"Apa yang sedang kau tertawakan, Raymond? Kau meledekku?" tanya Christian sambil melirik sekilas dari bahunya.
Raymond buru-buru menutup mulutnya. Ia tak memungkiri masih menahan geli di dalam pikirannya pada sang majikan.
"Tidak, Tuan," elak Raymond sambil terus mendorong kursi roda ke arah pintu kamar Christian Allen.
"Raymond?" panggil Christian pada Raymond.
"Iya, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?" sahut Raymond tanggap.
"Besok buat janji dengan dr. Kyle!" titah Christian tanpa menyebutkan alasannya.
Raymond mengerutkan kening. Ia tampak berpikir keras. Ada segurat tanya di dalam benaknya. Namun hal itu ia urungkan tanpa bisa ia katakan pada sang pewaris Allen Group tersebut.
"Aku ingin tahu dengan tubuhku saat ini. Siapa tahu saat aku memeriksakan diri nanti, aku bisa mendapatkan kabar baik dari buah kesabaranku," ungkap Christian pada Raymond seperti seorang sahabat yang sedang mengeluarkan segala penat dalam hidupnya.
Raymond terdiam. Ia memilih menunggu penjelasan Christian tanpa bermaksud menyela.
"Tadi aku hampir saj—," ucap Christian terhenti ketika mendengar nada dering ponsel milik sang asisten merangkap bodyguardnya berbunyi nyaring mengganggu obrolan keduanya. "Angkat saja dulu! Siapa tahu itu panggilan penting," lanjutnya kemudian memberi ijin.
"Baik, Tuan. Terima kasih," balas Raymond penuh kepatuhan.
Raymond menepikan kursi roda yang ditumpangi oleh Christian Allen. Ujung jarinya yang ramping menggeser tombol jawab di layar ponselnya.
Pria itu kini sedang menerima panggilan dari seseorang dan terlibat pembicaraan serius. Sepertinya panggilan yang penting, terlihat jelas di wajahnya yang tampak terkejut dan terperangah hebat selama panggilan berlangsung.
Tak lama kemudian, Raymond mematikan panggilan tersebut dan kembali mendekati tuan mudanya.
Dengan wajah panik, Raymond tampak kebingungan bagaimana mengatur setiap kata yang akan keluar dari bibirnya. Mengetahui itu, Christian pun menanyakan hal yang janggal itu pada Raymond.
"Kau ini kenapa? Kenapa tiba-tiba kau sangat panik? Seperti bukan kau yang biasanya saja," komentar Christian pada Raymond.
Raymond tersenyum pahit.
"Maaf, Tuan. Barusan saya mendapat laporan dari anak buah saya bahwa mereka telah menemukan Nona Isabella," terang Raymond pada Christian.
Bukan merasa lega karena sang pujaan hati telah ditemukan, Christian Allen justru memejamkan mata. Ia bisa membayangkan saat dirinya jatuh dan mengalami kecelakaan dua bulan lalu. Kolase semua kejadian membanjiri ingatan.
"Raymond, bawa aku kembali ke ruanganmu!" titah Christian tanpa menanggapi pernyataan Raymond padanya. Ia memilih mengalihkan topik.
Raymond mengangguk patuh. Ia mendorong kursi roda milik tuan mudanya kembali ke dalam ruangan khusus untuknya, tanpa membuang waktu.
***
Christian menatap datar pemandangan di sekitarnya. Kini, dirinya berada di balkon yang ada di kamar Raymond. Ia menyalakan sebatang rokok, menyesapnya, lalu mengeluarkan asap dari bibirnya yang seksi.
Kening pria itu berkerut. Alis di wajah tampannya terangkat. Raut wajahnya benar-benar datar. Flat. Tatapan matanya kini begitu dalam seolah sedang melihat sesuatu.
"Brengsek!" umpatnya kesal.
Raymond mencoba mengertikan. Ia tahu pasti tuan mudanya merasa kesakitan ditinggalkan dan diperlakukan seperti ini oleh calon pengantin wanitanya.
Isabella Crews.
"Di mana wanita itu berada sekarang?" tanya Christian tanpa melepaskan diri dari sebatang rokok di tangan.
"Paris, Tuan. Nona Isabella menerima tawaran bermain film di sana dari sebuah production house yang tak asing dengan Tuan Christian," jelas Raymond tegas.
"Tak asing denganku? Apa maksudmu?" tanya balik Christian tampak bingung mencerna ucapan anak buahnya.
"Nona Isabella menerima proyek yang diproduseri langsung oleh saingan bisnis anda, Tuan Liam Coretti. Sepertinya mereka juga menjalin hubungan di luar pekerjaan antara artis dan produser, Tuan Christian," ungkap Raymond.
"Sialan! Ternyata wanita itu sudah mendapatkan ladang baru yang potensial rupanya. Dia meninggalkan aku, mempermalukan aku, lalu jatuh ke pelukan Liam? Menjijikan sekali dia!" umpat Christian kesal.
Kali ini kemarahan Christian bukan lagi masalah cinta atau rasa sakit karena dipermainkan oleh wanita itu. Kali ini lebih dari hanya sekedar tetek bengek mengenai cinta. Ini disebut sebagai strategi bisnis, dan ia akan menghancurkan siapa saja yang telah membuatnya berada di titik ini, detik ini.
Liam Coretti.
Isabella Crews.
Dua nama itu akan mendapatkan ganjaran menyakitkan darinya. Dendam ini harus terbalas.
"Aku ingin kau melakukan suatu hal untukku, Raymond!" tegas Christian dengan pikiran melambung tinggi. Rencana matang telah ia siapkan.
"Apa itu, Tuan?"
"Kemarilah!"
Raymond pun membungkukkan badannya agar mempermudah Christian memberinya informasi.
Mereka dalam mode bisik. Aneh. Padahal di dalam kamar itu hanya ada mereka berdua. Tak ada lagi manusia lain selain mereka. Entah kenapa dalam benak Christian, siapa saja dapat menangkap semua ide serta rencananya di ruangan itu. Mungkin saja pintu atau dinding juga memiliki telinga untuk mencuri informasi darinya.
Raymond mengangguk mantap. Ia akan melakukan mandat yang telah diberikan tuan mudanya pada dirinya dengan baik.
"Baik, Tuan. Saya akan melaksanakan perintah Tuan dengan baik," ujar Raymond yakin.
Christian menganggukkan kepalanya sembari mematikan sebatang rokok yang baru saja dihisap belum sampai separuh di sebuah asbak kaca bundar yang mahal.
***
Dibukanya pintu kamar pengantin dengan perlahan, amat pelan agar tak menimbulkan suara gaduh apalagi berisik.
Christian menolak bantuan dari Raymond ataupun kedua pria berbadan tegap di depan pintu demi bisa membukanya pemberi akses itu dengan usahanya sendiri. Ia masih bisa membuka pintu dengan tangannya sendiri. Ya, dia bisa.
Sakit yang ia alami adalah di bagian pinggul ke bawah. Dan tangannya masih bisa berfungsi secara normal.
Christian dulunya bukan pria manja. Bahkan sampai detik ini. Tapi ada beberapa hal yang tidak bisa ia lakukan sendiri saat ini yang membuatnya harus meminta bantuan seseorang.
Ah, pria itu merasa kesal!
Kini, pikiran pria itu teralihkan pada tubuh seseorang di atas ranjang tanpa selimut. Di mana saat ini tubuh ramping itu hanya dihiasi piyama berwarna hitam dengan atasan lengan pendek dan celana hotpant yang menunjukkan betapa jenjangnya kaki indahnya.
Melihat pemandangan itu, jantung Christian berdetak semakin cepat. Api hasrat di dalam dirinya membuncah hebat.
Ada apa ini?
"Apa dia sengaja melakukan ini? Dia ingin menantangku melakukan itu?" gumam Christian pelan. Mungkin hanya dirinya saja yang bisa mendengar ucapannya sendiri.
Christian tampak seperti seorang pencuri. Ia menoleh ke kiri dan ke kanan, memastikan tidak ada siapa pun di dalam ruangan itu selain ia dan Alessia.
Diam-diam Christian mengagumi pemandangan indah ini.
Tubuh ramping itu begitu menggoda iman.
Christian terus menatap tubuh Alessia dengan penuh napsu yang sudah lama terpendam dalam waktu begitu lama. Dua bulan. Dua bulan bagi seorang pria seperti berada di medan pertempuran. Antara hidup atau mati. Ia butuh itu dalam hidupnya.
Dan kebutuhan biologisnya sudah bisa tergantikan dari sosok Isabella menjadi Alessia.
Oh, shit!
Bayangan mengenai Isabella kembali bermain-main dalam pikirannya.
Di saat ia sedang memikirkan banyak hal, kedua kelopak mata yang indah di hadapannya terbuka lebar.
"Astaga!" pekik Christian kaget. Ia benar-benar tak menyangka dengan pergerakan sang istri.
"Tuan? Ada apa?" tanya Alessia saat mendapati wajah suaminya amat terkejut melihat dirinya telah terbangun dari tidur singkatnya.
To be continue…
***