Jam sudah menunjukkan pukul delapan saat Bulan duduk di ruang tamu menanti ibunya pulang. Seruni memang sejak sore sudah keluar rumah bersama teman-temannya. Mereka ada acara ibu-ibu yang memang rutin dilakukan setiap minggu. Bulan pernah ditawari untuk ikut. Akan tetapi karakternya yang pendiam membuatnya jelas menolak. Lagi pula dia takut mendapat pertanyaan-pertanyaan umum yang menyebalkan seperti, "kapan menikah" dan sejenisnya.
"Ibu kok belum pulang, sih," keluh Bulan sambil melihat jam yang tertera pada ponsel.
Dia kemudian memutuskan untuk keluar rumah sejenak untuk mencari udara karena bosan menunggu ibunya di dalam rumah. Akan tetapi saat dia membuka pintu, tiba-tiba terlihat bayangan seseorang yang tengah berdiri di depan pagar rumahnya. Dia mengernyit, sebelum akhirya tahu siapa sosok itu.
Lantas hal itu membuatnya cepat-cepat melarikan kakinya menuju gerbang. Napasnya tersengal, sampai raut orang yang menantinya di depan gerbang itu tampak khawatir.
"Kamu kenapa sampai lari-lari gitu, sih, Lan?"
"Harusnya aku yang tanya kenapa kamu di sini, tapi nggak manggil aku, Bim?" Bulan balik bertanya.
Ya, memang sosok yang datang itu Bima. Setelah hampir dua minggu pertemuan terakhir mereka yang berakhir kurang baik, lelaki itu tiba-tiba saja muncul di depan rumahnya.
Bima menghela napas panjang. Dia tidak langsung menjawab dan malah memperhatikan Bulan yang tengah membukakan gerbang rumah. Dia kemudian mengikuti perempuan itu untuk duduk di teras. Dia menolak dipersilakan masuk karena takut tetangga Bulan berpikir yang tidak-tidak tentang mereka.
"Jadi, ada apa, Bim? Kenapa nggak telepon aku dulu dan kasih tahu kalau mau datang?" tanya Bulan lagi karena pertanyaannya tadi dibiarkan saja mengambang di udara.
"Kalau aku bilang rindu, boleh?" tanya Bima. Dia berusaha menatap mata Bulan, tapi perempuan itu malah mengalihkan mata.
"Apa, sih," sahut Bulan. Jujur sebagai perempuan mendengar hal semacam itu dari lelaki yang meski tak dia sukai, tetap saja membuat jantungnya berdebar oleh rasa senang.
Bima terkekeh. Dia senang setelah perpisahan terakhir mereka yang sedikit canggung, Bulan rupanya merespon dia dengan baik. Perempuan itu tidak tampak risih dengan kedatangannya yang tiba-tiba malam ini.
"Aku sebetulnya dua hari lagi berangkat, Lan," ujar Bima. "Makanya untuk yang terakhir kali, aku mau ketemu kamu dan coba yakinin kamu lagi," akunya. Pada akhirnya dia tetap saja kalah dengan perasaannya. Dia sudah menanggalkan egonya ke dalam lemari demi bisa menghadapi Bulan malam ini. Ya, walaupun tadi dia sampai berdiri hampir tiga puluh menit di depan gerbang rumah perempuan itu karena bimbang mau masuk atau tidak.
Bulan tidak marah atau menyesali ucapan Bima. Dia kali ini hanya tersenyum, lalu mengulurkan tangan untuk mengusap sekali lengan lelaki itu yang tengah bersandar di lengan kursi.
"Aku udah cerita ke Ibu, dan Ibu minta aku perjuangin kamu kalau memang aku yakin," imbuh Bima.
Mendengar itu Bulan masih mempertahankan senyum di wajahnya. Sekali lagi dia mengusap lengan Bima dan mengucapkan terima kasih pada lelaki itu.
"Terima kasih untuk apa?" tanya Bima heran.
"Terima kasih karena kamu sudah segitu sukanya sama aku, di saat aku menganggap diriku sebagai orang yang kotor dan bodoh," jawab Bulan.
Bima seketika menggelengkan kepala. "Kamu nggak seperti apa yang kamu pikirkan, Lan. Kamu berharga," ujarnya. "Kamu punya nilai. Itu kenapa aku tertarik sekali sama kamu. Aku bahkan tidak tahu kalau aku bisa jatuh cinta semudah ini dengan seorang perempuan setelah banyak pengalaman burukku soal percintaan."
"Itu kenapa aku bilang terima kasih. Kamu terlalu berbesar hati soal aku. Makanya aku nggak bisa memanfaatkan kamu untuk kepentingan diriku sendiri. Kamu berhak dapat pasangan yang baik, dan itu jelas bukan aku."
Bima menghela napas. Dia terdiam selama beberapa detik, sebelum akhirnya mengulas senyum. "Pada akhirnya Timur yang tetap bertakhta, ya?" tanyanya retoris.
Bulan menggeleng. "Bukan soal itu."
"Aku paham," ujar Bima. "I just said that." Dia tersenyum, dan dibalas senyum pula oleh Bulan.
"Oke," katanya sambil menepuk tangan. "Usaha terakhirku gagal, sehingga pertemuan ini berubah jadi acara perpisahan." Sebetulnya sebelum datang pun, dia sudah menduga jawaban Bulan. Dia tahu Bulan bukan tipe orang yang mudah bimbang atas keputusan yang sudah diambil. Dia juga tahu perempuan itu terlalu baik untuk mempergunakan dirinya yang bahkan dengan senang hati dimanfaatkan.
"Ibu juga jadi ikut berangkat?" tanya Bulan. Dia bersyukur Bima tak lagi mendesaknya.
"Iya," jawab Bima. "Karena memang itu tujuanku memutuskan ke Prancis."
"Take care, ya," ujar Bulan. "Semoga pekerjaanmu di sana jadi luar biasa, dan Ibu juga dikasih kesembuhan."
"Aku belum pamit, loh, Lan," kekeh Bima. Dia punya rasa kecewa, akan tetapi tetap berusaha dia tutupi agar perasaannya tidak membebani Bulan.
Bulan ikut tertawa. Lalu keduanya jadi mengobrol singkat mengenai rencana Bulan maupun Bima ke depannya selama beberapa menit sebelum akhirnya Bima pamit untuk pulang.
"Semoga waktu aku kembali ke sini, kita bisa ketemu lagi, ya," ujar Bima sambil berdiri dari duduknya.
Bulan juga ikut berdiri. Dia menganggukkan kepala. "Nice to meet you, Bima. Kamu laki-laki pertama yang langsung membuatku merasa nyaman di pertemuan pertama," akunya.
"Sayangnya aku nggak bisa menggerakkan hatimu, ya," kekeh Bima.
"Jangan begitu. Kondisiku memang tidak memungkinkan aku untuk membuka hati ke siapa pun."
"Termasuk Timur?" tanya Bima.
"Iya, termasuk Timur." Bulan asal menjawab saja, karena sebetulnya hati dia memang sejak lama jatuh pada sahabat lelakinya itu.
"Loh, Nak Bima?"
Tiba-tiba terdengar teriakan dari arah gerbang, sebelum engselnya berdecit karena dibuka. Sosok Seruni muncul di sana. Perempuan paruh baya itu berlari kecil menuju teras.
"Kok Bulan nggak bilang kalau kamu mau ke sini?" tanya Seruni begitu sampai di teras.
"Aku memang nggak bilang-bilang mau datang, Bu," jawab Bima sambil menyalami ibu Bulan.
"Dadakan ini?" tanya Seruni.
"Iya. Aku mau pamit ke Bulan sama Ibu. Dua hari lagi aku berangkat ke Prancis," jawab Bima.
"Wah, jadi pergi ternyata," ujar Seruni. Sewaktu Bima makan malam di rumahnya tempo hari, lelaki itu memang sudah menceritakan rencananya. Dia juga sempat berharap Bulan menerima tawaran pemuda yang dia anggap sebagai penyelamat itu.
"Iya, Bu," jawab Bima. Lelaki itu kemudian menyalami kembali ibu Bulan sebelum akhirnya berpamitan dengan benar pada dua perempuan beda generasi di depannya.
Setelah kepergian Bima, Bulan hendak mengunci gerbang. Akan tetapi ekspresi sedih Seruni menarik perhatiannya.
"Ibu kenapa?" tanyanya.
Seruni sedikit tersentak, sebelum akhirnya dia menghela napas. "Kamu kenapa nggak mau memanfaatkan kebaikan Bima? Ibu lihat dia tulus banget sama kamu, Lan."
Bulan terdiam. Dia menatap arah perginya mobil Bima selama beberapa detik. "Aku takut nyakitin dia, Bu. Aku takut nyakitin lelaki sebaik dia dengan tidak bisa membalas cintanya ke aku."
"Cinta datang karena terbiasa," sahut Seruni.
"Kalau ternyata setelah terbiasa aku tetap tidak bisa jatuh cinta sama dia, bagaimana? Apalagi aku membebankan dia dengan kehidupan lain yang seharusnya tidak jadi tanggung jawabnya."
Seruni menghela napas. Dia tahu putrinya jika sudah punya keputusan, akan berpegang teguh pada keputusannya tersebut. Anak tunggalnya itu sejak dulu memang mudah bimbang, tapi kalau sudah punya keputusan, maka tidak akan mudah goyah juga. Makanya saat melihat ekspresi Bima sebelum meninggalkan rumahnya tadi, dia sudah bisa menebak apa yang terjadi pada dua pemuda-pemudi itu.
"Kalau begitu, apa rencanamu ke depannya?" tanya Seruni. Dia mulai berjalan menuju rumah dan diikuti Bulan di sebelahnya. "Masih tidak mau ngasih tahu Timur?"
Bulan tanpa ragu mengangguk. Dia memang sudah tidak punya harapan lagi terkait Timur.
"Aku sempat bahas ini sama Bima, Bu. Sepertinya, aku mantap akan pindah ke tempat Ayah," jawab Bulan dengan perasaan berat di dada.