"Katanya mau istirahat, Yas. Kenapa masih sibuk sama hp?" tanya Bulan yang baru saja mencuci muka.
Yasmin mengalihkan mata dari layar ponsel, lalu melirik Bulan yang sedang berganti pakaian di depan lemari. Dia mengernyit mendapati hal berbeda dari Bulan.
"Kamu kayaknya beda, deh," ujar Yasmin.
Mendengar ucapan Yasmin, Bulan berbalik. Dia sudah selesai berganti pakaian dan sedang membawa baju kotornya ke keranjang di pojok kamar.
"Apanya yang beda?" tanyanya bingung. Dia melihat dirinya sendiri, dan barulah sadar apa yang terjadi. Namun, dia berusaha menelan keterkejutannya dan tetap memasang ekspresi bingung.
"Em … kamu tambah montok kayaknya," jawab Yasmin. Keningnya masih terlipat.
Bulan kemudian tertawa. "Kamu nggak tahu ya kalau akhir-akhir ini nafsu makanku jadi bagus?" tanyanya.
Kenyitan Yasmin belum juga hilang. "Aneh juga, ya, nafsu makan bisa lari ke payudara. Mau juga dong kalau gitu. Masa aku dikatai dada rata dan tidak dianggap perempuan di komunitas," keluh Yasmin. Kini kenyitan di dahinya berpindah jadi tawa.
Diam-diam Bulan menghela napas lega. Dia ikut tertawa agar tak tampak mencurigakan.
"Kamu kayaknya perlu naikin berat badan. Soalnya kamu lebih kurus dibanding aku," ucap Bulan.
"Bukannya nafsu makanku selalu lebih bagus dari kamu? Tapi, kenapa badanku nggak kunjung berubah? Minimal tonjolan depan belakang. Biar kelihatan cewek gitu," sahut Yasmin.
Kali ini Bulan yang mengernyit. Dia melipat lengan di depan perut.
"Nggak biasanya, nih, kamu ngomongin soal badan. Emang siapa lagi yang ngejek badanmu di komunitas? Kayaknya semua udah pernah ejek kamu dan kamu jadi terbiasa."
Ditodong pertanyaan begitu, Yasmin tiba-tiba nyengir. Dia meletakkan hp di tempat tidur, lalu menepuk tempat kosong di sebelahnya.
"Wah, mencurigakan," gurau Bulan. Namun, dia tetap menurut dan segera duduk bersandar di sebelah Yasmin.
"Bentar, bentar," ujarnya. Dia mengacungkan tangan kanan ke sebelah wajahnya sendiri. "Biar aku tebak."
Yasmin mengangguk. Dia masih nyengir tidak jelas seperti tadi.
"Kamu pasti lagi naksir orang, dan orang itu yang ngejek badanmu?" tebak Bulan.
"Ding, dong, deng!" seru Yasmin tanpa malu.
"Hei!" tegur Bulan.
Keduanya lantas menahan tawa agar tak menimbulkan suara berisik. Seruni sudah tidur sejak sebelum Bulan pulang. Makanya dia tidak mau mengganggu ibunya yang harus berangkat kerja besok.
"Beneran?" tanya Bulan antusias. Sebab, dia dan Yasmin ini tidak jauh beda soal percintaan. Dia dan sahabatnya itu sulit sekali jatuh cinta. Bedanya jika sudah jatuh cinta, maka Yasmin jauh lebih nekat. Dalam kamus perempuan itu, tidak ada kata menunggu lelaki yang dia suka melakukan pendekatan duluan. "Kalau bisa bertindak lebih dulu, kenapa tidak?" Itulah selalu Yasmin ucapkan. Tidak seperti Bulan yang lebih suka memendam hingga tersiksa sendiri.
"Bener, lah!" sahut Yasmin. "Anak baru di komunitas. Orangnya seru, Lan, walaupun aku sama dia punya banyak perbedaan sampai kita sering debat nggak penting."
Melihat Yasmin yang bercerita sampai meledak-ledak seperti ini, Bulan yakin kalau sahabatnya itu benar-benar jatuh cinta pada kawan barunya.
"Kapan-kapan kenalin, ya," pinta Bulan.
"Ntar dulu. Ntar aku kenalin kalau kita bisa pergi piknik bareng kayak waktu itu," sahut Yasmin sambil tersenyum lebar.
Sayangnya Bulan malah kehilangan senyumnya selama dua detik, karena ingat bahwa dia tidak akan bisa piknik bersama Yasmin beberapa bulan ke depan. Tubuhnya akan semakin berubah, dan dia masih tidak mau Yasmin atau pun Timur sadar akan hal itu. Cukup Embun yang tahu secara tak sengaja.
"Kamu sama Bima gimana? Dia katanya jatuh cinta banget sama kamu." Yasmin terkekeh atas ceritanya sendiri.
Bulan hanya membalas senyum. "Nekat juga dia, ya," sahutnya. "Minggu kemarin dia lamar aku. Besoknya malah ngomong terang-terangan di depan Ibu sama Timur. Aku sampai kehilangan kata-kata buat jawab dia. Herannya, aku nggak merasa marah sama sekali."
"Kamu tolak, ya?" tanya Yasmin. Dia tidak begitu terkejut atas kenyataan bahwa Bima melamar sahabatnya itu, karena Bima sendiri sudah menceritakan niatnya.
Bulan mengangguk. Dia menghela napas panjang, bersiap mendengarkan ocehan Yasmin yang sama seperti ibunya. Namun, ditunggu satu menit, Yasmin hanya diam saja.
"Kenapa diam saja?" tanyanya penasaran.
Yasmin mengangkat bahu. "Nggak tahu harus bereaksi gimana. Menurutku kalian cocok, tapi aku juga nggak bisa maksa kamu."
Senyum tipis muncul di wajah Bulan. Dia berdiri dari tempat tidur dan mematikan lampu, menyisakan lampu tidur yang menyala dengan warna warm white. Suasana kamar berubah jadi lebih nyaman.
"Ya, menurutku juga begitu," sahut Bulan tiba-tiba setelah dia kembali ke tempat tidur dan berbaring di sebelah Yasmin. "Kalau pertemuan kami terjadi di waktu yang tepat, mungkin aku nggak berpikir dua kali untuk menerimanya."
Setelah mengatakan itu, Bulan memejamkan mata. Dia mengabaikan Yasmin yang saat ini terlihat bingung.
***
"Tuh, kamu tuh harus minum susu," ujar Embun kala Bulan baru selesai mendapat sesi konseling dari dokter kandungan yang mereka datangi pagi ini.
"Nggak usah ngomel," bisik Bulan geli.
Dia menatap sungkan ke arah sang dokter dengan mata sembab. Tadi dia menangis saat mendengar detak jantung janinnya untuk pertama kali. Embun berulang kali mengejeknya saat itu terjadi, namun sahabatnya itu tetap perhatian dengan mengusapi air matanya menggunakan tisu.
Dokter perempuan yang terlihat berusia tiga puluhan itu tertawa melihat perdebatan dua sahabat di depannya.
"Lucu, ya, kalian bisa hamil barengan gini," ujarnya. Dia tahu kisah Bulan sebelumnya dari Embun, makanya dia tak banyak bertanya soal pasangan saat memberikan buku catatan kehamilan pada perempuan itu.
"Dia nih, Dok, yang ikut-ikutan," sahut Embun.
Dokter Lastri tertawa lagi. Dia menggeleng-gelengkan kepala. "Andai hubungan saya dengan sahabat saya masih seperti kalian, pasti sangat menyenangkan," ujarnya.
"Memangnya sahabat-sahabat Dokter Lastri ke mana?" tanya Embun polos. Padahal dia sudah jadi ibu-ibu.
Bulan langsung menyikut lengan Embun, tapi tak digubris oleh sahabatnya itu.
"Sibuk dengan keluarga dan pekerjaan masing-masing, pasti pelan-pelan saling menjauhkan," jawab Dokter Lastri. "Tapi saya harap kalian bisa tetap berhubungan sampai sama-sama tua nanti," lanjutnya tulus.
Bulan dan Embun serempak mengamini dan berterima kasih. Memang benar bahwa menjaga hubungan yang sudah ada itu sulit. Hubungan apa pun itu. Entah hubungan orang tua anak, pasangan, persahabatan, dan lain-lain. Meski usia mereka masih 24 tahun, tapi mereka sudah menyaksikan beberapa jenis kehancuran dalam sebuah hubungan.
"Kalau begitu saya sama Bulan pamit dulu, Dok, sebelum kami menghabiskan jam praktik Dokter," ujar Embun.
Dokter Lastri terkekeh. Dia menggangguk, dan kembali mengingatkan tentang jadwal periksa berikutnya.
"Langsung pulang?" tanya Embun setelah dia dan Bulan keluar dari ruangan Dokter Lastri.
Bulan menggeleng. "Mau beli susu dulu," jawabnya.
Embun langsung mendengkus. "Gitu kalau aku yang ngingetin diabaikan. Giliran dokter baru didengar."
Bulan terkekeh pelan, tidak mau mengundang perhatian ibu-ibu hamil yang juga sedang mengantre di depan poli kandungan.
"Ya, kan susu dari kamu udah aku habisin."
"Dengan keterpaksaan dan pasti dibuang sebagian, kan?" ejek Embun lagi.
Bulan mengangguk menahan tawa. "Habisnya mual kemarin-kemarin."
"Eh, Bulan? Embun?"
Sapaan seseorang, membuat badan Bulan seketika tergang. Dia memutar badan perlahan dan menemukan Candra sedang menggendong Bhumi. Kakak Yasmin itu pasti baru selesai memeriksakan Bhumi, sebab di tangannya ada kantong plastik berisi obat.
Sementara Embun yang jauh lebih jarang bertemu Candra sedikit mengerutkan kening, mencoba mengingat sosok yang kini berdiri berhadapan dengan Bulan.
"Ma-Mas Candra," sapa Bulan balik dengan canggung. Dia sungguh takut kalau Candra mendengar obrolannya dengan Embun tadi.
"Kalian habis dari poli kandungan?" tanya Candra saat melirik papan nama ruangan yang terpasang di atas lorong pendek menuju poli kandungan.