Chereads / Hidden Little Secret / Chapter 18 - Embun Melahirkan

Chapter 18 - Embun Melahirkan

Bulan turun dari taksi dan berjalan menuju rumah Embun. Malam ini dia memang akan menginap di rumah sahabatnya itu karena sang suami sedang ada urusan bisnis di luar kota. Itu memang sudah jadi kebiasaan suami Embun. Akan tetapi, kali ini Bulan memutuskan menemani, karena Embun sudah dekat dengan hari perkiraan lahir bayinya. Makanya dia tidak mau meninggalkan Embun hanya bersama pembantu dan anak pertamanya saja. Dia khawatir. Makanya dia mengundang dirinya sendiri ke rumah Embun. Tadinya Yasmin mau ikut menemani, akan tetapi sahabatnya yang satu itu tiba-tiba tidak bisa ikut karena harus menemani Bhumi di rumah sebab Candra ada pertemuan dengan teman-temannya.

"Bun? Embun?" panggil Bulan usai dibukakan pintu oleh sisten rumah tangga Embun. Dia berjalan menuju kamar Embun yang memang dekat dengan ruang tamu. Namun saat membuka pintu, dia terkejut melihat Embun yang tampak kepayahan mencoba berjalan menuju tempat tidur.

"Kamu kenapa?" tanya Bulan panik. Dia langsung menyongsong sahabatnya yang terlihat meringis kesakitan sambil memegang pinggang.

"Ko-kontraksi," jawab Embun tersengal sebab napasnya pun jadi sulit akibat menahan sakit.

"Sejak kapan?" tanya Bulan sambil membantu menuntun sahabatnya itu ke tempat tidur.

"Sejak siang tadi sebetulnya, tapi masih bisa aku tahan. Baru petang ini, sekitar jam enam sakitnya mulai bertambah," jawab Embun. Kali ini napasnya sudah mulai teratur dan raut wajah kesakitannya perlahan menghilang.

Bulan melihat ke arah jam dan menghela napas berat saat melihat jarum jam berada pada angka delapan. Dia sendiri memang sengaja datang lebih malam karena harus menemani ibu makan malam dulu sebelum berangkat ke rumah Embun.

"Berarti udah beberapa jam kamu nahan sakit?" tanyanya dan diangguki oleh Embun. "Kenapa nggak bilang aku dari tadi, sih?" Kali ini malah Bulan yang panik. Dia merasa sedih sahabatnya harus merasakan sakit seorang diri.

"Aku paham rasa sakitnya, Lan," jawab Embun. "Jaraknya masih berlum terlalu dekat … aw!" Embun tiba-tiba meringis kesakitan lagi. Dia mencengkeram lengan Bulan yang kebetulan ada di sebelahnya. Matanya terpejam sambil mencoba menahan rintihan kesakitannya. Dia tidak mau membuat Bulan jadi takut, karena perempuan itu dalam beberapa bulan ke depan akan mengalami hal yang sama dengan dirinya saat ini. Apalagi Bulan tidak didampingi oleh sosok suami.

Namun, meski sudah ditahan, Embun tetap saja mengeluarkan ringisan. Cengkramannya pada lengan Bulan semakin kencang ketika kontraksi berada pada puncak rasa sakitnya.

"Kita ke rumah sakit aja, ya?" ajak Bulan dengan raut khawatir dan panik. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Dulu sewaktu Embun melahirkan anak pertama, dia tidak bisa menemani karena masih bekerja. Tapi beruntung saat itu bukan akhir pekan, sehingga suami Embun siaga.

Embun terpaksa mengangguk karena rasa sakitnya sudah bertambah berkali-kali lipat dibanding sebelumnya.

"Raja mana?" Bulan menanyakan anak pertama Embun yang baru berusia dua tahun karena tidak melihatnya di manapun sejak datang tadi.

"Dia lagi diajak kakeknya keluar dari habis zuhur tadi," jawab Embun. Kali ini suaranya sudah kembali normal, begitu juga dengan napasnya.

"Oke, jadi aman," sahut Bulan. Dia kemudian mengeluarkan ponsel dan mencoba menghubungi Timur.

"Kamu telepon siapa?" tanya Embun heran.

"Timur," jawab Bulan.

"Kenapa? Kita bisa naik taksi," tolak Embun. Dia merasa akan merepotkan Bulan sekaligus Timur, makanya memilih opsi termudah. Apalagi dia tahu kalau keberadaan Timur akan membuat Bulan merasa tidak nyaman. Namun, sahabat yang dia pikirkan itu malah tidak menghiraukan penolakannya dan masih setia menunggu jawaban dari panggilan telepon.

"Halo, Mur," sapa Bulan begitu telepon tersambung. Dia kemudian melirik Embun yang sekarang mulai meringis pelan lagi. "Kamu bisa ke rumah Embun sekarang, nggak? Dia perlu ke rumah sakit karena dia udah kontraksi terus dari tadi," tanyanya sambil bergerak mendekati Embun dan mengusap lengan sahabatnya itu.

"Abi lagi ke luar kota lagi?" tanya Timur.

"Iya," jawab Bulan.

"Oke aku ke sana secepatnya."

Telepon kemudian tertutup dan Bulan segera membantu mempersiapkan segala barang-barang yang dibutuhkan Embun bersama dengan Mbok Asih—asisten rumah tangga Embun—yang tadi dia panggil untuk dimintai bantuan. Tentunya dengan bantuan arahan dari Embun yang tengah menahan sakit.

"Kita tunggu di depan aja, ya, biar cepat," ajak Bulan begitu semua tas berisi kebutuhan Embun dan si calon bayi siap.

Embun mengangguk tanpa mengatakan apa pun. Berhubung rasa sakitnya sedang hilang, dia cepat-cepat berdiri meski susah payah dan berjalan menuju teras rumah dengan dituntun Bulan. Sementara itu, tas-tas berisi barang-barang dibawakan oleh Mbok Asih yang berjalan di belakang mereka.

Mereka tidak menunggu lama, sebab lima belas menit kemudian mobil Timur sampai di depan rumah Embun. Lelaki itu dengan sigap turun dan membantu Bulan memapah Embun yang tubuhnya sudah banjir oleh keringat karena menahan rasa sakit.

"Rumah sakit yang biasanya, kan?" tanya Timur saat sudah duduk kembali di balik kemudi.

"Iya," jawab Bulan, karena Embun hanya bisa mengangguk.

"Mbok, kami jalan dulu," pamit Timur pada Mbok Asih. "Tolong kabarin Mas Abi dan keluarga yang lain."

Perempuan paruh baya itu mengangguk. "Siap, Mas."

Setelah itu Timur segera memacu mobilnya keluar dari halaman rumah Embun. Sahabatnya itu ada di kursi belakang bersama Bulan yang wajahnya terlihat lebih panik dibanding Embun sendiri. Dia tersenyum tipis saat melihat ekspresi Bulan itu melalui kaca spion tengah. Namun, setelahnya dia fokus pada kemudia karena Embun di belakang sudah tampak kepayahan menahan sakit.

***

"Aku udah hubungin Mas Abi. Dia katanya lagi dalam perjalanan pulang. Tapi kayaknya baru bisa sampai dini hari," ujar Timur sambil berhenti tepat di depan Bulan yang tengah duduk di bangku depan ruang bersalin. Embun sedang berada di dalam ruang bersalin untuk diperiksa setelah dari UGD rumah sakit.

"Raja bagaimana?" tanya Bulan sambil mendongak karena Timur berdiri menjulang di depannya.

"Raja akan nginap di rumah orang tua Mas Abi. Terus Tante Ayu dan Om Tono sedang dalam perjalan ke sini. Tapi kayaknya mereka akan terjebak macet," jawab Timur sambil melihat jam di pergelangan tangannya. "Yasmin juga sudah dalam perjalanan ke sini."

Bulan menghela napas panjang. Akan tetapi, napasnya langsung tercekat begitu dia melihat seorang perawat keluar dari ruang bersalin. Dia seketika berdiri di sebelah Timur.

"Keluarga Ibu Embun sudah datang?" tanya perawat itu.

"Belum, Sus," jawab Bulan dan Timur bersama.

"Ini Ibu Embun sudah pembukaan sembilan, sebentar lagi akan masuk persalinan. Adakah yang bisa menemani beliau?" tanya perawat itu.

Mau tidak mau, Bulan harus mengenyahkan rasa takut. Dia melangkah sekali sambil menjawab, "Saya, Sus."

Perawat itu mengangguk, lalu berjalan lebih dulu ke dalam ruang bersalin setelah mengintruksikan Bulan untuk mengikutinya.

Namun, Timur tiba-tiba menarik lengan Bulan dan menghentikan langkah perempuan itu.

"Kenapa?" tanya Bulan, masih dengan raut paniknya.

"Kamu yakin?" tanya Timur. Dia malah khawatir pada Bulan karena sahabatnya itu tampak sangat panik.

"Yakin," jawab Bulan sambil melepaskan tangan Timur dari lengannya. Hal itu terlalu membuatnya berdebar, hingga dia nyaris lupa kalau dia harus bergegas menuju ruang bersalin.