Ini sudah lewat beberapa minggu sejak kelahiran putri Embun. Bulan juga jadi hampir setiap hari datang ke rumah sahabatnya itu untuk menjenguk si kecil. Entah kenapa kehamilannya malah membuat dia tertarik dengan anak kecil. Padahal sebelumnya dia tidak begitu tertarik. Bahkan saat kelahiran Raja, Bulan tidak sesering sekarang datang ke rumah Embun.
Sayangnya hari ini dia tidak bisa datang ke rumah Embun karena ada kegiatan bersama Timur dan Yasmin. Kegiatan rutin ini terpaksa mereka lakukan bertiga saja karena Embun tidak dalam kondisi bisa bergabung bersama mereka. Tadinya Bulan menolak ikut karena perutnya mulai tampak di usia kehamilan dua puluh minggu ini. Namun, seperti biasan Yasmin memaksanya, bahkan sampai mengancamnya. Dia akhirnya terpaksa datang dengan pakaian serba kebesaran dan tidak lupa juga jaket.
Anak-anak jalanan yang biasanya mereka temui sebulan sekali sudah berkumpul di sebuah ruangan di kantor dinas sosial. Mereka bertiga juga sudah bergantian mengisi materi tentang banyak hal, termasuk berlatih keterampilan membuat mozaik dari pecahan kaca dan beling yang bisa ditemukan di jalanan.
"Kak Bulan, kalau warnanya biru semua begini bagus, tidak?" seorang anak jalanan berusia sekitar empat belas tahun menyodorkan mozaik dengan gambar burung.
"Boleh," jawab Bulan sembari mengusap rambut anak itu. "Berkreasilah," imbuhnya sambil tersenyum. Dia kemudian melangkah mendekati Yasmin yang tengah mengajari beberapa anak membuat simpul tali.
"Hei, kenapa mukamu gitu?" sapa Yasmin sambil berdiri dari duduknya. Dia meninggalakan kumpulan anak-anak yang masih berkutat dengan tali-menali. Anak-anak jalanan itu memang tertarik tiap kali Yasmin menceritakan pengalamannya mendaki gunung, apalagi kalau Yasmin mengajarkan beberapa hal tentang pelajaran yang perlu diketahui sebelum mendaki. "Kamu sudah lapar, ya?" tanyanya sambil mengedipkan sebelah mata.
Bulan tertawa pelan. Dia mengangguk karena memang perutnya terasa sedikit lapar, walaupun saat sarapan tadi banyak makanan yang masuk ke dalam lambungnya. Maklum, nafsu makannya sangat membaik seiring bertambahnya usia kandungan. Mual muntahnya sudah hilang sama sekali seolah tak pernah terjadi. Hanya tinggal pusing dan mudah lelah kalau dia terlalu banyak kegiatan saja. Akan tetapi itu jarang terjadi. Bagaimana mau terjadi sementara dia banyak menghabiskan waktu duduk di rumah Embun selain bekerja di perpustakaan.
"Ya udah kita makan dulu. Tadi aku bawa makanan dari rumah. Mama masak banyak. Jadi kucomot aja buat bekal," ajak Yasmin.
"Ada acara apa memangnya?" tanya Bulan. Dia merasakan tangan Yasmin hendak merangkul pinggangnya. Merasakan itu, dia langsung bergeser dan berpura-pura sedagn menghindari bebatuan dengan kepala menunduk agar Yasmin tidak curiga. Andai dia tidak waspada seperti tadi, sahabatnya itu pasti akan langsung tahu tentang perubahan tubuhnya yang signifikan di bagian perut. Pakaian longgar yang membuatnya aman dari terlihat hamil di tubuh kurusnya.
"Biasa, arisan," jawab Yasmin. "Ibu kayaknya juga datang. Nggak bilang sama kamu?"
Bulan menggelengkan kepala. "Kayaknya Ibu malah nggak datang. Tadi katanya agak nggak enak badan, makanya hari ini dia nggak masak sarapan."
"Ah, kalau gitu kamu pasti lapar sekali. Ayo kita makan. Nggak usah ajak Timur," ujar Yasmin sambil mengerutnya pangkal hidungnya dan melirik Timur yang tengah dikerubungi oleh remaja-remaja perempuan. Walaupun tidak terlalu tampan, Timur itu punya postur dan garis wajah yang mempesona bagi sebagian wanita. Dan dia sedikit sebal dengan kelebihan sahabatnya itu, karena Timur kadang terlihat sombong juga jual mahal sekali jika ada perempuan yang mendekat. Ya, meski dia tahu juga alasan Timur berbuat semacam itu. Mereka berempat jadi sahabat pun tidak semudah yang dibayangkan orang-orang yang melihat mereka. Timur itu susah dekat dengan orang lain karena aura misterius dan dinginnya.
Tapi, jangan bayangkan Timur dingin seperti tokoh-tokoh dalam novel. Timur hanya sedikit cuek dan tidak tahu bagaimana bereaksi terhadap sesuatu. Setidaknya itu yang dia pikir selama berteman bertahun-tahun dengan lelaki tinggi itu.
"Nanti kamu habisin aja, Lan," ujarnya lagi pada Bulan.
Bulan yang tadinya jadi ikut memandangi Timur, langsung tersentak pelan sebelumnya mengangguk. Dia menambahkan kekehan palsu agar Yasmin tidak curiga dengan ketercengangannya barusan.
"Kamu kurang-kurangin deh kesal ke Timur sama Embun," ujar Bulan bercanda.
"Nggak mau. Di antara kita berempat harus ada tokoh antagonis. Tidak seru kalau semuanya Protagonis dan melakukan hal-hal yang membosankan. Makanya aku mengambil posisi itu di antara kita. Jadi, kamu nggak boleh protes," sahut Yasmin. Setelahnya dia menertawakan jawabannya sendiri.
Bulan ikut tertawa bersama Yasmin, sampai kemudian langkahnya terhenti saat ada seseorang yang menyentuh pundaknya. Dia menoleh ke belakang dan menemukan Timur dengan napas sedikit tersengal.
"Kalian mau ke mana?" tanya lelaki itu.
"Mau makan. Kamu nggak diajak," jawab Yasmin. Dia menarik tangan Bulan setelah menjulurkan lidah ke arah Timur.
"Oh, begitu?" tanya Timur sambil berusaha mensejajarkan langkahnya dengan Bulan yang kini tengah ditarik oleh Yasmin.
"Iya," jawab Yasmin. "Kamu makan aja sama adek-adek gemes itu. Mereka pasti senang sekali sambil teriak-teriak 'aku makan sama Kak Timur' gitu, kan?" godanya sambil terkekeh.
"Berhenti menggodaku, Yas," ujar Timur kesal. Dia kemudian menoleh ke arah Bulan. "Kamu lapar?" tanyanya.
Bulan menjawab dengan anggukan. Beberapa Bulan ini dia memang menjaga jarak dari Timur. Sewaktu Timur menawarkan diri untuk menjemputnya sepulang bekerja dia selalu menolak dan berbohong kalau sudah ada di dalam taksi. Saat Timur mengajaknya makan rujak, dia akan bilang sedang di rumah Embun dan tengah membantu sahabat mereka itu menjaga Raja. Padahal sebagian dari alasan itu adalah kebohongan. Namun, dia berharap Timur tidak menyadari dirinya yang menjauh.
"Kamu tunggu di sini, ya, Lan," ujar Yasmin sambil mendudukkan Bulan di kursi kayu yang ada di depan halaman kantor dinas sosial. "Aku ambil kotak makannya dulu di motor."
Kernyitan muncul di kening Bulan. Dia hendak berdiri mengikuti Yasmin, namun ucapan Timur tiba-tiba menghentikan langkahnya.
"Kamu mau menghindari aku lagi?" tanya lelaki itu.
Mata Bulan serta merta tertoleh pada Timur. Dia sedikit terbelalak, sebelum akhirnya menghela napas panjang karena lelaki itu ternyata menyadari perubahan sikapnya.
"Aku nggak menghindari kamu." Pada akhirnya dia mengeles lagi, mencari berbagai solusi tercepat yang bisa dia pikirkan.
Timur mengernyit. "Aku merasa sebaliknya. Apa aku punya salah sama kamu?" tanyanya.
Bulan langsung menggeleng sebagai jawaban. Dia akhirnya duduk lagi di kursi kayu sebelah Timur. "Aku hanya sibuk main ke rumah Embun," ujarnya memberikan alasan yang dianggapnya masuk akal.
Kernyitan di dahi Timur masih belum hilang. Dia memicingkan mata pada Bulan.
"Beneran. Waktu kita aja yang nggak pernah sama. Tiap kamu tawarin buat antar aku, aku memang sudah di jalan. Atau kadang aku udah di rumah Embun buat lihat Imel yang super imut." Bulan menambahkan tawa gemas hanya untuk mengelabui Timur.
Syukurnya ekspresi Timur melunak. Kenyitan di dahinya sudah hilang.
"Aku pikir aku habis berbuat salah sama kamu, Lan," ujar Timur.
Bulan menggelengkan kepala. "Salah apa coba. Nggak usah mikir aneh-aneh," ujarnya sambil berdiri. "Kamu tunggu di sini dulu, ya. Aku mau beli minuman dingin di seberang."
"Aku ikut!" seru Timur.
"Nggak usah. Kamu di sini aja. Kalau kamu mau minum sesuatu, sebutin aja biar aku beliin sekalian," tolak Bulan. Dia sengaja tidak ingin berduaan dengan Timur, tapi lelaki itu malah mengajukan diri menemaninya.
"Tapi …."
"Nanti Yasmin ngomel loh kalau salah satu dari kita berdua tidak ada di sini," potong Bulan.
Timur akhirnya menghela napas panjang. Dia terpaksa mengangguk dan melepaskan Bulan berjalan sendiri menuju gerbang.
Sementara itu, Bulan bersyukur karena dia akhirnya bisa menjauh sejenak dari Timur. Akan tetapi ketika sampai di pinggir jalan, dia melihat seorang anak kecil yang tengah menyeberang. Namun, dari arah kiri ada sebuah mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi. Maka dengan mata terbuka lebar Bulan langsung berlari menyongsong tubuh anak lelaki itu. Tanpa pikir panjang dia memeluk anak itu hingga tubuhnya terjatuh ke pinggir jalan. Mobil yang hampir menabrak itu berhenti mendadak hingga suara bannya berdecit.
Beberapa orang yang ada di sana seketika terkesiap. Seorang perempuan muda yang tengah berdiri di toko yang hendak dituju Bulan membelalakkan matanya dan berlari ke arah Bulan yang jatuh terbaring dengan anak lelaki di atasnya.
"Andi! Ya ampun, Nak!" teriak perempuan itu sambil berusaha meraih anaknya yang ada dalam pelukan Bulan.
Bulan yang masih syok tidak mengatakan apa pun, sebelum akhirnya dia meringis kecil karena rasa sakit di perutnya.
"Mbak? Mbak lagi hamil?"
Pertanyaan yang datang tiba-tiba itu membuat tubuh Bulan terpaku sedetik.