengan kepolisian lokal juga, jadi sekiranya Kita ada pelindung tambahan," jelasnya panjang lebar.
"Rencana yang bagus. Kalian dilengkapi persenjataan kan? Amari kemarin gak bisa ngapa-ngapain karena dia ditodong senjata."
"Ya, Kami punya senjata, buat melindungi diri, dan juga base camp ini tentu saja."
Tama mengangguk paham, "Kalian itu ditugaskan dari mana sih? Kita pahamnya kan dari WHO ngirim personel militer. Tapi spesifiknya, kalian itu asalnya dari unit mana? Apalagi Kamu. Saya sempat kaget ada orang Indonesia di formasi militer, biasanya jarang."
Gayatri sedikit terdiam, sebelum akhirnya 'terselamatkan' oleh Lintang yang mendadak tertawa sarkas, "Pastinya bukan Polri sih, Tam. Mereka mana ada yang tau Kita kerja ditugasin disini, dan kalaupun iya Gayatri dari sana, pasti di Indonesia akan sedikit heboh."
"Bisa aja diem-diem," bantah Zevanya.
"Hmm masa sih?" Lintang malah menggoda tunangannya itu.
"Ck! Tau ah."
"Tapi bener kata Lintang, emang Kita pernah gitu dapet perhatian khusus?" sambung Tama, jarang-jarang ada di pihak Lintang. Biasanya kan membully saja kerjanya.
"Udah sih, Tam. Mau diperhatikan atau enggak ya Kita tetap aja kerja disini sepenuh hati dan jiwa."
"Ya gak gitu, Rhe … maksudku …"
"Ekhm!" Lintang memotong, berpura-pura batuk bahkan, membuat Tama, Rhea, Zevanya, bahkan Gayatri menatapnya aneh. Dokter ini benar-benar random dan kurang berwibawa jika sedang tidak bertugas, batin Gayatri.
"Kenapa Lo?"
"Sejak kapan Lo ngomong pake Aku-Kamu, Tam? Spesial bener kedengarannya," ujarnya menaik turunkan alis. Tama dan Rhea hanya memutar mata mereka malas. "Kurang-kurangin nonton gosip, Lin. Sampe merasuk ke dalam jiwa gitu kejulidannya. Miris."
"Gak usah kaku-kaku banget lah, Tam. Gak apa-apa ngomong pake Aku-Kamu, sama Rhea, sama Zevanya, sama Gayatri, atau sama Gue juga boleh. Aku siap mendengar Kamu kok ..."
Satu meja itu tertawa kecuali Tama yang pura-pura muntah. Lintang si pembawa suasana memang tak pernah habis ingin menjahili sahabatnya yang satu itu.
"Gak waras Lo, Lintang!"