Alessia menggigit ibu jarinya karena menyadari sesuatu. Ia tak bisa menunaikan kewajibannya sebagai seorang istri pada Christian Allen.
Karena…
Karena..
Perempuan itu sedang mendapatkan tamu bulanannya.
Tak mungkin bukan mereka melakukan itu. Mengingat betul bagaimana amarah Christian padanya beberapa saat lalu membuatnya harus membuang jauh-jauh pikiran akan melakukan malam pertama di hotel mewah ini.
Alessia tiba-tiba melangkah mundur. Ia masih tetap menggigit bibir bawahnya. Pikirannya ke mana-mana, tak tentu arah.
"Bagaimana ini? Haruskah aku mengaku pada Tuan Christian? Tidak mungkin kalau aku berbohong padanya mengenai hal ini. Bisa-bisa dipikirnya aku sedang membuat alasan.
Ah, bagaimana ini, Tuhan? Apa yang harus kulakukan? Serba salah jadinya," keluh Alessia pada dirinya sendiri. Ia menggaruk asal rambut panjangnya sambil berjalan mondar-mandir di dalam kamar mandi.
Aha!
Lampu pijar di kepalanya menyala. Tiba-tiba ia menemukan solusi. Karena hal terbaik dalam menyelesaikan masalah adalah solusi, bukan malah memperkeruh masalah.
Alessia mengencangkan tali pada pinggangnya. Dan kini ia merapikan penampilannya dari pantulan cermin besar di atas wastafel. Merasa sudah lebih baik dan pantas untuk menemui tuan mudanya, Alessia menggapai gagang pintu.
"Wish me luck," harapnya sambil membuka pintu. Tak lupa ia merapalkan doa pada sang Pencipta untuk melindunginya saat ini.
Dan..
Zingggg
Hening..
Di mana pria itu?
Apakah pria itu sudah bisa berjalan?
Cepat sekali menghilangnya!
Alessia berlari secepatnya ke arah pintu kamar. Di luar sana berdiri dua orang pengawal yang ditugaskan menjaga dirinya.
Alessia tersenyum getir. Tanpa bertanya, ia pun sudah tahu jawabannya. Ia tak akan membuat kesalahan konyol dengan bertanya pada dua pengawal tersebut.
Ditutupnya pintu secara perlahan-lahan. Alessia tampak kebingungan. Di mana sang suami saat ini?
Alessia mengempaskan pantatnya di tepi ranjang dan menyandarkan punggungnya di headboard. Pandangannya menerawang jauh.
"Tuan, kau ada di mana? Apa sebegitu marahnya kau padaku sampai-sampai kau meninggalkan aku di sini sendirian? Tanpa kata, tanpa bicara, dan kau tiba-tiba hilang," keluh Alessia pada dirinya sendiri.
Perempuan itu tampak melamun. Wajahnya berubah sendu tak bersemangat seperti sebelumnya. Padahal beberapa saat lalu semangatnya begitu berapi-api, tapi kini mencelos begitu saja.
Rasanya ia ingin ambruk saja!
***
Di kamar Raymond.
Christian baru saja menutup mulutnya. Belum ada beberapa detik ia melemparkan pertanyaan pada Raymond, dan pria itu-lawan bicaranya- terlihat jelas berpikir keras saat akan menjawab pertanyaan dari pewaris Allen Group tersebut.
"Kenapa kau diam? Tak seperti biasanya. Apa yang kau coba sembunyikan dariku?" kejar Christian ketika tak juga mendapat apa yang ia inginkan.
Christian hanya membutuhkan jawaban. Hanya itu.
Dan Raymond, sepertinya sengaja mengulur waktu.
"Kau sengaja menyulut emosiku?" tantang Christian dengan tatapan setajam belati yang siap menembus jantung lawan.
"Bukan begitu, Tuan. Saya tidak memiliki maksud semacam itu pada Tuan. Saya tidak berani melakukannya. Sungguh," yakin Raymond pada Christian.
"Lalu kenapa kau diam? Kau jelas mendengar pertanyaanku bukan? Kenapa tidak juga kau jawab? Apa maksudmu sebenarnya?" tanya Christian penuh emosi.
Raymond tak punya pilihan lain. Dihirupnya napas dengan dalam-dalam.
Exhale.
Inhale.
Begitu berulang-ulang sampai ia merasa yakin untuk buka suara.
"Tuan, sebenarnya—," ucap Raymond terhenti ketika Christian mengangkat tangannya tinggi-tinggi.
"Kuulang sekali lagi pertanyaanku, bagaimana bisa kau memilih Alessia sebagai pengantinku? Apa yang membuatmu memilihnya? Katakan padaku apa alasanmu!" tegas Christian dengan mata menatap dalam-dalam.
Raymond mati kutu.
Ingatan tadi pagi memaksanya mengulang kembali peristiwa itu…
"Tuan Raymond, kenapa anda di sini?" tanya Matthew pada Raymond yang sedang memantau kondisi di luar altar pernikahan.
Matthew yang kebetulan sedang membawa beberapa buket bunga untuk dibawa masuk ke dalam menghampirinya.
Raymond terlihat gelisah. Ia hanya bisa garuk-garuk kepala.
Mau tak mau Raymond menceritakan dengan singkat apa yang terjadi pada Matthew.
Karena bagi Raymond, Matthew bukanlah orang asing. Ia sudah lama mengenal Matthew selama bekerja di bawah naungan Allen.
"Aku dapat membantumu, Tuan Raymond," ucap Matthew tiba-tiba.
"Membantuku? Maksudmu apa, Paman Matt?" tanya balik Raymond tak mengerti.
Raymond bingung untuk sesaat. Diarahkannya kedua mata tajamnya ke arah pria paruh baya tersebut.
"Alessia bisa membantu menyelamatkan pernikahan Tuan muda yang terancam hancur," ucap Matthew yakin.
"Alessia? Anak Paman Matt? Kau yakin, Paman? Jangan bercanda!" tolak Raymond mentah-mentah dengan ide yang diberikan Matthew padanya.
"Saya tidak bercanda, Tuan Raymond. Saya serius. Jika dengan bantuan Alessia bisa menyelamatkan Tuan muda dari rasa malu, maka saya akan mengatakan hal ini padanya. Alessia pasti tidak akan keberatan. Saya tahu bagaimana Alessia. Dia pasti mau membantu Tuan muda," ucap Matthew tanpa keraguan.
"Lalu bagaimana ke depannya? Maksudku, apa yang akan terjadi pada mereka setelah pernikahan ini berlangsung?" tanya Raymond ingin tahu jawaban di balik ide dadakan ini.
"Semua kita kembalikan pada Tuan muda saja. Yang penting, pernikahan ini bisa terjadi dan Tuan muda tidak akan dipermalukan oleh siapa pun. Karena saya yakin bahwa ada mata-mata di sekeliling kita saat ini. Saya tidak akan membiarkan Tuan Christian dan Allen Group dipermalukan oleh siapa pun. Itu sumpah saya!" tegas Matthew.
Raymond tak percaya dengan apa yang didengarnya barusan. Ia seperti sedang bermimpi. Tapi anehnya, ini nyata!
"Kau yakin menyerahkan putrimu sebagai pengantin pengganti? I mean, akan dibuang sewaktu-waktu oleh Tuan Christian begitu pengantin yang sebenarnya telah kembali?" tanya Raymond meminta kepastian.
"Saya tidak pernah seyakin ini dalam hidup saya, Tuan Raymond. Semua ini saya lakukan demi kebaikan Tuan Christian dan Allen Group. Alessia pasti mau melakukannya demi kita semua," kata Matthew bersikukuh.
Bragg
Christian memukul arm rest dengan kepalan tangannya. Tak nampak rasa nyeri di tangannya. Ia merasa puas dengan apa yang telah ia lakukan.
Pria tampan itu tak menyangka bahwa Matthew-lah penggagas semua rencana ini. Sungguh mulia sekali hati pria yang saat ini terbaring lemah di brankar Rumah Sakit itu.
"Bagaimana bisa dia melakukannya? Kenapa dia bodoh sekali? Kenapa dia malah menyerahkan anak gadisnya ke padaku? Apa dia tidak memikirkan bagaimana nasib masa depan Alessia? Bagaimana kalau–," gerutu Christian meluapkan segala emosinya.
Pikiran Christian tiba-tiba teralihkan pada wajah sendu Alessia beberapa saat yang lalu. Ternyata semua ini bukan ide Raymond, melainkan ide dari sang gadis cantik nan polos tersebut. Dan semua ini demi melindungi harga dirinya dan Allen Group.
Sungguh pria yang memegang teguh loyalitas. Gaji yang besar tidak akan cukup untuk menggajinya.
Dan, beberapa saat lalu ia telah melakukan hal di luar batas pada Alessia.
"Perempuan itu pasti ketakutan karena ulahku! Oh shit!" umpatnya merutuki kekonyolan yang telah ia lakukan.
"Ketakutan? Kekonyolan? Apa maksud kata-kata Tuan barusan? Apakah Tuan—," ucap Raymond terjeda selama beberapa saat. Ia merasa ragu hendak melanjutkan kata-katanya.
Christian mengalihkan pandangannya ketika mata mereka bersua.
Tanpa berkata apa-apa, Christian mengetukkan jari-jarinya di arm rest dan merasa tak tenang. Jantungnya terus bergemuruh cepat.
"Bawa aku kembali ke kamarku! Ada yang harus kuurus setelah ini!" titah Christian pada Raymond.
"Baik, Tuan Christian," ujar Raymond sambil menahan rasa geli di pikirannya.
Apa yang akan terjadi setelah ini?
Let's see…
***