Bulan keluar dari ruang bersalin dengan badan yang basah oleh keringat. Raut paniknya sudah hilang, namun kini digantikan oleh bayang-bayang bila dia ada di posisi Embun beberapa bulan ke depan. Dia jadi sedikit menyesal, tapi juga akan melakukan hal yang sama jika waktu diulang. Dia bisa mendapat banyak pelajaran tentang persalinan sebelum mengalaminya sendiri.
"Lan!"
Bulan mendongak ketika namanya dipanggil. Dia kemudian menemukan Yasmin yang tengah berdiri di sebelah Timur. Perempuan tomboi yang satu itu tampak khawatir dan langsung menyongsong dirinya.
"Bagaimana? Lancar, kan? Aku sama Timur dengar suara bayi nangis," tanya Yasmin.
Pertanyaan memburu Yasmin membuat Bulan tertawa pelan. Walau Yasmin dan Embun suka sekali berdebat tentang apa pun, mereka tetap peduli satu sama lain. Begitulah memang sahabat yang seharusnya. Namun, dia baru sadar kalau dia sudah mencurangi Yasmin dan Timur. Dia merahasiakan kehamilannya pada mereka, dan kenyataan itu membuat tawanya seketika hilang.
"Kamu baik-baik saja?" tanya Timur sambil menyodorkan sebotol air mineral pada Bulan. Sejak tadi dia sudah membeli minuman itu untuk diberikan pada Bulan kalau sahabatnya itu sudah keluar dari ruang bersalin. Bagaimanapun dia bisa membayangkan betapa lelahnya di dalam.
Bulan menerima botol dari Timur dan meneguk isinya secepat mungkin. "Terima kasih," ujarnya setelah menghabiskan setengah air dalam botol.
Timur mengangguk. "Lalu bagaimana keadaan Embun?"
"Persalinannya lancar," jawab Bulan. "Anaknya sehat, dan sekarang Embun lagi dibersihkan. Makanya aku keluar," jawab Bulan pada akhirnya. Dia kemudian berjalan menuju kursi karena tubuhnya merasa lelah setelah berdiri selama beberapa puluh menit di ruang bersalin untuk menemani Bulan yang keluarganya belum sampai di rumah sakit.
"Syukur kalau begitu," tanggal Timur sambil menghela napas.
"Aku yakin akan lancar. Kita sendiri tahu kan Embun sekuat apa," kekeh Yasmin sambil mendudukkan diri di sebelah Bulan. "Ngomong-ngomong, kita sekarang udah tante dan om yang punya dua keponakan." Dia tertawa lagi dengan kepala yang tergeleng-geleng karena mengingat umur mereka yang baru mencapai 24 tahun.
"Kamu tidak berniat menyusul, Mur?" godanya kemudian, padahal dia juga tahu mengenai keengganan Timur membangun sebuah keluarga.
Timur tidak menjawab pertanyaan menggoda Yasmin untuknya. Dia hanya melipat lengannya di depan dada, lalu duduk di sebelah Bulan. Dia melirik perempuan itu sekali lagi, karena sejak keluar dari ruangan dia bisa melihat kesedihan di mata sahabatnya itu. Namun, dia tidak tahu kira-kira apa yang menyebabkan Bulan terlihat sedih alih-alih bahagia karena Embun sudah melahirkan anak keduanya.
"You okay?" tanyanya kemudian dengan suara pelan.
Bulan sedikit tersentak karena dia sedang mengingat kembali apa yang baru saja dia lalui di ruang bersalin tadi. Apalagi ingatan-ingatan itu juga memunculkan wajah sang ibu di rumah. Perasaan besalah banyak bercokol di dada dan kepalanya. Terlebih, dia sudah membuat perempuan yang melahirkannya itu kecewa dengan kondisinya saat ini yang hamil di luar nikah dan enggan memberi tahu orang yang menghamilinya.
"Kayaknya aku harus pulang," ujarnya tanpa menjawab pertanyaan Timur.
"Biar aku antar," sahut Timur sambil berdiri lebih dulu.
"Iya, kamu pulang aja, Lan. Kamu kelihatan capek. Pulang dan istirahatlah. Ini juga masih tengah malam. Biar aku yang berjaga di sini nungguin keluarga Embun sama suaminya datang." Yasmin ikut menimpali. Walau tidak ikut menemani Embun, mendengar suara kesakitan sahabat cerewetnya itu membuatnya bisa membayangkan bagaimana Bulan kelelahan menemani di dalam ruangan sana.
Bulan mengangguk sembari berdiri. Namun, dia kemudian menyentuh bahu Timur dan mengisyaratkannya untuk duduk kembali.
"Aku bisa pulang sendiri naik taksi," ujarnya.
Timur serta-merta menggelengkan kepala. Dia tidak mungkin membiarkan sahabat perempuannya yang kelelahan pulang sendiri di tengah malam dengan taksi. Hal itu menurutnya terlalu bahaya. "Pokoknya aku antar."
"Nggak perlu, Mur. Kamu juga pasti capek setelah kerja dan waktu istrahatmu juga tersita karena aku hubungi tiba-tiba," tolak Bulan. Itu hanya alasan saja. Sebetulnya dia masih takut berduaan dengan Timur karena hal itu selalu memicu harapan yang dia sangat tahu kalau itu adalah sebuah kemustahilan. Selain memicu harapan, dia akan sedih berkepanjangan jika mengingat keputusannya saat ini tentang janin yang dikandungnya. Dia terpaksa membuat janin tak bersalah itu mengalami hal yang sama dengannya, yaitu hidup tanpa sosok ayah.
"Aku nggak bisa biarin kamu pulang sendiri pokoknya, Lan." Timur tetap memaksa. Dia malah sampai mengeluarkan kunci mobil dari saku celana. "Ayo cepat pulang! Kamu pasti udah capek banget. Mending simpan tenagamu untuk perjalanan pulang daripada kamu habiskan untuk berdebat denganku."
Yasmin tiba-tiba terkekeh. "Sejak kapan kamu menjadi begitu cerewet, Timur?" tanyanya mengejek.
Timur berdecak. "Jangan memancing pertikaian, Yas," sahutnya.
Yasmin kembali tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala. Namun, dia tidak lagi mendebat Timur. Dia bahkan mengisyaratkan Timur dan Bulan untuk segera meninggalkan rumah sakit dengan ayunan tangannya yang diarahkan ke lorong menuju pintu keluar.
Bulan akhirnya menyerah. Dia menghela napas panjang sebelum akhirnya berjalan menyusuri lorong rumah sakit dengan Timur di belakangnya. Lelaki itu diam, tapi kemudian menyusul langkahnya yang cepat.
"Lan, aku boleh tanya sesuatu?"
Tanpa menoleh Bulan balik bertanya, "Tanya apa?"
"Aku lihat tadi waktu kamu keluar dari ruang bersalin, kamu kelihatan sedih. Kenapa memangnya? Ada kondisi yang tidak baik selama proses persalinan di dalam sana?"
Mendengar nada khawatir Timur, Bulan terseyum tipis. Dia kemudian menggelengkan kepala. "Aku hanya ingat Ibu," jawabnya. "Aku jadi membayangkan bagaimana susahnya Ibu melahirkanku dulu." Itu memang apa yang sebetulnya terjadi, selain juga karena dia membayangkan akan melewati proses itu tanpa Timur di sebelahnya beberapa bulan ke depan.
"Ah, kamu benar," sahut Timur lirih. Namun, dia tidak berbicara lagi setelah jawaban Bulan membuatnya mengingat kembali perempuan yang dia benci sepanjang hidupnya.
"Mur," panggil Bulan tiba-tiba ketika mereka sudah sampai di tempat parkir dan hendak masuk ke dalam mobil.
"Kenapa?" tanya Timur dari seberang mobil. Mereka memang berdiri di depan pintu mobil.
"Apa Embun merasa kesepian karena dia melahirkan tidak ditemani Mas Abi?"
Tangan Timur yang hendak menarik pintu mobil jadi berhenti. Dia mengernyit sebelum memberikan jawaban. "Kayaknya ada sedikit perasaan semacam itu."
"Iya, kan? Pasti dia merasa sedih karena suaminya tidak bisa mendampingi," ujar Bulan lagi.
"Kenapa?" tanya Timur yang menangkap nada berbeda dari pertanyaan Bulan. Namun, dia tidak bisa menggambarkan keanehan dari topik yang diangkat Bulan saat ini.
"Nggak apa-apa," jawab Bulan. "Aku hanya membayangkan sedihnya kalau aku ada di posisi Embun saat ini."
Mendengar itu, Timur menggelengkan kepala. "Tidak akan. Kamu pasti akan dapat suami siaga yang selalu menemani saat kamu melahirkan nanti," tanggapnya.
"Kamu salah, Mur," ujar Bulan lirih dengan kepala tertunduk.
"Ha?" tanya Timur yang tidak mendengar ucapan Bulan karena terlalu pelan.
"Aku akan melahirkan sendiri dan kesepian," lanjut Bulan sambil membuka pintu mobil dan masuk ke dalamnya.